Minggu, 05 April 2015

ISIS



ISIS
Tanzhim Daulah Islam di Irak dan Syam atau Islamic State of Irak and Sham (ISIS) telah memproklamirkan diri sebagai khilafah islamiyah atas daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaannya dan membaiat Abu Bakar al-Baghdadi sebagai khalifah bagi kaum Muslimin. Proklamasi ini terjadi di tengah revolusi rakyat Irak dan Suriah melawan rezim  otoriter Syiah di negara mereka masing-masing.
Anggotanya disatukan dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia, itu diketahui  dari sekelompok warga Indonesia yang muncul dalam sebuah video yang dirilis ISIS, ia  meminta kaum Muslimin di Indonesia untuk bergabung dengan kelompok mereka. Video delapan menit di-posting oleh ISIS dengan judul "Ayo Bergabung". Video itu menyerukan kewajiban bagi kaum Muslimin untuk bergabung dan menyatakan dukungan bagi kelompok tersebut.
Tentu saja ajakan dan lahirnya ISIS di Indonesia mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk dari pengamat intelejen Wawan Purwanto,ia  mengatakan, setiap warga negara Indonesia (WNI) bisa dicabut status kewarganegaraannya jika menjadi milisi atau terikat menjadi tentara di negara lain.  Kalau dia menjadi milisi di negara lain atau terikat perjanjian menjadi tentara di satu negara, ini bisa kehilangan kewarganegaraan. Undang-undang kewarganegaraan ada klausul-klausul mengenai itu. Untuk itu  salah satu metode untuk mencegah WNI bergabung dengan ISIS adalah dengan pendekatan persuasif mengenai kewarganegaraan. Dengan mengajak mereka  berpikir ulanglah bergabung dalam barisan seperti itu.
Kemunculan ISIS ditanggapinjuga oleh kalangan internasional, dalam hal ini Al-Ittihad al-‘Alami li ‘Ulama al-Muslimin (Persatuan Ulama Muslim Dunia) yang diketuai oleh Dr. Yusuf al-Qardhawi:
“Khilafah dari segi syariat dan fiqh berarti perwakilan. Sehingga khalifah, secara etimologi dan istilah syariat, adalah wakil dari umat Islam. Dia menjadi wakil bagi umat melalui proses baiat yang umat berikan kepadanya. Perwakilan ini tidak mungkin terjadi secara syariat, akal sehat, dan ‘urf kecuali bila seluruh umat memberikannya kepada khalifah (yang terpilih) atau melalui delegasi umat. (Mereka itulah) yang dahulu disebut sebagai Ahlul Halli wal Aqdi dan Ulul Amri yang terdiri dari ulama, tokoh-tokoh yang kapabel, elit masyarakat, serta orang-orang berpengaruh dan kelompok-kelompok Islam.
“Dengan demikian, proklamasi sebuah kelompok mendirikan khilafah tidak cukup untuk mengangkat seorang khalifah, karena bertentangan dengan aturan syariat tadi. “Dalam Islam, urusan-urusan negara dan siyasah syar’iyah diselesaikan lewat musyawarah (QS. al-Syura: 38; Ali Imran: 159), bahkan hingga urusan batas waktu menyusui untuk bayi harus diselesaikan lewat musyawarah (kedua orang tuanya, pent). Apalagi urusan negara dan khilafah.
“Tindakan (sepihak) seperti ini berpotensi membuka pintu kekacauan baik bagi kelompok-kelompok bahkan negara-negara. Sebab, (siapa pun) bisa mengangkat dirinya atas nama Islam, seperti persoalan khilafah islamiyah, kendati tanpa persiapan, koordinasi, dan visi bersama. Hal ini bisa berdampak pada lunturnya nilai sakralitas khilafah islamiyah di mata manusia, satu akibat yang sangat berbahaya.”
Tanggapan lain adalah pernyataan bersama empat puluh tujuh ulama Saudi, antara lain Dr. Abdullah al-Ghunaiman, Dr. Nashir al-Umar, Dr. Abdul Rahman al-Mahmud, dll:
“Sesungguhnya klaim sebuah faksi perlawanan tertentu sebagai satu-satunya yang legal sehingga faksi-faksi lain harus bergabung di bawahnya tanpa melibatkan pendapat kaum Muslimin yang lain, dan bahwa kelompok yang menolak merupakan Khawarij yang halal darahnya; adalah sikap sepihak yang haram. Ini merupakan perampasan yang ilegal terhadap kekuasaan dan menjadi faktor utama perpecahan . . . Kami juga menggarisbawahi bahwa kewajiban untuk menolak klaim tersebut merupakan tugas semua pihak, ulama, dai, tokoh masyarakat, serta kepala faksi-faksi jihad (di Suriah dan Irak, pent).”
Amir Hizbut Tahrir , Syekh Atha’ ibn Khalil Abu al-Rasytah:
“. . . organisasi yang memproklamirkan al-Khilafah tersebut, tidak memiliki kekuasaan atas Suriah dan tidak pula atas Irak. Organisasi itu juga tidak merealisasi keamanan dan rasa aman di dalam negeri dan tidak pula di luar negeri, hingga orang yang dibaiat sebagai khalifah saja tidak bisa muncul di sana secara terbuka, akan tetapi keadaannya tetap tersembunyi seperti keadaannya sebelum proklamasi daulah! Ini menyalahi apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
“Proklamasi yang terjadi adalah ucapan yang sia-sia (laghwun), tidak memajukan dan tidak memundurkan dalam hal realita organisasi ISIS. ISIS adalah gerakan bersenjata, baik sebelum proklamasi dan setelah proklamasi. Posisinya seperti gerakan-gerakan bersenjata lainnya yang saling memerangi satu sama lain dan juga berperang melawan rezim, tanpa satu pun dari faksi-faksi itu bisa meluaskan kekuasaan atas Suria atau Irak atau keduanya. Seandainya ada faksi dari faksi-faksi itu, termasuk ISIS, yang mampu meluaskan kekuasaannya atas wilayah yang memiliki pilar-pilar negara dan memproklamasikan al-Khilafah serta menerapkan Islam, niscaya layak untuk dibahas guna dilihat jika al-Khilafah yang didirikannya sesuai hukum-hukum syariah, sehingga pada saat itu diikuti.” 
Syekh Abdul Aziz al-Thurayfi, ulama Hadits dan anggota Rabithah ‘Ulama al-Muslimin (Ikatan Ulama Muslim Dunia): “Bergabung di bawah bendera ISIS yang tidak mau menerima pengadilan syariat yang indipenden adalah tidak boleh. Adapun yang telah terlanjur bergabung, agar pindah ke bendera jihad lain yang cukup banyak dan beragam.”
Syekh Sulaiman al-Ulwan, ulama Hadits terkemuka: “Abu Bakar al-Baghdadi tidak dipilih oleh Ahlul Halli wal Aqdi. Bila pimpinannya saja, yaitu al-Zawahiri tidak senang terhadap tindakan-tindakannya, lantas bagaimana dia menuntut orang lain untuk membaiat dirinya. Dia bukanlah khalifah kaum Muslimin yang bisa bertindak semaunya.”
Dr. Abdul Karim Bakkar, pemikir Muslim terkemuka asal Suriah: “Aku pernah bertemu dengan sejumlah penuntut ilmu dan ulama yang datang dari Suriah. Demi Allah SWT yang tidak ada ilah yang hak selain Dia, cerita mereka hanya tentang penyimpangan dan pelanggaran ISIS. ISIS dan pemerintah Suriah (Bashar Assad) adalah dua sisi dari penjahat yang sama.
Dari beberapa tanggapan tersebut di atas, maka patutlah kalau seruan bergabung ISIS di tanah air harus dipertimbangkan. Ada benarnya apa yang disampaikan pengamat intelejen Wawan Purwanto, di atas, bangsa Indonesia akan hilang kewarganegaraannya, bila membai’at  kan diri dan menjadi milisi negara lain dengan  sukarela.



Tidak ada komentar: