Jumat, 22 Agustus 2008

Jiwa Oleh Zaim Uchrowi

Jiwa Oleh Zaim Uchrowi

Di mana tempat jiwa dalam kehidupan sehari-hari? Apalagi dalam berbangsa dan bernegara? Mungkin tidak ada. Jiwa tak berbentuk, tak berdimensi, tak terlihat, apalagi terpegang. Maka, tentu sulit memberi tempat bagi sesuatu semacam itu.
Ketiadaan tempat bagi jiwa dalam pengelolaan negara baru saya sadari di sebuah seminar. Seminar itu membahas evaluasi kinerja negara. Tepatnya kinerja pemerintah. Sesuai tujuannya, hasil evaluasi itu cukup baik. Dalam arti mampu menunjukkan pencapaian baik tanpa berlebihan. Juga memberi catatan pas pada kinerja yang dianggap kurang. Tapi, pada evaluasi itu juga terlihat bahwa memang tak ada tempat bagi jiwa dalam mengelola negara.

Tak adanya tempat bagi jiwa sebenarnya sudah lama. Sejak cara pandang Newton dan Descartes menguasai bumi ini menyingkirkan cara pandang holistik di abad ke-18, jiwa memang tak lagi diberi tempat dalam kehidupan. Dalam hidup, yang perlu mendapat perhatian hanya yang terukur dan dapat dirasakan pancaindera. Jiwa bukan hal yang terukur. Tak pula terjangkau lima indera. Yang layak menjadi perhatian hanya yang dapat diprosedurkan. Jiwa bukan hal dapat diprosedurkan. Yang boleh dipentingkan hanya yang dapat dirumuskan secara formal. Jiwa bukan garapan perumusan formal.

Maka prosedur, mekanisme, dan formalitas yang dipentingkan dalam kegiatan sehari-hari. Lingkungan yang semestinya menyuburkan jiwa pun sering menjadi begitu mekanistis. Lingkungan keagamaan, misalnya, atau pendidikan. Pengajian-pengajian agama banyak yang menjadi sebatas ajang penyetempelan 'salah-benar' atau 'halal-haram' ketimbang menjadi sarana pembimbingan bagi umat yang dahaga jiwa. Guru juga lebih banyak yang berubah sekadar menjadi tenaga penyampai kurikulum. Bukan lagi menjadi pendidik yang mampu meresapi suasana hati setiap muridnya.

Dunia bisnis dan hukum apalagi. Tak semua memang. Tapi, pada umumnya, bisnis terfokus bagaimana meraih keuntungan finansial. Tak penting seberapa besar kontribusinya buat menumbuhkan kemanusiaan. Sama tak pentingnya apakah adil bila Renata Tan, sang penbunuh pembantunya sendiri, hanya diancam pasal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang maksimal tujuh tahun penjara. Padahal, sebelumnya, istri dokter itu telah dua kali dihukum juga karena membunuh pembantu. Hukumannya pun sangat ringan.

Mengabaikan rasa keadilan bagi keluarga korban tak membuat rasa bersalah sang penegak hukum. Toh ada alasan legal formal yang dapat membenarkan.Pendekatan formalistis-mekanistis telah memenuhi sekujur badan negeri ini, hingga kita gemar membuat program normatif. Seolah program normatif tanpa jiwa itulah yang membantu masyarakat. Padahal, jiwalah yang menjadi kunci keberdayaan masyarakat. Jiwa yang mampu membangkitkan semangat, baik bagi pribadi, masyarakat, maupun bangsa. Jiwa yang dapat membuat suatu bangsa berjaya, sebagaimana jiwa telah membuat kita merdeka: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia ...."mr-resonansirepublika

Tidak ada komentar: