Jumat, 22 Agustus 2008

Islam dan Larangan Korupsi

Islam dan Larangan Korupsi
LIHATLAH nama-nama pejabat negara berikut yang terlibat korupsi baru-baru ini, ada Bulyan Royan (Fraksi PBR), Sarjan Taher (Fraksi Demokrat), Hamka Yandhu dan Saleh Jasit (Fraksi Golkar), serta Al Amin Nasution (Fraksi PPP). Para pejabat itu berkeyakinan menganut Islam sebagai agama masing-masing. Namun, beragama secara formalistis saja tidak cukup, tanpa dilandasi dengan nilai-nilai keimanan yang kuat. Buktinya, mereka melakukan tindakan korupsi yang jelas-jelas melanggar norma hukum dan tentu saja norma agama karena merugikan banyak orang.

Korupsi masih merajalela dalam setiap lini kehidupan bangsa ini. Para pelakunya seakan-akan tak takut akan akibat yang telah diperbuatnya. Padahal secara jelas, mereka mengakui merupakan bagian dari masyarakat beragama dan bertuhan. Semestinya, mereka takut bahwa apa yang diperbuat itu merupakan sebuah dosa besar. Korupsi adalah perbuatan keji dan mungkar, merupakan kejahatan besar yang mungkin melebihi dosa menyekutukan Tuhan. Korupsi adalah perbuatan merampok negara, sementara akibatnya telah membuat kesengsaraan, kemiskinan, dan kesusahan yang dialami masyarakat luas.

Shalahuddin al-Jursyi, seorang tokoh HAM dari Tunisia dalam karyanya, Al-Islamiyyun wa Al-Taqaddamiyyun (2000), mengatakan perbuatan korupsi (al-ikhtilash) telah mencederai cara pendistribusian kekayaan negara yang disimpangkan sehingga bisa menimbulkan kesengsaraan sekaligus kemarahan dari masyarakat (al-ijtimaiyyah).

Pertanyaannya, kenapa ada orang seakan-akan tidak takut melakukan korupsi? Padahal di sisi lain dia mengakui beriman kepada Tuhan. Dari sisi itu jelas terlihat bahwa pengamalan keberagamaan bangsa ini masih bersifat normatif, mengaku beragama dan bertuhan, tetapi segala tindakannya tak dibarengi dengan rasa keberagamaan dan kebertuhanan. Oleh sebab itu, perlu ada semacam etika dalam beragama. Dalam pengertian, harus ada penekanan bagi kaum beragama supaya ia dapat memahami norma-norma agama melalui alasan yang argumentatif sehingga selain ia beragama secara normatif, juga mampu memahami serta menangkap maksud dari pesan-pesan agama tersebut.



Etika kejahatan

Selama ini, agama yang diajarkan melalui para pendakwah hanya menekankan pada aspek normatif, atau dalam pengertian logika, mereka lebih menekankan kesimpulan daripada penjelasan. Misalnya, ajaran mengenai larangan berbuat jahat. Sering kali kita hanya mendengar bahwa sebagai manusia, kita tak boleh melakukan ini dan itu, tak boleh melakukan kejahatan, karena hal itu dilarang agama. Tak ada penjelasan etis, kenapa kejahatan itu dilarang?

Dalam karyanya Al-Akhlaq wa Al-Siyar (1908), Ibn Hazm mengutarakan agama sebenarnya memerlukan penjelasan etis, seperti kenapa ada larangan terhadap berbuat kejahatan, kenapa ada larangan berbuat dosa? Dengan demikian, manusia akan lebih memahami dan meresapi adanya larangan-larangan tersebut. Berbuat kejahatan atau berbuat dosa, pada intinya, akan merusak (fasad) terhadap diri kita sendiri, sementara akibatnya merugikan orang lain. Tidak hanya itu, bahkan jika kejahatan dan dosa itu dilakukan dalam skala yang cukup besar, seperti korupsi, dapat dipastikan akan merugikan masyarakat secara luas.

Para pelaku kejahatan dan dosa secara normatif dalam kelembagaan negara, akan dijatuhi hukuman di dunia. Jika lebih masuk secara lebih esoteris, para pelaku kejahatan di akhirat nanti akan mendapat balasan setimpal karena kejahatan mereka oleh Tuhan yang Maha Menghakimi, Mahabijaksana, dan Mahaperkasa (QS 3:126).

Penjelasan etis semacam itu sangat diperlukan. Agama, selain mengajarkan dan memperkenalkan kelembutan, kasih sayang dan cinta, ia juga harus diperlihatkan secara sangar karena Tuhan pun dalam beberapa penggalan ayatnya memperkenalkan dirinya bahwa Ia adalah zat yang Mahasangar, seperti penyebutan Al-Akbar (Mahabesar), Al-Hakim (Maha Menghakimi), Al-Aziz (Mahaperkasa), Al-Jalal (Mahaagung), Al-Wahab, dan Al-Jabbar.



Korupsi = kekafiran

Kafir selama ini ditujukan bagi mereka yang dianggap menyimpang dari ajaran normatif agama. Padahal legitimasi Alquran sendiri menyebutkan kafir dalam wujud, misalnya, pendusta atau mendustakan agama (yukadzibu bi al-Din) tak dinisbatkan pada mereka para penyimpang agama dalam pengertian seperti selama ini dipahami, tetapi kepada mereka yang menghardik anak yatim, tak memberi makan pada kaum miskin, enggan menolong dengan kekayaan yang mereka miliki, atau dalam pengertian kepada mereka yang selama ini sering menyelewengkan kekayaan negara (QS 107:1-7).

Ayat-ayat suci Alquran ternyata sangat jelas tidak ditujukan untuk mengobarkan perang terhadap individu dan kelompok yang berbeda penafsiran, berbeda iman dan kepercayaan agama. 'Perlawanannya' ditujukan kepada mereka yang selama ini menindas dan memerkosa hak-hak asasi kemanusiaan, dan merampok uang negara yang kemudian menimbulkan kesengsaraan. Selanjutnya, ayat-ayat suci Alquran berpihak pada kaum tertindas dan rakyat yang selama ini terpinggirkan oleh dominasi kekuasaan dan pejabat korup.

Islam di situ menjadi agama pembebasan, yang menurut Farid Esack dalam On Being a Muslim (2002) semangat dasar perjuangan profetis semula memang dalam kerangka pemihakan pada kaum tertindas-terpinggirkan. Bagaimana Nabi Muhammad membebaskan budak-budak dari dominasi perlakuan zalim para konglomerat kafir-Quraisy, dan memberi pencerahan kepada para budak sehingga mereka akhirnya turut membantu perjuangan profetik untuk mewujudkan kebenaran, keadilan, dan kemaslahatan, seperti dialami sahabat Nabi, Bilal ibn Rabah.

Yang menarik dari pengalaman profetik adalah ketika Nabi melakukan perlawanan terhadap orang-orang kafir-Quraisy, bukan karena mereka telah menolak 'agama baru'. Nabi melakukan hal itu karena Nabi diperangi lebih dulu oleh kafir-Quraisy karena mengajarkan 'agama baru' yang membebaskan kaum budak, memberi hak-hak keadilan bagi perempuan, memberi pencerahan terhadap kepercayaan nenek moyang bangsa Arab (muruwwa), dan sebagainya. Jadi, perlawanan Nabi ditujukan kepada orang-orang kafir, bukan karena mereka kafir karena berbeda agama dan keyakinan, melainkan lebih karena kafir yang berbuat kezaliman terhadap kaum lemah.

Sesungguhnya implementasi agama harus dibuktikan dalam kehidupan nyata. Iman semestinya harus diaktualisasi secara konkret dan faktual, bukan hanya sebatas yakin dan percaya pada Tuhan, tapi harus ada, apa bukti keimanan kepada Tuhan itu? Dari sisi itu, seseorang yang misalnya bertobat sesungguhnya bertobat tak cukup hanya memohon ampun kepada Tuhan, tapi juga harus melakukan kebaikan-kebaikan sebagai implementasi dari taubatnya. Sudah saatnya kini agama berdampak pada kehidupan praktis dan berguna bagi pemihakan terhadap masyarakat luas serta menolak segala macam penyimpangan dan kejahatan seperti perbuatan korupsi.*** mr-mediaindonesia.Oleh Urwatul Wustqo, Alumnus Fakultas Adab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tidak ada komentar: