Senin, 06 April 2015

Mahar yang mahal



Mahar yang mahal

Pada bulan-bulan ini banyak dapat undangan pernikahan, diantaranya sempat juga mengikuti akad nikahnya. Pada prosesi walimatunnikah disebutkan mahar yang diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan. Dari satu majlis nikah satu dengan lainnya beragam bawaan dan maharnya, yang yang sedang saja dan ada yang mahal, bernilai tinggi.  Berapapun nilainya mahar tidak ada batasan dalam syariat, jika mampu melakukannya.

Di tanah air, cukup beragam kebiasaan mengantarnkan mas kawin atau mahar, kepada mempelai perempuan, ada yang dianggap berlebihan sehingga memberatkan, ada yang menanggapinya biasa saja, sebagai kebiasaan setempat. Seperti  sepasang pemuda yang masih kuliah semester akhir di salah satu perguruan tinggi di Makassar, Sulawesi Selatan di tahun 2007, keduanya mengaku sudah pacaran empat tahun. Namun, cita-cita sepasang kekasih yang ingin melanjutkan hubungannya ke jenjang pernikahan itu harus kandas karena tingginya pannai yang disyaratkan orang tua perempuan.
"Pada waktu itu dimintai uang sebesar Rp 20 juta plus emas batangan sebanyak lima batang. Untuk bisa memenuhi Rp 20 juta aja sudah berat apalagi ditambah lima emas batangan," calon mempelai laki-laki sempat berusaha ingin memenuhi permintaan orangtua pihak perempuan dengan meminta bantuan kepada orang tuanya di kampung. Sayang setelah menghubungi kedua orangnya, ia hanya mampu membayar syarat yang pertama yakni harus membayar Rp 20 juta. Untuk  permintaan lima emas batangan sudah tidak  bisa dipenuhi. Ia kebingungan, ia mengaku dilematis. Ingin menikahi pacarnya karena sudah terlanjur sangat mencintai tapi harga pannai yang terlalu mahal membuatnya tak kuasa. Kisah cintapun berakhir dengan putus dengan kekasihnya.
Kisah cinta semacam tersebut di atas, banyak ditemui di berbagai daerah,  kebetulan yang diangkat saat ini di ulawesi, Makasar tepatnya. Tradisi masyarakat Bugis-Makassar, uang panai merupakan prasyarat utama di mana calon mempelai laki-laki memberikan sejumlah uang kepada calon mempelai perempuan. Uang ini akan digunakan untuk belanja keperluan mempelai wanita mengadakan pesta pernikahan. Besarnya uang panai ini sangat dipengaruhi oleh status sosial calon mempelai wanita. Uang panai juga biasanya diiringi permintaan mempelai perempuan berupa sompa (harta tidak bergerak seperti tanah atau kebun), dan erang-erang (asesoris resepsi pernikahan).

Di Aceh, tidak jauh berbeda, sampai ada tulisan, jangan menikah dengan gadis Aceh. Diketahui  bahwa di Aceh pesisir, standar mahar adalah emas (dalam bentuk mayam, bukan gram, dan 1 mayam sekitar 1,7 juta rupiah. Di Aceh Besar untuk menikah kisarannya sekitar 10 hingga 15 mayam. Dan  yang terkenal di daerah Sigli, kisarannya 20 hingga 40-an, bahkan ada yang sampai 100 mayam, walaupun ada juga yang cuma 10-an.

alasan kenapa maharnya tinggi adalah karena mahar tersebut dianggap sebagai modal bagi kedua pasangan setelah menikah nantinya. jika maharnya rendah, maka tetangga akan curiga, bahwa anak perempuan tersebut bukan “anak baik” lagi, sehingga harus segera dinikahkan. setelah menikah orang akan tinggal di rumah pihak perempuan, hingga anaknya besar dan mereka siap untuk membina rumah sendiri.

Syariat memerintahkan untuk memberikan mahar-mas kawin bagi istri yang dinikahinya. Hanya saja besarannya tidak ditentukan, sesuai kemampuannya dan tentunya ikhlas untuk istri, bukan untuk modal berumah tangga atau lainnya. Dalam syariat dikatakan . Seorang wanita yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya murah, mudah menikahinya, dan akhlaknya baik. Namun sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit menikahinya, dan buruk akhlaknya." (Al-hadits). “Nikah yang paling besar barakahnya itu adalah yang murah maharnya. “ (HR. Ahmad)
Berikanlah maskawin kepada wanita sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya”.(QS. An-Nisa : 4)

syariat membolehkan mahar dalam bentuk cincin dari besi, sebutir korma, jasa mengajarkan bacaan Al-Quran atau yang sejenisnya. Yang penting kedua belah pihak ridha dan rela atas mahar itu. Dari Amir bin Robi’ah bahwa seorang wanita dari bani Fazarah menikah dengan mas kawin sepasang sendal. Lalu Rasulullah SAW bertanya, “Relakah kau dinikahi jiwa dan hartamu dengan sepasang sendal ini?”. Dia menjawab,” Rela”. Maka Rasulullahpun membolehkannya. (HR. Ahmad 3/445, Tirmidzi 113, Ibnu madjah 1888).

Dari Sahal bin Sa’ad bahwa nabi SAW didatangi seorang wanita yang berkata,”Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu”, Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata,” Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika kamu tidak ingin menikahinya”. Rasulullah berkata, ” Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar? dia berkata, “Tidak kecuali hanya sarungku ini” Nabi menjawab,
“bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu”. Dia berkata, “Aku tidak mendapatkan sesuatupun”. Rasulullah berkata,
“Carilah walau cincin dari besi”. Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi, “Apakah kamu menghafal Al-Quran?”. Dia menjawab, “Ya surat ini dan itu” sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi, “Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan Al-Quranmu” (HR Bukhori Muslim).


Diriwayatkan bahwa ada seorang wanita rela tidak mendapatkan mahar dalam bentuk benda atau jasa yang bisa dimiliki. Cukup baginya suaminya yang tadinya masih non muslim itu untuk masuk Islam, lalu waita itu rela dinikahi tanpa pemberian apa-apa. Atau dengan kata lain, keIslamanannya itu menjadi mahar untuknya. Dari Anas bahwa Aba Tholhah meminang Ummu Sulaim lalu Ummu Sulaim berkata, “Demi Allah, lelaki sepertimu tidak mungkin ditolak lamarannya, sayangnya kamu kafir sedangkan saya muslimah. Tidak halal bagiku untuk menikah denganmu. Tapi kalau kamu masuk Islam, keislamanmu bisa menjadi mahar untukku. Aku tidak akan menuntut lainnya”. Maka jadilah keislaman Abu Tholhah sebagai mahar dalam pernikahannya itu. (HR Nasa’i 6/ 114).

Semua hadist tadi menunjukkan bahwa boleh hukumnya mahar itu sesuatu yang murah atau dalam bentuk jasa yang bermanfaat. Demikian pula dalam batas maksimal tidak ada batasannya sehingga seorang wanita juga berhak untuk meminta mahar yang tinggi dan mahal jika memang itu kehendaknya. Tak seorangpun yang berhak menghalangi keinginan wanita itu bila dia menginginkan mahar yang mahal. Namun "Sebaik-baik perempuan ialah yang paling ringan mas kawinnya."  (HR. Ath-Thabrani)

Sesungguhnya Islam sangat memuliakan wanita. Mengapa oleh kerana wanita tidak meminta mahar yang lebih, maka kamu enggan memuliakannya. Walluhu’alam.

Tidak ada komentar: