Minggu, 24 Agustus 2008

Dari Kamar Mandi Istiqlal ke Istana Negara

Dari Kamar Mandi Istiqlal ke Istana Negara

Oleh John Nikita S

Ketika masih kanak-kanak, Jupri Abdullah hanyalah bocah yang suka menggambar dan bermimpi menjadi pelukis. Sedikit sekali orang yang mengenalnya.

Anak keenam dari delapan bersaudara putra putri pasangan Abdullah dan Khujaimah itu kini terpilih menjadi salah seorang dari tiga pelukis yang membuat karya "on the spot" Detik-Detik Proklamasi 17 Agustus 2008 di Istana Negara.

Dari tujuh karya lukisan yang berhasil dibuat, tiga di antaranya berasal dari sapuan kuas Jupri.

"Saya membuat tiga lukisan, yang satu judulnya Ekspresi Kemerdekaan, yang kedua Melihat Upacara dari Udara, dan yang terakhir Fenomena Baru Upacara Kenegaraan," katanya, saat dijumpai di kantor Embun Karunia di bilangan Pondok Ranji-Bintaro, Jakarta Selatan.

Bagi Jupri, melukis suasana upacara peringatan HUT RI di Pusat Pemerintahan Negara itu merupakan sebuah anugerah dan sekaligus juga prestasi gemilang yang pernah dicapainya.

Apalagi, Museum Rekor Indonesia (MURI) akan mencatatnya sebagai peristiwa pertama yang pernah terjadi di dunia.

Belum pernah ada catatan termasuk di dalam "Guiness Book of World Record" tentang melukis suasana upacara kenegaraan di negara manapun kecuali Indonesia.

Jupri, sudah tentu, berharap kabar prestasinya itu terdengar oleh pengurus pencataan buku rekor dunia tersebut.


"Pelukis rudin"

Secara jujur Jupri (45) mengakui dirinya sangat bangga terpilih sebagai salah satu pelukis yang ikut merekam detik-detik peringatan hari kemerdekaan.

"Saya ini siapa sih? Cuma seorang pelukis rudin, non akademis, pertama hidup di Jakarta pun tinggal di kamar mandi Masjid Istiqlal," kata lelaki kelahiran Pasuruan, 23 Pebruari 1963.

Lukisan pertamanya adalah potret Artimah, neneknya sendiri yang saat ia lukis berusia 70 tahun, tapi kini sudah tiada.

Tidak suka anaknya jadi pelukis, Abdullah pun berang dan sambil langsung meremas-remas hasil lukisan Jupri.

Jupri pun nelangsa. Dengan air mata berlinang, ia memungut hasil karyanya itu, yang dibuang begitu saja di halaman seperti sampah tak berguna oleh sang ayah.

Remasan kertas lukisan itu ia bentangkan lagi secara hati-hati, lalu ia setrika dengan alas kain di atasnya.

"Ternyata, setelah distrika, pada wajah nenek saya dalam lukisan itu muncul guratan-guratan yang membuatnya tambah eksotik," kata Jupri.

Kegembiraan Jupri bertambah besar, ketika ayahnya dapat melihat keindahan yang ia rasakan, dan akhirnya berbalik mendukung niat sang anak untuk jadi pelukis.

Abdullah, yang cuma menghidupi isteri dan delapan anaknya dari usaha buka bengkel sepeda, rela memecahkan celengan untuk membelikan peralatan melukis untuk Jupri.

Seingat Jupri, uang dari celengan ayahnya berjumlah Rp750.000. Dengan modal itu, ayahnya mengajak ia ke Surabaya untuk membeli kuas, kanvas dan cat minyak.

"Sejak itu, ayah selalu menunggui saya bila sedang melukis di dalam kamar tidur," katanya.

Dukungan bagi Jupri juga datang dari pelukis besar Affandi.

Jupri mengaku pernah datang ke rumah Affandi, saat pelukis besar itu sedang membuat lukisan di atas kanvas.

Melihat lukisan sang maestro kebanyakan berlatar "Barat", Jupri pun bertanya, "Abah, kenapa lukisannya Barat melulu, tidak ada yang Indonesia?"

Reaksi Affandi saat itu marah, dan melempar Jupri dengan cat kaleng, dan dalam emosinya ia membuat lukisan Gerhana.

Jupri sendiri mundur tetapi tidak pergi, dan secara diam-diam membuat sketsa Affnadi. "Ketika saya tunjukkan, eh dia bilang, `wah, kamu bisa menggambar juga ya? Ini cat bawa pulang`."


"Merantau ke Ibukota"

Peristiwa di rumah Afandi membuat Jupri semakin yakin dirinya mampu menjadi pelukis. Ia pun memantapkan hati untuk merantau ke Ibukota.

Datang ke Jakarta tahun 1990, suami dari Rachmawati (32) dan ayah tiga anak, Eko Adi Kurniawan (20), Putri Darniawati (13), Anggi Laraswati (6) ini hanya membawa peralatan lukis dan pakaian satu setel di badan.

Pelukis Bonek ("bondo nekat") tapi punya kesungguhan hati, barangkali pas dialamatkan kepadanya.

Tiga bulan pertama ia tinggal di kamar mandi Masjid Istiqlal dan hidup sebagai pelukis jalanan. Nasibnya berubah ketika ia diterima sebagai wartawan Majalah Film, dan pindah ke rumah kos.

Namun demikian, pekerjaan kuli tinta ternyata tidak mampu meluluhkan tekad Jupri untuk menjadi pelukis ternama.

Tahun 1994, Jupri berhenti jadi wartawan dan kembali menekuni dunia yang mampu membahagiakan batinnya, yakni dunia melukis.

Setahun sebelum memutuskan keluar dari Majalah Film, pengusung naturalis dan ekspresionis ini diam-diam meleburkan diri di dalam komunitas Pasar Seni Ancol.

Namun, tidak sampai satu tahun ia berada di sana.

"Pelukis Ancol tahun 1990-an, bahkan sampai sekarang seolah tidak punya nyawa seperti di tahun 1970-an. Mereka lebih banyak tidur, kerja ngelantur, tidak inovasi. Jiwa saya tidak cocok," katanya.


Bangsa Yang Gundah

Merasa tidak mampu mengubah kondisi Pasar Seni Ancol, Jupri pun hengkang. Ia menetapkan hati untuk kerja mandiri, dan ternyata berhasil.

Paling tidak, pelukis otodidak yang kini menekuni aliran kontemporer ini sudah cukup banyak meraih prestasi.

Telah melakukan pameran tunggal sebanyak sembilan kali dan 15 kali pameran bersama di Jakarta, Surabaya, Malang dan Malaysia, Jupri adalah pemegang rekor MURI sebagai pelukis kaligrafi Basmallah terkecil, dicatat pada 2003.

Tahun 2004, namanya kembali dicatat MURI sebagai pemegang rekor konvoi lukisan terpanjang, setahun sebelum ia memecahkan rekor sebagai pelukis yang menggunakan bahan sari buah nanas di atas kertas foto.

Lukisan itu sendiri dijadikan koleksi Istana Nagara pada masa Pak Harto.

Minggu lalu, ia bersama Atika Hariyadi dan Iwan Suhaya mendapatkan kesempatan melukis di Istana Negara.

Ada tiga yang dilihat Jupri saat itu.

Pertama adalah kemegahan Istana Negara dalam melaksanakan kegiatan kenegaraan, dan ini dituangkan di atas kanvas yang ia beri judul Ekpresi Kemerdekaan.

Di matanya, upacara peringatan hri kemerdekaan waktu itu cukup "ribet" dan ia menampilkannya dalam lukisan kedua berjudul Fenomena Baru Upacara Kemerdekaan.

"Yang saya lihat, setelah upacara, para tamu termasuk pejabat dan anggota DPR tidak merenungkan arti proklamasi, tetapi sibuk berfoto ria bersama keluarga dan teman," katanya.

Lukisan ketiga diberinya judul Melihat Upacara Dari Udara, dan ketika ditanyakan alasannya, sang pelukis mengatakan, "Entahlah, yang saya lihat adalah kegundahan bangsa ini."

Rencananya, tujuh lukisan on the spot Detik-Detik Proklamasi 17 Agustus 2008 akan dipamerkan di Museum Nasional pada akhir pekan ini.

Menurut Jupri, ketujuh lukisan itu merupakan aset negara karena memiliki nilai sejarah.

"Kita kan engga tahu, 50 tahun nanti Indonesia masih ada apa nggak? Tujuh lukisan ini bisa menjadi bukti adanya negara Indonesia," katanya.mr-antara

Tidak ada komentar: