Senin, 06 April 2015

Sholat qodo karena sakit ?



Sholat qodo karena sakit ?
Ini untuk kedua kalinya kejadian di sekitar tempat tinggal, dimana mereka memahami bahkwa sholat lima waktu boleh diqodo karena sakit yang tidak memungkinkannya untuk sholat. Kedjadiannya salah satu tetangga terkena air panas, beberapa bagian badannya menjadi luka terkelupas,  agar cepat sebuh selain diobati juga dijaga agar tidak terkena air yang menjadikannya basah. Salah satu yang harus dibasuh saat berwudu adalah bagian yang terluka air panasa itu. Sehingga ia tidak sholat dan memahaminya boleh diqodo bila nanti sudah sembuh. Yang satunya lagi terjatuh dan membuat kakinya patah tidak bisa jalan, untuk keperluan keseharian yang sangat pribadi saja tidak bisa, seperti pipis dan teman-temannya. Untuk selanjutnya ia juga tidak sholat dan memahaminya bisa diqodo bila nanti sudah sembuh.
Siapapun yang sempat membaca oretan ini, mohon dimaklumi, saya sendiri juga memang sangat kaget, dengan adanya pemahaman agama yang demikian, di sekitar rumah yang sebelumnya tidak diduga sama sekali, siapa yang memulainya dan siapa juga yang mengajarinya, kalau sholat bisa diqodo karena atau disebabkan sakit.  Karena sholat itu perintahnya jelas, aturan pelaksanaannyapun jelas, dan termasuk amalan utama yang akan dihisab nanti.
Siapapun tahu, Orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat, artinya  dalam hal ini semua orang tetap punya kewajiban yang sama untuk melaksanakan sholat, hanya saja dalam pelaksanannya disesuaikan  menurut kemampuannya  masing-masing.
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghâbûn/ 64:16)
Jika orang sakit tidak boleh kena air karena harus berwudu, maka bisa dilakukan dengan cara bertayamum, bila tidak bisa sholat dengan berdiri bisa dilakukan dengan duduk, bila tidak bisa berdiri bisa dilakukan dengan berbaring, bila tidak bisa dengan berbaring, sholatnya bisa dilakuklan dengan isyarat. Kalau tidak bisa juga, maka kewajiban yang lain mensholatkannya. Dalam hadist Imran bin Hushain, disebutkan “Pernah Penyakit wasir menimpaku, lalu akau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang cara sholatnya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sholatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR al-Bukhari no. 1117)
Artinya sholat itu amat penting, karena begitu pentingnya sebagai kewajiban yang tidak boleh dilalaikannya, ketika sakitpun tetap harus sholat, dengan kemudahan tata caranya yang disesuaikan dengan kemampuan, bukan ditinggalkan  dengan sengaja dan diqodo di waktu lain setelah sembuh. Pertanyaanya berapa lama ia sakit dan berapa banyak yang mesti ia qodo. Katakan saja ia sakit dan meninggalkan sholat sebulan lamanya, berada hari ia harus mengqodonya, itu baru sebulan kalau bertahun-tahun. Itupun  kalau ia sembuh, kalau kemudian ia meninggal, siapa yang harus mengqodonya, karena tidak ada aturan membayar hutang sholat bagi keluarganya.
Yang boleh  dilakukan selain dengan tatacara sholat tersebut di atas, bagi seseorang yang sakit diperbolehkan juga untuk menjama’ sholatnya. Maksudnya tidak setiap datangnya waktu sholat ia melaksanakannya, sebaliknya ia bisa menggabungkan dua sholat dalam satu waktu sesuai aturan sholat jama. Bila berat melakukan setiap sholat pada waktunya maka diperbolehkan baginya untuk men-jama’ (menggabung) antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya baik dengan jama’ taqdim atau ta’khir [2]. Hal ini melihat kepada yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma yang menyatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma: Mengapa beliau berbuat demikian? Beliau radhiallahu ‘anhuma menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya. (HR Muslim no. 705)
Dalam hadits diatas jelaslah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan seseorang menjama’ sholat karena adanya rasa berat yang menyusahkan -masyaqqoh- dan jelas sakit merupakan masyaqqah. Hal ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang sakit kepada orang yang terkena istihaadhoh yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengakhirkan sholat Zhuhur dan mempercepat Ashar dan mengakhirkan Maghrib dan mempercepat Isya’
Pada dasarnya sholat itu wajib, harus dilaksanakan begitu juga dengan  orang yang sakit, ia tidak boleh meninggalkan sholat wajib dalam segala kondisinya selama akalnya masih baik,  kalau sudah gila ia bebas tidak sholat, karena syarat rukunnya sholat salah satunya adalah berakal.

Tidak ada komentar: