Sholat qodo karena sakit ?
Ini untuk kedua kalinya kejadian di sekitar tempat tinggal,
dimana mereka memahami bahkwa sholat lima waktu boleh diqodo karena sakit yang
tidak memungkinkannya untuk sholat. Kedjadiannya salah satu tetangga terkena
air panas, beberapa bagian badannya menjadi luka terkelupas, agar cepat sebuh selain diobati juga dijaga
agar tidak terkena air yang menjadikannya basah. Salah satu yang harus dibasuh
saat berwudu adalah bagian yang terluka air panasa itu. Sehingga ia tidak
sholat dan memahaminya boleh diqodo bila nanti sudah sembuh. Yang satunya lagi
terjatuh dan membuat kakinya patah tidak bisa jalan, untuk keperluan keseharian
yang sangat pribadi saja tidak bisa, seperti pipis dan teman-temannya. Untuk
selanjutnya ia juga tidak sholat dan memahaminya bisa diqodo bila nanti sudah
sembuh.
Siapapun yang sempat membaca oretan ini, mohon dimaklumi, saya
sendiri juga memang sangat kaget, dengan adanya pemahaman agama yang demikian,
di sekitar rumah yang sebelumnya tidak diduga sama sekali, siapa yang
memulainya dan siapa juga yang mengajarinya, kalau sholat bisa diqodo karena
atau disebabkan sakit. Karena sholat itu
perintahnya jelas, aturan pelaksanaannyapun jelas, dan termasuk amalan utama
yang akan dihisab nanti.
Siapapun tahu, Orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat,
artinya dalam hal ini semua orang tetap
punya kewajiban yang sama untuk melaksanakan sholat, hanya saja dalam pelaksanannya
disesuaikan menurut kemampuannya masing-masing.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertaqwalah kamu
kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs.
At-Taghâbûn/ 64:16)
Jika orang sakit tidak boleh kena air karena harus
berwudu, maka bisa dilakukan dengan cara bertayamum, bila tidak bisa sholat
dengan berdiri bisa dilakukan dengan duduk, bila tidak bisa berdiri bisa
dilakukan dengan berbaring, bila tidak bisa dengan berbaring, sholatnya bisa
dilakuklan dengan isyarat. Kalau tidak bisa juga, maka kewajiban yang lain
mensholatkannya. Dalam hadist Imran bin Hushain, disebutkan “Pernah Penyakit wasir menimpaku, lalu akau
bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang cara sholatnya. Maka
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sholatlah dengan berdiri,
apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.”
(HR al-Bukhari no. 1117)
Artinya sholat itu amat penting, karena begitu
pentingnya sebagai kewajiban yang tidak boleh dilalaikannya, ketika sakitpun
tetap harus sholat, dengan kemudahan tata caranya yang disesuaikan dengan
kemampuan, bukan ditinggalkan dengan
sengaja dan diqodo di waktu lain setelah sembuh. Pertanyaanya berapa lama ia
sakit dan berapa banyak yang mesti ia qodo. Katakan saja ia sakit dan meninggalkan
sholat sebulan lamanya, berada hari ia harus mengqodonya, itu baru sebulan
kalau bertahun-tahun. Itupun kalau ia
sembuh, kalau kemudian ia meninggal, siapa yang harus mengqodonya, karena tidak
ada aturan membayar hutang sholat bagi keluarganya.
Yang boleh
dilakukan selain dengan tatacara sholat tersebut di atas, bagi seseorang
yang sakit diperbolehkan juga untuk menjama’ sholatnya. Maksudnya tidak setiap
datangnya waktu sholat ia melaksanakannya, sebaliknya ia bisa menggabungkan dua
sholat dalam satu waktu sesuai aturan sholat jama. Bila berat melakukan setiap
sholat pada waktunya maka diperbolehkan baginya untuk men-jama’ (menggabung)
antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya baik dengan jama’ taqdim atau
ta’khir [2]. Hal ini melihat kepada yang termudah baginya. Sedangkan shalat
Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum
dan sesudahnya. Diantara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma yang menyatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa
sebab takut dan hujan. Abu Kuraib berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas
radhiallahu ‘anhuma: Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau radhiallahu
‘anhuma menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya. (HR Muslim no. 705)
Dalam hadits diatas jelaslah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membolehkan seseorang menjama’ sholat karena adanya rasa berat yang menyusahkan
-masyaqqoh- dan jelas sakit
merupakan masyaqqah. Hal ini
juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit kepada orang yang terkena
istihaadhoh yang diperintahkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk mengakhirkan sholat Zhuhur dan mempercepat Ashar
dan mengakhirkan Maghrib dan mempercepat Isya’
Pada dasarnya sholat itu wajib, harus dilaksanakan
begitu juga dengan orang yang sakit, ia tidak
boleh meninggalkan sholat wajib dalam segala kondisinya selama akalnya masih
baik, kalau sudah gila ia bebas tidak
sholat, karena syarat rukunnya sholat salah satunya adalah berakal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar