Rabu, 06 Juli 2011

Nikah siri

Nikah siri
Masalah nikah siri ini menjadi ramai dibicarakan karena adanya rancangan UU tentang material peradilan agama bidang perkawinan yang ingin mengatur tentang larangan nikah siri. Masalah itu terus bergulir dan dibicarakan banyak kalangan, terutama dari pihak agamawan –para ulama, kendatipun rancangan tersebut belum sampai ke tangan DPR. Mengenai nikah siri itu sendiri kemudian banyak persi terminologinya. Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia - siri, dikarenakan pihak wali perempuan tidak menyetujuinya, atau karena pemahaman agama yang kurang, sehingga menganggap sah pernikahan tanpa wali, atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat agama- Islam.
kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Dalam hal ini banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Karena faktor biaya, karena tidak mampu membayar administrasi pencatatan, misalnya tertulis 35 ribu rupiah, tapi pelaksanaannya jauh tinggi dari itu, setidaknya 500 ribu karena sedang merayakan hari kebahagiaan, ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lainnya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan perrnikahannya.
Melihat terminology diatas, tentu saja nikah siri yang kedua dapat diartikan sebagai nikah syar’i yang harus dibedakan dengan nikah siri lainnya. Pernikahan secara syar’i adalah pernikahan syah menurut agama, karena memenuhi syarat dan rukunnya, meliputi prosesi mulai dari perkenalan, hingga ijab kabul di hadapan wali dan saksi, dan itu sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadist Rasululloh saw. Hanya saja seharusnya juga dicatat dalam catatan sipil kenegaraan, untuk keperluan lainnya berkenaan dengan pernikahan.
Sedang nikah siri lainnya tentu saja dilarang dan haram hukumnya, karena bisa saja dilakukan di hotel, di rumah dan tempat-tempat lainnya, tidak memenuhi syarat dan rukunnya, bisa dilakukan sendiri tanpa wali dan saksi.
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy)
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat banyak ulama dan ahli fiqh. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy)
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy)
Dari beberapa keterngan hadist diatas, dapat dikatakan bahwa pernikahan tanpa adanya wali adalah pernihakan tidak sah-batil, pernikahan maksiat dan berhak mendapatkan sangsi.
Sedang nikah siri secara syar’i, tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga tidak perlu dijatuhi sangsi seperti ketentuan uu yang akan diluncurkan. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sangsi, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru sah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Namun demikian, karena berasa di Negara yang mengatur pencatannya, maka nikah syar’i harus melakukan pencatatannya di administrasi Negara. Hal ini agar seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan. Bukti yang sah sebagai bukti syar’i adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti di hadapan majelis peradilan. Namun demikian dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’i. Banyak lagi yang lainnya seperti Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, itu semua harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’i. Karena syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. muchroji amb.feb2010.