Tidak layak jadi suami
Tidak ada istri punyai suami yang kurang, kurang
gagah, kurang ganteng, kurang punya pekerjaan dan banyak kurang lainnya, begitu
juga suami, pasti menginginkan yang terbaik dalam membina rumah tangga. Tapi
kenyataannya banyak yang kurang, dan itu terlihat setelah sudah menjadi satu
berkeluarga. Masing-masing keluar aslinya, yang tadinya berupaya menyenangkan
bagi pasangan mulai terbuka, dan mulailah timbul kekurang harmonisan. Barentung
bagi yang berbekal iman dan taqwa, kesemuanya dijalaninya sebagai pilihan
terbaik Alloh baginya. Kesemuanya dikembalikan kepada yang maha kuasa sebagai
amanah berumah tangga sebagai salah satu ibadah.
Sesai dengan sabda Rasulullah Saw, agama menjadi
pertimbangan utama dalam menjalin hubungan berumah tangga. Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berpesan, Apabila
ada orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, yang meminang putri kalian,
nikahkan dia. Jika tidak, akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang
besar. HR. Turmudzi
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memisalkan wanita seperti al-Qawarir (gelas kaca).
Fisiknya, dan hatinya lemah, sangat mudah pecah. Kecuali jika disikapi dengan
hati-hati. Karena itu, tidak ada wanita yang suka disikapi keras oleh siapapun,
apalagi suaminya. Maka sungguh malang ketika ada wanita bersuami orang keras.
Dia sudah lemah, semakin diperparah dengan sikap suaminya yang semakin
melemahkannya. Sesungguhnya kelembutan
menyertai sesuatu maka dia akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan itu
dicabut dari sesuatu, melainkan akan semakin memperburuknya.” HR. Muslim
بِالْمَعْرُوفِ وَعَاشِرُوهُنَّ
”Pergaulilah istri-istrimu dengan cara yang
baik.” (QS. An-Nisa’: 19)
Untuk mengusung kesemuanya, disamping suami yang penuh
pengertian, suami juga dituntut untuk punya penghasilan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan kelaurga. Sayang dalam perjalannya bukan tidak mungkin
banyak yang tidak berhasil, alias suami tidak berpenghasilan yang mencukupi.
Sedang mencukupi kebutuhan keluarga merupakan perintah Alloh SWT.
Melihat keadaan yang demikian membuat istri menjadi
tidak simpati lagi, iapun mencoba memenuhi kebutuhan keluarga dengan caranya
bekerja. Dan tidak sedikit yang berhasil dan melibihi penghasilan suami.
Keadaan seperti ini semakin membuat istri bertambah jauh dari rasa menghormati,
apalagi mencintainya. Banyak rumah tangga yang akhirnya berantakan karena soal
finansial istri lebih baik dari suaminya. Dengan mencoba mencari yang lain,
yang lebih mandiri dan berpenghasilan baik dengan jabatan yang baik juga
dipekerjaannya. Dan berakhir bercerai dengan jalan minta atau menggugat cerai.
Dalam syariat memang diberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika
mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Baik
dalam bentuk cerai yang itu berada di tangan suami atau gugat cerai (khulu’) sebagai jalan keluar bagi
istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami. Meskipun hal
tersebut sangat dibenci, Dari Tsauban radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛
فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya
untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” HR Abu Dawud
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka
khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq.”HR. Nasa’i
Yang dimaksud munafif dalam hal ini adalah ‘Munafiq
amali (munafiq kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan keras dan ancaman.
Karena itu, sangat dibenci bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang
dibenarkan secara syariat, namun bukan berati tidak boleh, sah dan
dipersilahkan saja dengan beberapa alasan al:
1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang
suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi
seperti wanita yang tergantung.
2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya
atau suka memukulnya.
3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering
melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering
meninggalkan sholat, dll
4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak
memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan
kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.
5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik,
misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis,
atau tidak adil , atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena
condong kepada istri yang lain.
6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang
wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga
tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta
agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa
karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.
7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan
juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa
mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau
buruknya suami.
Dengan beberapa pertimbangan tersebut, maka istri diperbolehkan meminta
cerai, atau mengajukannya di pengadilan agama. Namun bila alasan lain karena
penghasilan atau ketertarikan kepada laki-laki lain, maka tentu yang termasuk
yang dibenci seperti hadist tersebut di atas. Karena cerai yang diajukannya
untuk alasan sekedar bisa menikah dengan laki-laki lain, yang lebih mampu.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar