Selasa, 26 Agustus 2008

Menyambut Ramadhan


Menyambut Ramadhan

Setiap menjelang bulan suci Ramadhan, silang pendapat mengenai pengelolaan tempat-tempat hiburan selalu saja muncul. Ada yang berpandangan bahwa kota-kota besar seperti Jakarta--dan kota-kota besar lainnya--harus melayani segala lapisan masyarakat. Mereka yang ingin ''pergi ke neraka'', istilah untuk orang-orang yang mencari hiburan di tempat-tempat maksiat, harus diperlakukan sama dengan mereka yang ingin ''pergi ke surga''. Yang terakhir ini adalah istilah untuk mereka yang taat beragama.

Mereka yang berpandangan demikian tentu saja keberatan bila selama bulan Ramadhan, tempat-tempat hiburan dibatasi, apalagi ditutup. Bagi mereka, penutupan paksa tempat-tempat hiburan barangkali dianggap melanggar hak para pelanggan. Selain mengurangi/menghilangkan pendapatan bagi mereka yang bekerja di tempat-tempat tersebut, otomatis juga mengurangi pendapatan pemerintah daerah dari pajak hiburan.

Di sisi lain, umat Islam akan merasa terganggu bila tempat-tempat hiburan (baca: tempat maksiat) terus beroperasi selama bulan Ramadhan. Bagi umat Islam, Ramadhan adalah bulan suci. Ia adalah tamu agung yang harus dihormati. Ia hanya datang satu bulan selama satu tahun. Selama satu bulan penuh, umat Islam akan ''habis-habisan'' beramal dan beribadah. Selain puasa di siang hari, mereka juga akan menjalankan shalat Tarawih, tadarus Alquran, serta amalan-amalan ibadah lainnya sepanjang siang dan malam.

Untuk bisa menjalankan semua itu, umat Islam membutuhkan ketenangan. Ketenangan lahir dan batin, jiwa dan raga. Bahkan, selama bulan suci Ramadhan ini, mereka akan memperbanyak amar ma'ruf nahi munkar (menyerukan pada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Bagi mereka, memperbanyak amar ma'ruf nahi munkar, khususnya di bulan suci Ramadhan, adalah pahala yang berlipat-lipat. Karena itu, barangkali bisa dimaklumi bila pada waktu-waktu lalu ada sekelompok umat Islam yang marah terhadap tempat-tempat maksiat yang tetap beroperasi seperti sediakala selama bulan Ramadhan. Kemarahan yang kemudian dilampiaskan dalam bentuk merazia/merusak tempat-tempat hiburan tersebut.

Kita tentu saja tidak mufakat pada model amar ma'ruf nahi munkar dengan merazia dan merusak tempat-tempat maksiat tadi. Karena, tindakan yang dilakukan sekelompok masyarakat tadi berpotensi menimbulkan kekerasan (anarkisme) dan bahkan konflik horizontal. Selain itu, agama juga tidak mengajarkan cara-cara kekerasan seperti itu.

Di sinilah diperlukan sikap tegas dari pemerintah dan aparat keamanan/hukum. Sikap tegas yang ditunjukkan dengan cepat merespons aspirasi umat Islam yang merasa terganggu dengan beroperasinya tempat-tempat maksiat selama Ramadhan. Misalnya, dengan segera mengeluarkan peraturan daerah yang membatasi/menutup tempat-tempat maksiat tadi, terutama yang berada di sekitar tempat-tempat ibadah.

Juga, peraturan-peraturan lain untuk melarang hal-hal yang dapat mengganggu ketenangan umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa. Aparat keamanan/hukum juga harus segera menindak siapa saja tanpa pandang bulu yang melanggar hukum/peraturan. Yang terakhir ini, perlu kita garis bawahi karena munculnya kekerasan dan konflik horizontal di masyarakat sering kali karena aparat kurang antisipatif: terlambat bertindak dan memihak.

Apa yang kita sampaikan tadi bukan bermaksud untuk membatasi hak pihak lain. Kita hanya mengajak, marilah saling menghormati, termasuk menghormati umat Islam yang menyambut tamu agung bernama Ramadhan. Penghormatan yang juga kita berikan kepada saudara-saudara kita dari agama lain. Saling menghormati inilah kunci untuk kita dapat hidup rukun dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia ini.mr-tajukrepublika

Tidak ada komentar: