Jumat, 22 Agustus 2008

Dimensi Perubahan

Dimensi Perubahan
Lelaki lanjut usia itu bertanya, berapa tahun kita merdeka? "Enam puluh tiga tahun!" sahut remaja di dekatnya. Pikir anak muda itu, ini hanya soal hitung-hitungan jumlah, 2008 dikurangi 1945. Tetapi bagi Pak Tua, ada konsep evaluasi dalam pertanyaannya: "Kemerdekaan telah menghasilkan apa untuk kita." Dia masih sering bernostalgia tentang masa dalam kobaran revolusi menjelang kemerdekaan, ketika dia dalam usia muda belia berjuang mati-matian demi kemerdekaan. Keadaan telah berubah. Yang tertinggal hanya kenangan tentang jasa dan kepahlawanan, serta raga kusut masai yang dada kirinya penuh dihias bintang gerilya.

Bagi generasi muda umumnya, yang lahir dalam alam merdeka, persoalannya bukan lagi evaluasi tentang pencapaian kemerdekaan. Juga jelas bukan tentang kemerdekaan itu sendiri, yang sudah 'given'. Yang terpikir oleh mereka adalah Sejarah Baru, suatu dunia baru yang merentang di depan.

Apa arti Sejarah Baru dan mengapa generasi muda mendambakannya? Tentang ini Dr Robert J Lifton, ahli ilmu jiwa tamatan Cornell dan Harvard yang banyak menulis soal kejiwaan, termasuk soal reformasi pemikiran, menyatakan Sejarah Baru adalah penciptaan kembali bentuk-bentuk kebudayaan manusia secara radikal yang diakui umum. Bentuk-bentuk baru itu bukan lahir secara spontan, melainkan lanjutan atau perombakan dari yang sudah ada. Yang membentuk Sejarah Baru--orang-orang revolusioner di bidang politik, orang-orang yang berpikir revolusioner, bencana-bencana besar, dan penemuan-penemuan baru di bidang teknologi--juga mencanangkan berakhirnya suatu era.

Lifton selanjutnya berpendapat, hal itu telah terbukti oleh revolusi-revolusi Amerika, Prancis, Rusia, dan China. Juga oleh ide-ide Copernicus tentang gerakan-gerakan planet; Darwin dengan teori evolusinya; dan Freud dengan teori hasrat dan kecemasan terpendam, serta ego dan superego. Bukti dalam abad 20 lalu adalah revolusi teknologi yang memungkinkan bencana Auschwitz dan Hiroshima. (Mungkin di abad ini tentang selisih pendapat mengenai masalah nuklir dengan Korea Utara dan Iran). Revolusi teknologi pula yang membentuk masyarakat elektronik pascamodern. Berakhirnya suatu era juga berarti larutnya bentuk, pandangan, dan pola kehidupan yang sejak lama diikuti sebagian besar umat manusia. Sejarah Baru, dengan demikian, dibangun di atas paradoks tentang dua hal yang bertentangan: pemusnahan sejarah lama oleh teknologi dan kesadaran bahwa manusia itu satu.

Karena besarnya dimensi perubahan, bisa dimengerti mengapa selalu ada perbedaan antara pandangan generasi tua dan generasi muda. Sarwono Kusumaatmadja pernah mengatakan orang tua cenderung melihat ke belakang, orang muda melihat ke depan. Tentang kemerdekaan, misalnya, orang-orang lanjut usia cenderung mengenang masa-masa kejayaannya di masa silam, ketika kehidupan penuh diwarnai berbagai ideologi politik yang muluk-muluk. Pikiran-pikiran baru yang praktis dan pragmatis, yang mengikuti alur zaman, adakalanya mereka anggap banal dan tidak nasionalistis. Konflik pemikiran seperti ini sampai sekarang masih ada dan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sekarang.

Memang yang lebih mendesak bagi generasi muda sebenarnya adalah bagaimana mengejar kehidupan maju dalam situasi yang serba labil sekarang, yang dengan dalih demi kemajuan, mengalami perubahan-perubahan serbaradikal. Dengan menganggap diri berbeda dari generasi tua, generasi muda lebih bersandar pada akal dan nalar. Mereka bukan mengabaikan sejarah masa lalu, melainkan bertindak atas dasar pengalaman dan pengetahuan dunia yang ibaratnya terangkum dalam internet. Telah datang Sejarah Baru dengan tantangan baru. Karena menghadapi itu, mau tidak mau, mereka harus berpikir lebih maju.

Namun, jalan sejarah tidak selalu sesuai dengan ramalan berdasar nalar. Karena itu, kecemasan akan masa depan yang berlebihan sama naifnya dengan keyakinan bahwa masa depan pasti lebih hebat. Rasanya lebih realistis kalau berpikir, perubahan-perubahan sedang dan akan terus terjadi dengan kecepatan luar biasa, jika dibandingkan dengan laju perubahan sosial masa silam. Ini harus disadari bersama oleh yang tua maupun yang muda. Kemungkinan tentang datangnya malapetaka, atau sebaliknya tentang kehidupan yang lebih hebat, sama-sama merentang di depan. Namun, memang tidak ada penggalan sejarah yang sedinamis sekarang. Dimensi perubahan belum pernah sebesar sekarang. mr-mediaindonesia.Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group

Tidak ada komentar: