Selasa, 26 Agustus 2008

Mengokohkan Kesyariahan Sukuk

Mengokohkan Kesyariahan Sukuk

Raditya Sukmana
Dosen FE Unair dan Part-Time Lecturer IIU Malaysia

Irfan Syauqi Beik
Dosen FEM IPB dan Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Malaysia


Salah satu isu terhangat pasar keuangan syariah adalah kesesuaian syariah dari sukuk. Muhammad Taqi Usmani, seorang ahli fikih dan pakar keuangan syariah kenamaan yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Syariah AAOIFI, sebuah lembaga internasional terkemuka yang membuat berbagai aturan standar keuangan syariah dunia, mengatakan 85 persen penerbitan sukuk dunia tidak sesuai dengan syariah.

Mantan hakim agung pada Mahkamah Syariah Pakistan itu menyatakan bahwa sukuk-sukuk tersebut pada umumnya memiliki kemiripan praktik dengan obligasi konvensional berbasis bunga sehingga jika tidak segera diperbaiki mekanismenya dikhawatirkan akan menciptakan sejumlah masalah di masa datang. Ia pun mempermasalahkan struktur sukuk yang lebih mendekati struktur debt-based daripada equity-based. Sebuah pernyataan yang perlu mendapatkan perhatian dari seluruh pemangku kepentingan industri keuangan syariah mengingat latar belakang kepakaran beliau tidak diragukan lagi.


Tiga persoalan
Ada tiga kondisi yang dikritisi oleh Syekh Taqi, yang membuat beliau sampai pada kesimpulan bahwa mayoritas sukuk tidak sesuai dengan syariah. Pertama, masalah kepemilikan terhadap aset dalam sukuk. Secara konsep, sukuk merepresentasikan saham kepemilikan aset yang memberikan pendapatan dan keuntungan, seperti aset yang disewakan maupun investment vehicle yang mencakup sejumlah proyek di sektor riil.

Meski demikian, pada praktiknya, masalah kepemilikan ini sering kali menimbulkan keraguan. Syekh Taqi memberikan contoh beberapa sukuk yang menjadikan saham perusahaan sebagai underlying asset-nya, di mana saham tersebut tidak mencerminkan kepemilikan aset perusahaan sepenuhnya, melainkan hanya memberikan hak untuk mendapatkan dividen. Sukuk tidak lebih dari membeli “return” atau dividen dari saham, dan hal tersebut kurang sesuai dengan syariah.

Kedua, ditinjau dari sisi pembagian laba yang dilakukan secara rutin. Syekh Taqi mengungkap sebagian besar sukuk yang diterbitkan memiliki kemiripan dengan obligasi konvensional dalam hal pembagian laba dengan persentase tetap, yang besaran nilainya merujuk pada tingkat suku bunga (LIBOR).

Yang beliau soroti, bagaimana manajer atau pengelola sukuk dapat memastikan laba tersebut akan dibagikan secara rutin. Cara yang lazim digunakan adalah dalam dokumen sukuk tersebut telah dijelaskan berapa laba yang akan dibagikan kepada investor. Apabila laba yang terjadi lebih besar dari laba yang telah tertulis, kelebihannya menjadi insentif bagi manajer karena telah berhasil melampaui target yang telah ditetapkan.

Tetapi, apabila yang terjadi sebaliknya, yaitu laba yang dihasilkan lebih kecil dari yang tertulis dalam dokumen, manajer wajib membayar kekurangannya dengan menganggap sebagai pinjaman tanpa bunga pada investor. Manajer akan dapat memperoleh kembali pinjaman ini ketika pada periode selanjutnya laba yang dihasilkan lebih besar dari yang tercatat dalam dokumen. Bagi Syekh Taqi, ini hal yang kurang sesuai dengan syariah.

Ketiga, adanya klausul untuk membeli kembali sukuk pada saat jatuh tempo sesuai dengan nilai nominalnya tanpa memandang harga pasarnya. Ini dilakukan melalui instrumen binding promise (al-wa’ad) atau janji mengikat yang secara eksplisit dinyatakan dalam akad sukuk. Beliau memandang itu memiliki kemiripan dengan obligasi konvensional dan memerlukan kajian syariah yang lebih dalam.

Analisa fikih
Bagi Taqi Usmani, ketiga kondisi itu menimbulkan sejumlah pertanyaan yang memerlukan analisis dan penjelasan secara fikih. Pertama, bolehkah kita menganggap kelebihan laba aktual terhadap laba (return) yang dibagikan kepada investor sebagai insentif bagi pengelola atau manajer sukuk?

Kedua, bolehkah manajer sukuk membayar selisih antara laba aktual dan laba yang akan dibagikan kepada investor sebagai bentuk pinjaman tanpa bunga dan kemudian menggantinya apabila laba aktual periode berikutnya lebih besar dari laba yang akan dibagikan? Ketiga, apakah binding promise untuk membeli kembali aset sukuk pada saat jatuh tempo sesuai nilai nominal awalnya dan menjamin return diperbolehkan?

Terkait dengan pertanyaan pertama, Syekh Taqi menjelaskan pada umumnya fuqaha membolehkan pemberian insentif dalam kontrak wakalah, sebagaimana dinyatakan dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibnu Abbas dan Ibnu Sirin dan diperkuat oleh pendapat Ibn Qudama. Karena itu, pada prinsipnya seorang broker diperbolehkan menjual sesuatu di atas harga yang ditawarkan oleh produsen dan kelebihan dari hasil penjualan itu menjadi miliknya.

Dalam kaitannya dengan praktik sukuk saat ini, Taqi Usmani mengusulkan agar pemberian insentif ini dikaitkan dengan ekspektasi profit perusahaan yang menerbitkan sukuk. Sebagai contoh, jika ekspektasi minimum keuntungan 10 persen, pengelola atau manajer sukuk berhak mendapat tambahan fee jika keuntungan aktual yang didapat lebih besar dari 10 persen. Ini menunjukkan kinerja manajemen sangat bagus.

Syekh Taqi menolak jika besarnya persentase laba yang akan dibagikan kepada pemegang sukuk dikaitkan dengan cost of financing maupun tingkat suku bunga. Dewan Pengawas Syariah harus jeli melihat ini.

Kemudian pada pertanyaan yang kedua, Syekh Taqi menjelaskan, jika hal tersebut terjadi, transaksi akan jatuh pada kategori “penjualan dengan kredit”, di mana transaksi tersebut dilarang berdasarkan hadis shahih-hasan riwayat Imam At-Tirmizi dan Abu Daud. Terkait dengan hal ini, Ibnu Qudamah mengatakan para ulama tidak berbeda pendapat. Ia mengatakan jika seseorang menjual dengan syarat sang pembeli memberikan kredit atau pinjaman kepada sang penjual, atau sebaliknya, transaksi tidak sah.

Jawaban pertanyaan ketiga, Syekh Taqi menjelaskan jika manajer sukuk bertindak sebagai mudharib atau syarik (mitra), komitmen tersebut tidak sah. Sejumlah pakar mencoba memberikan argumentasi bahwa komitmen yang berujung pada capital guarantee itu diperbolehkan pada syirkatul milk dan dilarang pada syirkatul ‘akad sehingga jika sukuk dilandasi oleh prinsip syirkatul milk maka komitmen yang ada menjadi valid.

Menanggapi itu, Syekh Taqi menjelaskan pada kenyataannya transaksi pada sukuk tidak untuk menguasai/memiliki aset yang ada sebagaimana direfleksikan oleh syirkatul milk, tetapi lebih pada joint investment, yang notabene bentuk syirkatul ‘akad.


Hikmah bagi Indonesia
Pernyataan Syekh Taqi Usmani mengundang kontra argumen sejumlah pakar, seperti Mohamed Elgari, Nejatullah Siddiqui, Rodney Wilson, dan M Akram Laldin. Secara umum mereka mengatakan pada kondisi sekarang ini memang agak sulit mencari bentuk yang ideal karena industri keuangan syariah masih pada tahap awal pengembangan.

Sukuk memang saat ini lebih menggunakan struktur berbasis utang dibandingkan dengan berbasis ekuitas karena “secara alami” karakter sukuk lebih dekat kepada struktur berbasis utang. Ke depan diperlukan sejumlah inovasi agar instrumen sukuk ini dapat lebih berbasis ekuitas sehingga bisa optimal berperan dalam pembangunan ekonomi sebuah negara.

Bagi negara kita, ada dua pelajaran utama yang dapat diambil. Pertama, perlunya memiliki ahli-ahli fikih yang memiliki penguasaan dan wawasan ekonomi yang baik serta ekonom yang berwawasan syariah. Hal ini dapat dipenuhi melalui pembangunan sistem pendidikan ekonomi syariah yang termanajemen dengan baik.

Kedua, perlunya kehati-hatian secara syariah dalam setiap penerbitan sukuk agar tidak terjebak pada isu-isu di atas. Rencana pemerintah menerbitkan sukuk negara Rp 15 triliun perlu kita dukung. Namun, penulis berharap agar akad yang digunakan benar-benar sesuai dengan syariah. Misalnya, jika pemerintah ingin menggunakan sukuk ijarah, jangan sampai barang milik negara (BMN) hanya menjadi “agunan”.

Padahal, maksud dari sukuk ijarah adalah agar barang/aset yang ada dapat didayagunakan melalui mekanisme sewa yang akan memberikan keuntungan. Jika BMN itu tidak digunakan untuk kegiatan bisnis sebagaimana tujuan penerbitan sukuk, sebaiknya jangan dijadikan sebagai underlying asset. mr-opinirepublika.
Ikhtisar:
- Syekh Taqi, ahli fikih dan ekonomi Islam, menyatakan mayoritas sukuk tidak sesuai dengan syariah.
- Solusinya melalui pembangunan sistem pendidikan ekonomi syariah yang termanajemen dengan baik.

Tidak ada komentar: