Minggu, 24 Agustus 2008

Partai Politik dan Kepemimpinan Nasional

Partai Politik dan Kepemimpinan Nasional

Ma'mun Murod Al-Barbasy
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah dan Direktur Lab Ilmu Politik FISIP UMJ

Tanggal 24-26 Agustus 2008, Pemuda Muhammadiyah menyelenggarakan Tanwir II di Makassar, Sulawesi Selatan. Tanwir kali ini mengusung tema ''Memimpin dan Berkhidmat untuk Rakyat''. Diangkatnya tema ini berangkat dari beberapa pertimbangan. Pertama, realitas dan dominasi pemaknaan politik yang lekat dan berwajah machiavellistik. Sementara wajah politik klasik yang santun dan normatif terabaikan. Kedua, akibat pemaknaan politik yang demikian, politik selalu dimaknai sebagai hanya ''perebutan kekuasaan'', sementara politik yang sarat dengan nilai dan langsung bersinggungan dengan persoalan dan kepentingan (ke)umat(an) begitu terabaikan. Ketiga, karena politik yang berorientasi kekuasaan an sich, segala macam cara pun dilakukan untuk menggapai kekuasaan tersebut.

Pertanyaan yang cukup mendasar: Apakah melalui proses dan orientasi politik yang demikian akan mampu menghasilkan kepemimpinan nasional yang sesuai dengan harapan masyarakat banyak?

Politik kekuasaan
Salah satu dampak negatif perubahan politik pasca-Orde Baru adalah terjadinya liberalisasi politik yang luar biasa dan begitu cepat melebihi liberalisasi politik yang terjadi di AS sekali pun, negara yang sering disebut sebagai moyangnya demokrasi. Bayangkan, hanya dalam kurun waktu 10 tahun, semua proses pemilihan pejabat publik (politik) seperti presiden-wakil presiden, gubernur-wakil gubernur, dan bupati-wakil bupati/wali kota-wakil wali kota telah ''berhasil'' dipilih secara langsung. Sementara di AS, pemilihan presiden sekali pun belum menggunakan model pemilihan langsung.

Lebih memprihatinkan lagi, liberalisasi politik yang terjadi tidak diikuti oleh pembuatan regulasi politik yang mengarah pada penguatan sistem politik ke arah yang lebih demokratis. Regulasi politik dibuat hanya berdasarkan kepentingan politik pragmatis dan instan semata. Di saat bersamaan, praktik demokrasi hanya berlangsung dalam bingkai yang serba formalistik dan prosedural. Sementara nilai-nilai fundamental dan substansial dari demokrasi sekadar pemanis bibir yang keluar dari mulut elite politik.

Dampak politik ikutan dari praktik demokrasi yang demikian, setidaknya tergambar setiap menjelang perhelatan politik lima tahunan: pemilu. Selalu saja masyarakat disuguhi tontonan politik yang secara demonstratif menggambarkan bahwa politik semata hanya dimaknai sebagai ''perebutan kekuasaan''. Politik tidak pernah atau setidaknya begitu langka dimaknai sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal-ihwal yang menyangkut kebaikan bersama (public good, maslahat-i al-ammah) seluruh anggota masyarakat.

Kenyataan ini misalnya tergambar dari pernyataan banyak elite politik menjelang pemilu. Selalu saja muncul penyataan yang berkenaan dengan target politik masing-masing partai terkait dengan perolehan suara atau kursi di legislatif. Tetapi sedikit sekali yang berbicara tentang bagaimana membangun partai yang modern, membangun partai yang mampu menyeimbangkan antara kepentingan idealis partai dan kepentingan pragmatis, membangun partai yang mampu menghasilkan mekanisme rekrutmen kader politik yang proporsional (wad'u syaiin fii mahalli).

Masyarakat juga disuguhi tontonan politik yang sama sekali tidak mendidik seperti perusakan kantor partai lantaran terjadinya dualisme kepengurusan atau caleg yang diusungnya tidak menempati nomor jadi. Masyarakat disuguhi tontonan politik lainnya berupa sikap politik beberapa partai dalam menyikapi peraturan terkait pelaksanaan Pemilu 2009, yang menggambarkan ''kegagapannya'' dalam menyikapi regulasi politik yang dibuatnya--tentu saja melalui ''kompromi politik'' di DPR. Ada partai besar yang tiba-tiba berubah haluan politik dengan menggunakan suara terbanyak untuk menentukan caleg terpilih pada Pemilu 2009. Ada juga partai yang mengusung suara terbanyak dengan menampilkan banyak artis menjadi caleg lantaran kekhawatiran perolehan suaranya tidak memenuhi ambang batas electoral threshold (ET) maupun parliamentary treshold (PT).

Penguatan partai politik
Dengan kecenderungan partai yang demikian, rasanya semakin sulit untuk menjawab pertanyaan di atas. Pertanyaan di atas hanya bisa terjawab ketika partai-partai yang ada secara politik sudah berfungsi dengan baik. Begitu juga orientasi politiknya bukan sekadar pragmatis belaka, sebagaimana partai politik pragmatis, sekadar menyebut tipe partai politik berdasarkan asas dan orientasinya.

Kenapa partai? Partailah yang memiliki posisi dan peranan dominan dalam sistem politik yang demokratis. Partailah--melalui wakilnya di parlemen--yang mempunyai kewenangan untuk membuat regulasi, termasuk regulasi di bidang politik.

Karena posisi dan peranannya yang demikian, maka tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa tanggung jawab besar atas problema bangsa ini berada di pundak partai politik. Dan untuk bisa menjawab problema bangsa ini, tidak ada pilihan kecuali partai politik melakukan penguatan diri. Tidak saja dalam hal yang terkait dengan strategi pertarungan memperoleh kekuasaan, tapi lebih penting lagi adalah penguatan diri di tingkat internal partai, utamanya dalam hal yang terkait dengan penguatan organisasi, sistem, dan pembuatan mekanisme di tingkat internal partai.

Partai politik harus mampu membuat mekanisme kepartaian yang menjadikan anggotanya dalam berpartai tidak semata hanya berorientasi perebutan kekuasaan politik, apakah di lingkup legislatif maupun eksekutif, dan mempunyai kebanggaan berpartai tanpa harus semuanya ikut terlibat aktif dalam perebutan kekuasaan politik.

Mekanisme ini mendesak untuk dibuat. Selain untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi citra partai semata sebagai instrumen ''perebutan kekuasaan'', juga untuk pembagian kinerja partai yang lebih jelas. Selama ini kebanyakan orang berpartai dan seakan dianggap lebih penting dan mulia ketika yang bersangkutan menjadi caleg. Sementara mengurus hal lainnya yang terkait dengan misalnya masalah perkaderan dianggap tidak begitu penting. Sehingga hampir kebanyakan partai mengabaikan akan hal ini. Padahal pada sisi inilah starting point penguatan partai mutlak dilakukan.

Partai yang mengedepankan perkaderan merupakan muara bagi terbentuknya partai yang ideal. Karena dari proses inilah diharapkan akan menghasilkan output berupa kader partai yang ideolog dan mumpuni, yang pada tahapan selanjutnya akan melahirkan kader politik bangsa yang ideolog pula, dan tidak instan, sebagaimana kecenderungan kuat aktivis partai yang ada saat ini, sehingga dengan begitu mudahnya berpindah partai politik.

Di sinilah letak problem kepartaian hingga saat ini. Imbasnya, transfer kepemimpinan nasional pun menjadi tidak ideal. Karena prosesnya tidak ideal, pemimpin yang ada pun sulit diharapkan akan mampu muwujudkan misi utama sebuah kepemimpinan: tasharaful imam 'ala ra'iyyati manutun bi al-maslahah, di mana sukses tidaknya sebuah kepemimpinan ditentukan oleh mampu tidaknya sang pemimpin mewujudkan ''kebaikan bersama''.
Di saat berbagai krisis dan problema kebangsaan masih melilit bangsa Indonesia, tentu sangat dibutuhkan figur pimpinan nasional yang mampu membaca peta persoalan dan berusaha memecahkannya. Dibutuhkan figur pimpinan yang mampu menyelami hati dan perasaan rakyatnya. Dibutuhkan pemimpin yang siap berhidmat untuk rakyat.

Karena pentingnya masalah kepemimpinan nasional ini, maka salah satu agenda penting dalam Tanwir II Makassar kali ini adalah merumuskan dan merekomendasikan masalah yang terkait dengan kepemimpinan nasional, sesuai tema Tanwir, ''memimpin dan berhidmat untuk rakyat''. Wallah-u al-musta'an.mr-opinirepublika.

Tidak ada komentar: