Selasa, 26 Agustus 2008

Menyelamatkan Senjata Nuklir Pakistan

Menyelamatkan Senjata Nuklir Pakistan

Dr Tjipto Subadi
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

Setelah terancam akan dimakzulkan (impeachment) oleh Parlemen, akhirnya Presiden Pakistan Jenderal (Purn) Perves Musharraf menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya, Senin (18/8) lalu. Sebagai penguasa Pakistan melalui kudeta sejak 1999, tentu saja pengunduran dirinya menimbulkan implikasi luas, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di dunia internasional.

Ini karena Musharraf yang dikenal sebagai sekutu dekat Presiden Bush selama ini sangat aktif memerangi kaum militan yang beroperasi di perbatasan Pakistan-Afghanistan dan melakukan penjagaan superketat terhadap senjata nuklir Pakistan. Pascaserangan 11/9 setelah diultimatum AS akan dihancurkan dengan serangan nuklir jika terus bekerja sama dengan rezim Taliban di Afghanistan, akhirnya Musharraf berbalik haluan membantu AS menggulingkan rezim Taliban yang dianggap AS membantu Alqaidah dan terus-menerus memerangi kaum militan. Tidaklah mengherankan AS membantu rezim Musharraf hingga 10 miliar dolar AS.

Sementara itu, situasi dalam negeri Pakistan pasca-Musharraf semakin tidak menentu. Meski berdasarkan konstitusi Ketua Senat Mohammedmian Soomro akan menjadi kepala negara sementara hingga terpilihnya presiden baru, Soomro dianggap lemah apalagi dirinya berasal dari partai pendukung Musharraf yang minoritas di parlemen, Pakistan Muslim League Quaid (PML-Q). Dua partai terkuat Pakistan People Party (PPP) yang dipimpin mantan suami Benazir Bhutto, Asif Ali Zardari, dan anaknya Bilawal, dan Pakistan Muslim League Nawaz (PML-N) yang dipimpin mantan PM Nawaz Sharif saling berebut kekuasaan meski sebelumnya berada dalam satu koalisi melawan musuh bersama Musharraf.

Pasalnya, Sharif menginginkan agar 60 hakim agung beserta mantan Ketua MA Ifthikar Chaudhry yang dipecat Musharraf pascapemberlakuan UU Darurat November lalu segera dikembalikan ke posisinya semula. Sementara, Ali Zardari tidak menginginkan Chaudhry dikembalikan karena khawatir kasus korupsinya akan dibuka kembali setelah mendapat amnesti dari Musharraf.

Meski pemilihan presiden Pakistan yang dilakukan Parlemen sudah ditetapkan 6 September mendatang, tidak ada jaminan setelah presiden terpilih situasi politik Pakistan stabil. Pasalnya, Ali Zardari sebagai calon kuat dengan dukungan PPP sebagai partai dominan di Parlemen, terlalu banyak memiliki musuh politik sehingga mudah digoyang posisinya. Apalagi, jika Nawaz Sharif yang juga memiliki ambisi kekuasaan mengincar kursi yang ditinggalkan Musharraf memutuskan keluar dari koalisi.

Padahal, pascapemilu Parlemen Februari lalu, antara PPP dan PML-N selalu bekerja sama melawan Musharraf. Namun, dengan pengalaman sebagai mantan suami Benazir Bhutto dan pernah menjadi anggota parlemen dan kabinet, Ali Zardari diprediksi akan mampu memimpin Pakistan pasca-Musharraf, apalagi PM Yousuf Raza Gilani berasal dari PPP.

Senjata nuklir
Bagi komunitas internasional terutama pemerintah AS, yang paling dikhawatirkan mengenai ketidakstabilan situasi politik dalam negeri Pakistan pasca-Musharraf adalah nasib senjata nuklir Pakistan, di mana pernah melakukan tes senjata nuklir tahun 1998 lalu untuk menandingi India. AS khawatir senjata berbahaya tersebut akan jatuh ke tangan kaum militan dari Alqaidah dan Taliban Pakistan dan dapat disalahgunakan untuk melawan pasukan AS di Afghanistan dan Irak.

Pakistan satu-satunya negara Muslim yang memiliki ratusan senjata nuklir dalam bentuk bom nuklir besar yang bisa dipasang di rudal Ghauri dengan daya jangkau 4.000 km maupun bom nuklir kecil (micro nuke). Yang dikhawatirkan adalah bom nuklir kecil jika sampai jatuh ke tangan kaum militan. Apalagi, menjelang lengsernya Musharraf, kegiatan militan di sepanjang perbatasan Pakistan-Afghanistan meningkat drastis.

Terbukti awal tahun ini Presiden Bush pernah memerintahkan mantan Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata AS, Laksamana William Fallon, berkunjung ke Islamabad untuk bertemu dengan pemimpin militer Pakistan termasuk Panglima Militer Jenderal Ashfaq Parces Kayani dan Presiden Perves Musharraf. Pembicaraan Laksamana Fallon dengan pemimpin militer Pakistan seputar keselamatan persenjataan nuklir dan penumpasan militan di wilayah perbatasan dengan Afghanistan.

Fallon masih memercayai niat sesungguhnya dari Presiden Musharraf untuk membantu AS dalam menumpas Alqaidah dan Taliban. Dia juga percaya pemimpin Pakistan mampu menyelamatkan persenjataan nuklirnya. Namun, segala kepercayaan tersebut sirna setelah Musharraf lengser.

Lengsernya Musharraf kemenangan bagi kaum militan Alqaidah dan Taliban sebab mereka menjadi musuh bebuyutan AS dan Musharraf. Dengan menguatnya kaum militan terutama Alqaidah dan Taliban Pakistan, kekhawatiran AS semakin kompleks. Meski Panglima Militer Pakistan Jenderal Kayani dikenal berkomitmen menyelamatkan senjata nuklir Pakistan, terjadinya friksi antara kaum militer dan dinas intelijen di bawah pengaruh mantan Kepala Dinas Intelijen Pakistan (Inter Services Intelligence Agency atau ISI) Jenderal (Purn) Hamid Gul yang kharismatis dan dikenal bersimpati pada kaum militan, dikhawatirkan semakin membahayakan keselamatan gudang senjata nuklir Pakistan.

Hal itu dapat menjadi dalih bagi AS melalui dinas intelijen CIA mengintervensi terselubung ke Pakistan untuk menyelamatkan senjata nuklir agar tidak jatuh ke tangan kaum militan Alqaidah atau simpatisannya di militer dan pemerintahan Pakistan.

Bagaimana menyelamatkan gudang senjata nuklir agar tidak jatuh ke tangan Alqaidah maupun CIA yang memang telah lama mengincarnya? Selama ini AS menggunakan dalih ketidakstabilan dalam negeri Pakistan untuk menguasai senjata nuklirnya.

Sebagai satu-satunya negara Islam yang memiliki senjata nuklir, AS khawatir teknologi nuklir Pakistan akan diberikan kepada negara Islam di Timur Tengah yang dapat digunakan untuk melawan Israel yang juga telah memiliki senjata nuklir. Pasalnya, bapak nuklir Pakistan Prof Dr Abdul Qadir Khan mengakui pernah memberikan teknologi nuklirnya kepada Iran, Libya, dan Korea Utara.

Pertama, senjata nuklir baru dapat digunakan setelah mendapat persetujuan dari delapan institusi strategis di Pakistan, di antaranya presiden, PM, dan Panglima Angkatan Bersenjata. Kedelapan institusi tersebut harus bersatu agar senjata nuklir tidak jatuh ke tangan pihak lain.

Kedua, situasi dalam negeri Pakistan harus benar-benar stabil setelah presiden terpilih pada 6 September. Jika terus kacau bahkan menjurus pada anarkis, bisa menjadi dalih AS melakukan intervensi militer demi melindungi senjata nuklir Pakistan agar tidak jatuh ke tangan kaum militan. Padahal, kekacauan di Pakistan skenario CIA untuk menguasai persenjataan nuklir di satu-satunya negara Islam pemilik senjata nuklir tersebut. Mustahil kaum militan mampu menembus kuatnya penjagaan gudang senjata nuklir Pakistan dan hanya CIA yang mampu melakukannya.

Ketiga, memang sudah sejak lama AS mengincar kekuatan nuklir Pakistan dan berusaha menghancurkannya. Terbukti AS menjalin kerja sama nuklir dengan India musuh utama Pakistan meski India sebagaimana Israel tidak menandatangani NPT. Anehnya, Pakistan dan Iran yang menandatangani NPT justru berusaha dihalang-halangi agar tidak memiliki kekuatan nuklir.

Kesemuanya itu dilakukan AS demi melindungi tuanya, Israel. Dengan demikian, Israel tetap menjadi satu-satunya negara pemilik senjata nuklir di Timur Tengah.

Ikhtisar:
- Pakistan satu-satunya negara Islam yang memiliki senjata nuklir.
- Kekacauan di dalam negeri Pakistan adalah proyek dari CIA.mr-opinirepublika

Tidak ada komentar: