Jumat, 22 Agustus 2008

Ramadhan sebagai Spirit Iman

Ramadhan sebagai Spirit Iman

Mayor Halkis
Perwira Rohani TNI AU, Alumni Akidah/Filsafat IAIN Sultan Syarif Kasim, Riau

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Albaqarah: 183). Surat Albaqarah ini menjadi dasar pelaksanaan ibadah puasa yang kalau kita cermati ada tiga hal pokok, yaitu peruntukannya bagi orang yang beriman, kewajiban tersebut juga diberikan pada umat-umat sebelumnya, dan yang terpenting lagi adalah tujuan puasa agar bertakwa.

Mengenai kapan dan bagaimana melaksanakannya dapat dilihat pada ayat selanjutnya. Bahkan, kalau terjadi halangan juga dijelaskan dalam ayat ini. Sebagai titik tolak dari ayat ini adalah peruntukan panggilan puasa pada bulan Ramadhan bukan diberikan kepada seluruh umat yang mengakui dirinya sebagai orang Islam, tapi bersifat khusus, yaitu orang yang beriman semata. Artinya, seorang Muslim tidak mudah untuk mengakui diri sebagai seorang yang beriman di antaranya karena melaksanakan puasa dalam bulan Ramadhan ini.

Memang ada juga orang yang berpendapat setiap Muslim adalah orang beriman, dengan alasan setiap Muslim pasti telah bersyahadat atau menyampaikan pernyataan pengakuan akan kesaksian diri tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan-Nya. Dalam pernyataan ini telah tergambar seseorang itu adalah orang yang percaya dengan adanya Tuhan sehingga tidak puasa pun juga dapat dikatakan orang yang beriman.

Pendapat ini adalah benar kalau hanya sampai pada tahap pertanyaan beriman atau tidaknya seseorang. Akan tetapi, pada tataran tauhid tidak ada bedanya dengan umat lain. Kita ambil contoh Sepuluh Perintah Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Musa As. Dari sepuluh perintah itu justru tiga perintah menjelaskan mengenai tauhid. Perintah pertama dalam bahasa Ibraninya '' Lo' yihyeh-leka 'Elohim aherim 'al panay!'' artinya ''Jangan engkau mempunyai tuhan-tuhan lain di hadapan-Ku''. Dalam perintah pertama ini tampak nilai tauhid yang diharapkan Tuhan kepada Nabi Musa tersebut dan berupa amar untuk membedakan dirinya dengan sesembahan kaum Mesir di saat itu.

Demikian juga dengan perintah kedua: '' Lo' ta 'aseh-leka pesel wekol-temunah, lo'-tisytahweh lahem welo'ta'abdem!'' yang berarti ''Jangan engkau membuat bagimu patung dan gambar apa pun, jangan engkau menyembah kepadanya dan jangan engkau mengabdinya'' dan perintah ketiga: '' Lo'tissa et-syem-Adonay 'Eloheka lasysyaw!'' yang berarti ''Jangan menyebut nama Tuhan, Allahmu dengan sembarangan!''

Tulisan ini tidak bermaksud mendiskusikan teks apalagi perbedaan versinya, tapi hanya menunjukkan bahwa penekanan tauhid pada tingkatan pemahaman bagi seorang Muslim tidak cukup sebagai pembeda dengan yang lain, tapi harus mampu diimplementasikan dalam amal perbuatan, yaitu puasa menurut standar yang diajarkan oleh Rasulullah sehingga menimbulkan spirit imaniah atau semangat untuk meningkatkan keimanan secara tanpa henti.

Dalam beberapa ayat dan hadis menunjukkan bahwa puasa yang diharapkan untuk mencapai derajat takwa yang diajarkan Rasulullah memiliki indikator-indikator. Pertama, puasa sebagai pengekang nafsu birahi. Nafsu birahi adalah unsur alamiah yang melekat dalam diri seseorang yang mendesak setiap orang untuk dipenuhi yang menjadi problema utama sejak nNabi Adam. Untuk membenarkan perbuatan ini ada orang yang mengatakan masalah zina tidak merusak alam sehingga tidak perlu dimasalahkan.

Tentunya pendapat itu jauh dari agama Islam, termasuk juga agama lain seperti yang dibawakan Nabi Musa dan Isa yang menentang sangat keras juga. Kalau kita hayati pelarang yang digariskan oleh agama-agama besar ini keberadaan orang pezina hampir para nabi ini tidak mengizinkan sebagai pengikutnya.Pada banyak tempat di berbagai kota di Tanah Air dengan menyediakan wanita-wanita yang dilindungi sebagai pekerja atau demi kemanusiaan maka masalah seks bagi seorang pemuda atau lelaki tidak ada masalah. Apalagi zina dalam kacamata Islam tidak sama dengan zina dalam KUHP yang ditegakkan negara sehingga hukum zina dalam Islam tidak bisa berjalan.

Kedua, puasa sebagai sarana kifarat (penebus). Puasa merupakan sarana kifarat apabila sanksi-saksi lain tidak mampu terutama dalam ihram, zhihar, sumpah, dan sebagainya. Misalnya, dalam sebuah hadis tentang seorang hamba (H) yang merusak puasa Ramadhan dengan bersetubuh menghadap Rasulullah (R).
H: Celaka saya, Rasulullah!
R: Apa yang membikin engkau celaka?
H: Saya telanjur bersetubuh dengan istri saya.
R: Engkau bebaskan seorang budak, mampu?
H: Tidak!
R: Beri makan 60 orang fakir miskin, mampu?
H: Tidak! Aku sendiri fakir.
R: Kalau begitu duduklah. Kemudian, Rasulullah mengambil satu karung kurma dan memerintahkan untuk dibagikan kepada fakir miskin.
H: Apakah ada orang yang miskin dari kami?
R: Rasulullah tertawa, kemudian memerintahkan kurma tersebut dibagikan kepada keluarga hamba tersebut dan berpuasalah dua bulan berturut-turut.

Ketiga, orang yang berpuasa mendapat kegembiraan. Mungkin sulit diterima kalau puasa itu menimbulkan kegembiraan. Dengan puasa orang harus menahan lapar, dahaga, termasuk seks dan yang merangsangnya baik melalui mata, telinga, maupun rabaan. Tapi, bagi orang yang sudah menanamkan semangat Ramadhan dalam dirinya maka peluang untuk membatalkan puasa tersebut ditutup sama sekali.

Apabila pintu-pintu kemungkinan membatalkan puasa itu ditutup, maka kerinduan orang akan dirinya untuk bertemu dengan Allah akan meningkat dari tingkat kesatu tingkat akan terasa yang diiringi dengan kenikmatan yang tidak dapat disetarakan dengan materi yang ada di dunia ini.

Untuk itu puasa Ramadhan yang akan kita jalani bukan ibadah tahunan yang formalistic, apalagi Ramadhan dipandang sebagai bulan berpesta-pora di kampung halaman bagi perantau atau bulan-bulan yang santai dalam bekerja. Ini adalah bulan perjuangan yang dapat menempatkan bulan ini sebagai pendorong semangat beriman secara terus-menerus. mr-opinirepublika

Tidak ada komentar: