Selasa, 12 Agustus 2008

Isra Miraj: Antara Hamba Photon dan Shalat


Isra Miraj: Antara Hamba Photon dan Shalat

Oleh: KH A Hasyim Muzadi

Sampai sejauh ini, misteri yang menyelimuti peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW masih terus tersimpan rapi. Isra’ dari Masjidil Haram di Mekkah menuju Masjidil Aqsa di Palestina serta Mi’raj dari Masjidil Aqsa menuju Baytul Ma’mur di Sidratul Muntaha, bisa jadi karena murni skenario Allah SWT. Maka, kabut misteri akan tetap menyertai dari tahun ke tahun, setiap kali umat Islam mengingat peristiwa yang menggetarkan jiwa raga ini.

Aneka penjelasan dan pemahaman atas masalah tersebut terus bermunculan sehingga tampaknya tak akan pernah menemukan muara untuk berhenti. Akan selalu ada penafsiran baru, baik dari kacamata pengetahuan fisika maupun metafisika. Dari soal bagaimana Baginda Rasul dipersiapkan untuk perjalanan spektakuler itu hingga ke jumlah rakaat shalat wajib. Dari kekuatan sekecil photon tak bermateri dan tak bermassa hingga jasad materi Muhammad SAW.

Isra’ dan Mi’raj, dari istilahnya tak ada umat Islam yang tidak memahaminya. Bahwa, Isra’ adalah perjalanan di malam hari, kita semua sudah maklum. Bahwa, Mi’raj adalah pendakian dari Masjidil Aqsa menuju Baytul Ma’mur di Sidratul Muntaha juga semua khatib dan penceramah tak pernah lupa mengingatkan kita semua.

Tetapi, adakah kontroversi yang terus dimunculkan soal Isra’ Mi’raj ini akan menyebabkan terjadinya perubahan iman dan keyakinan kita akan peristiwa tersebut.

Isra’ Mi’raj adalah sebuah penggalan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW. Sebagai bagian dari hidup Rasulullah SAW dan perjalanan Islam, kita tentu akan senantiasa memaknainya sebagai sebuah sunah dan sirah nabawiyah yang akan kita pegang kuat-kuat sampai Allah SWT sendiri
yang membuka tabir keajaiban peristiwa mahadahsyat ini.

Refleksi ini tak akan lagi mengurai serta memperbincang kontroversi seputar penafsiran perjalanan itu. Memang, fisika modern berpandangan, amat tak masuk akal bila Baginda Rasul melakukan perjalanan dengan bobot materi yang melingkupi dirinya. Jarak tempuh Makkah menuju Palestina hanya kurang dari satu detik?

Perjalanan ulang-alik Baytul Ma’mur ke Makkah tak lebih dari semalam? Fisika modern sudah pasti akan menolak apa pun bentuk aksiomanya. Apalagi, menurut ilmu fisika, hanya cahaya yang memiliki kecepatan kelebat rata-rata 300.000
km per detik.

Makhluk macam apakah cahaya itu? Ia sebangsa makhluk yang teramat ringan, tak memiliki massa dan bahkan tak memiliki bobot. Hanya photon alias makhluk-makhluk kuantum yang menyusun cahaya itu sendiri yang bisa memiliki kecepatan supercanggih. Jibril AS sebagai rekan di perjalanan dan Buraq sebagai kendaraan adalah dua makhluk photon. Keduanya tercipta dari unsur-unsur cahaya.

Sedangkan, Nabi Muhammad SAW selayaknya kita manusia tentu bukanlah photon. Jasad kita terdiri atas materi berbobot dan bermassa dengan susunan yang sangat rumit, seperti organ, sel organ, molekul, atom, partikel subatomik yang meliputi proton, neutron, electron, serta unsur penyusun lain.

Dengan asumsi dasar semacam ini, kita tentu tak akan pernah selesai menjelaskan atau sekurangkurangnya menguak tabir misteri di sekitar perjalanan materi dan immateri Baginda Muhammad dalam Isra’ dan Mi’raj tersebut.

Satu hal pasti, kita perlu memaknai masalah ini sebagai sirrun min asrooril Lahósatu di antara rahasiarahasia Allah. Subhaanal Ladzii Asroo Bi’abdihiiÖ. Mahasuci Allah yang telah memperjalankan Baginda Rasul di sepenggal malam menuju singasana tertinggi di Sidratul Muntaha pada 27 Rajab. Tamasya ini lalu memunculkan perdebatan panjang, bahkan mungkin hingga dunia benar-benar dilipat di akhir zaman. Bukan memperdebatkan benar tidaknya peristiwa agung tersebut.

Perjalanan Makkah- Palestina dengan jarak 1500 kilometer dilakukan tak sampai satu detik. Bagaimana ini bisa terjadi? Tentu mudah bagi Allah. Karena Jibril yang diciptakan dari cahaya, ia bisa melesat dengan kecepatan supercahaya, sedangkan cahaya memiliki kecepatan tak kurang dari 300 ribu kilometer per detik. Maka, jarak antara kedua masjid agung itu hanya butuh waktu kurang dari satu detik.

Pelengkap lainnya adalah kendaraan Buraq, yang artinya antara lain kilat. Dialah manusia berbalut cahaya. Kalau Rasulullah tidak sempat dibedah oleh Jibril, tak terbayangkan betapa besarnya risiko yang akan menimpa.

Adakah sebuah kendaraan yang memiliki kecepatan seperti itu? Adakah manusia, dengan segala unsur materi yang ada pada dirinya, mampu bertahan dalam kecepatan semacam ini? Bukankah kalau itu terjadi, raganya akan tercerai-berai karena terbetot gaya gravitasi bumi?

Dengan pesawat biasa saja, kita merasakan betapa beratnya terbang dengan kecepatan seperti itu. Lalu, bagaimana dengan pesawat tempur yang kecepatannya melebihi angka tersebut? Isra’ Mi’raj, inilah sebuah peristiwa agung yang semuanya telah dipersiapkan oleh Allah bagi seorang kekasih-Nya, Baginda Muhammad SAW. Hanya beliaulah yang dipilih oleh Allah untuk bertandang ke singgasana Arasy-Nya di Baitul Ma’mur. Untuk apa semua kehendak Allah dengan Isra’ dan Mi’raj ini? Kalau menyimak penggalan ayat Isra’ dan Mi’raj dalam Alquran, dengan mudah kita akan menemukan sebuah isyarat nyata bahwa Dia tengah berkehendak memperlihatkan kepada Baginda Rasul sebagian dari tandatanda kekuasaan-Nya yang agung—linuriyahuu min aayaatinaa.

Untuk apa diperlihatkan kepada Baginda Rasul ini semua? Sebuah pendakian teramat panjang untuk dijelaskan dengan kata-kata.

Sebuah pendakian yang menyertai formalisasi shalat sebagai medium paling formal bagi kita untuk berdialog dengan Allah SWT. Dan, seperti dituturkan dalam banyak riwayat, Allah SWT mengamanatkan shalat kepada semua umat Islam melalui Baginda Rasul. Inilah sebuah fasilitas paling formal dalam Islam yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya.

Inilah sebuah napak tilas yang disajikan oleh Allah kepada manusia agar bisa melakukan dialog dengan Allah sebagaimana dialog Baginda Rasul dengan Kekasihnya dalam peristiwa Mi’raj yang agung. Betapa mudahnya hidup berketuhanan dan betapa murahnya ongkos perjalanan dialog menuju Tuhan.

Inilah shalat. Sebuah medium yang dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem.

Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat.

Benar, adanya penilaian bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusuk pula ia memanfaatkan waktu-waktu shalatnya.

Shalat adalah kebutuhan jiwa karena tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau tidah pernah merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, kita menyampaikan harapan dan keluhan kepada Dia Yang Mahakuasa. Maka, sungguh buruklah diri ini jika kita menghadap kepada Allah Ashshamad, hanya pada saat kita didesak kebutuhan yang mendera-dera. Duh, Gusti! Wallaahu a’lamu bishshawaab.mr-repleksirepublika

1 komentar:

Galih Santoso mengatakan...

sebaiknya mengahadap dan mengingat Allah swt disaat susah dan senang sekalipun ...