Selasa, 18 Januari 2011

Sinkretis - puritan

Sinkretis - puritan

Jum’at malam, 24 Desember 2010, adik dari keluarga Banjar- tinggal di Cimpedak, Jaksel, mengadakan syukuran atas khitanan anaknya. Sudah menjadi biasa bila syukuran mengundang pengajian bapak-bapak, atau ibu ibu, membacakan yasin dan tahlil. Untuk syukuran ini diundang dua pengajian tersebut, pengajian ibu-ibu siang hari tepatnya ba’da ashar dan bapak-bapak malam hari ba’da isya.
Pada saat pengajian bapak-bapak  malam hari,  pembawa acara menyampaikan bahwa malam ini tidak ada acara yasinan, dengan alasan  bahwa yasinan dan tahlil sudah dibacakan siang tadi saat pengajian ibu-ibu, dan sebagai gantinya akan diadakan tausiah, atau ceramah agama oleh KH Azhari Hasyim, yang juga mertua saya.
Sepengetahuan saya, yasinan dan tahlil sudah menjadi biasa saat syukuran atau selamatan apapun di masyakarat betawi termasuk juga di Cimpedak. Mereka sebagaimana masyarakat betawi lainnya memegang erat kebiasaan itu, yang saya sebut di sini sebagai pemegang sinkretis yang cukup kental.
Dengan kejadian tersebut saya melihat, ada semacam pengimbangan-tenggang rasa dengan mertua, sebagai pemegang prinsip puritan yang kuat. Saya tahu itu, karena saya sering kali ngobrol dan sering berujung pada titik prinsip itu, yang dalam istilah, saya sebut puritan. Sebagai gantinya, pembawa acara meneruskan dengan mempersilahkan ceramah agama, yang disampaikan oleh ‘ KH. Azhari Hasyim.
Acara terus berlanjut, tapi ada yang lain, dari wajah-wajah jama’ah terlihat agak janggal, nampaknya mereka semua merasakan itu, suatu yang tidak lazim, tidak biasa dilakukan dalam acara selamatan atau syukuran, apapun syukuran atau selataman itu, ini saya sudah katakan sebelumnya, bagi mereka sudah menjadi kebiasaan yang sangat kental dalam sebuah tradisi yang ada dalam bermasyarakat.

Di akhir acara suasana ganjil nampak semakin terasa, hanya tidak terucap saja, saat salaman pamit pulang, kelihatan sekali kalau di mata mereka ada suatu yang tidak biasa, karena terkesan acara selesai begitu saja, yang sekali lagi bagi mereka tidak biasa.
Bagi saya, langsung terlintas dalam benak, baru saja telah terjadi benturan budaya, antara sinkretis dan puritan. Pengalihan yang biasanya acara yasinan dan tahlil, kemudian diganti tausiah dengan alasan sudah diadakan yasinan sebulumnya hanya sebuah alasan. Karena dalam tradisi sinkteris, sudah menjadi biasa, dan tidak menyalahinya berapapun yasinan dan tahlil dibacakan dalam suatu acara, sekalipun acara yang sama. Artinya kalau pagi yasinan dan tahlil, kemudian siangnya diadakan lagi, atau bahkan malamnya juga dilakukan lagi tidak menyalahi paham sinkretis.
Dalam tausiah, diuraikan masalah taqwa, walaupun tidak terinci betul, saya dapat melihat arah pembicaraan taqwa, yang semata-mata berharap kepada Alloh SWT semata. Terhadap berbuatan dan kelakuan – kerja, yang harus dilakukan seorang makhluk-hamba dalam berusaha mencari kehidupan dunia. Nampaknya bapak mertua sangat hati-hati untuk berterus terang, sehingga pembicaraannya manjdi samar-samar, tapi saya tahu apa yang dituju dan dimaksudkan itu. Karena itu yang menjadi konsen seorang puritan sejak paham wahabi masuk Indonesia.
Atau kalau ingin membicarakannya lebih jauh lagi, yang menjadi incaran puritan adalah kebiasaan ziarah yang dilakukan pemegang sinkretis. Menurut puritan, ziarah yang dilakukan sinkretis adalah sebuah bentuk penyelewengan agama. Karena jauh dengan cara yang dilakukan Rasulullah, Muhammad Saw. Di mana Nabi, saat berziarah tidak membawa bunga-bunga, apalagi dupa, disamping itu tidak lama-lama di arena makam, sebentar saja dengan do’a yang juga tidak lama. Karena tujuan berziarah hanya untuk mengingat kematian disamping mendo’akannya, karena pada akhirnya kullu makhlukin zaikotul maut.
Kaum puritan melihat ziarah semacam itu sebagi prilaku menyimpang, apalagi sampai pada meminta-minta berkah, mengambil air, tanah atau apa saja yang ada kaitannya dengan yg diziarahi. Karena mereka menyakini bahwa tokoh yang diziarahi mempau memberikan berkah kepada yang masih hidup. Apalagi ketika temannya yang melakukan demikian mendapatkan kesuksesan hidup, semakin yakinlah ia akan pemahaman tersebut. Oleh kaum puritan praktek yang demikian dikatakan musyrik- sebagai bentuk penyembahan berhala dalam bentuk lain.
Kembali kepada mertua, dalam obrolan yang sering saya lakukan, kelihatan sekali perjuangan penegakkan paham puritan tidak pernah kendor, itu saya tahu sejak tahun 1989-sejak saya menjadi menantunya, yang ia sendiri sebetulnya tidak memahami istilah-puritan, hanya melakukan saja. Suatu ketika saudara Qiqi (Alm) memberikan mengertian yang sedikit agak berbeda di masjid Al-Furqon-Banjar, mertua langsung memanggil, menasehati, bahkan melarangnya untuk mengulanginya. Ini sebagai bentuk konsistensi-prinsip hidupnya dalam menegakkan puritan yang ekspansif.
Dan itu yang saya tahu tentang kaum puritan, semuanya adalah perjuangan. Islam adalah perjuangan, kalau tidak demikian katanya itu bukan Islam. Kapanpun, dimanapun, Islam harus berjuang. Sepanjang kehidupan nabi adalah perjuangan, sampai-sampai ia dicaci maki, diludahi, dijahati dengan berbagai bentuk, beliau terus berjuang, karena ia ingin mempetahankan perjuangannya, beliau diam saja, tidak membalasnya walaupun bisa.
Sampai beliau dapat menaklukan Kota Makkah, beliau tepat biasa saja, tidak kemudian balas dendam terhadap yang menjahatinya dulu. Bahkan sebaliknya beliau kerkata ‘ mari kita lupan apa saja yang pernah kita lakukan selama ini” begitu katanya terhadap orang yang pernah memusuhi dan menyakitinya. Dengan kebesaran jiwanya , beliau-Muhammad Saw, banyak masyarakat Makkah yang mengikuti ajarannya “ Islam”.
Selepas jama’ah pulang, saya sempat ngobrol dengan mertua, walaupun sekilas. Ia sempat menanyakan bagaimana? yang maksudnya jama’ah tadi dengan tausiah. Sepertinya mertua tahu apa yang ada dalam pikiran saya. Bagus pak , merupakan pengetahuan yang baru, bahwa syukuran tidak selamanya diisi dengan yasinan dan tahlil. Muchroji Amb-sabtu 25 Des2010.