Jumat, 22 Agustus 2008

Laut Timor dan Kisah Tragis Nelayan Tradisional Indonesia


Laut Timor dan Kisah Tragis Nelayan Tradisional Indonesia



Oleh Lorensius Molan

Laut Timor adalah beranda Samudera Hindia. Laut yang terletak antara Pulau Timor dan Australia Utara (Northern Territory) itu, di sisi timur, berimpit dengan Laut Arafura, beranda Samudera Pasifik.

Luas Laut Timor sekitar 300.000 mil persegi. Titik terdalamnya adalah Palung Timor di bagian utara, yang dalamnya mencapai 3.300 meter. Bagian lainnya lebih dangkal, rata-rata kedalamannya kurang dari 200 meter.

Wilayah itu merupakan tempat utama munculnya badai tropis dan topan. Tapi wilayah ini juga merupakan surga bagi ikan-ikan, karena itu sejak dulu kala nelayan dari Pulau Rote, Flores, Alor, Buton, Sabu, Madura, Timor, Sulawesi dan Maluku telah melaut di perairan ini.

Sejumlah pulau di Laut Timor tersebut juga kaya bahan tambang, diantaranya Pulau Melville, yang belum lama ini ditemukan unsur bebatuan yang mengandung berlian. Di dasar Laut Timor juga terdapat cadangan minyak dan gas bumi dalam jumlah yang besar.

Australia dan Timor Portugis (Timor Timur yang merdeka sekarang ini) telah mengalami pertentangan panjang atas hak eksploitasi kekayaan minyak dan gas di daerah yang dikenal sebagai Celah Timor itu.

Australia mengklaim luas wilayahnya sampai ke sumbu bathymetrik (garis kedalaman punggung laut terbesar) di Palung Timor, namun klaim Australia ini tidak pernah disetujui oleh Timor Portugis karena Timor Portugis berpendirian bahwa batas dasar laut Pulau Timor dan Australia harus ditentukan dengan menggunakan garis tengah (median line) untuk membagi kedua wilayah tersebut.

Meskipun demikian, Indonesia dan Austrtalia menyepakati sebuah perjanjian penetapan Batas-Batas Dasar Laut Tertentu pada 1971 yang dilanjutkan dengan tahun 1972, di mana Indonesia mengakui klaim Australia tersebut.

Pada tahun 1976, Timor Timur resmi berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga memungkinkan Australia memperkuat posisi klaimnya yang dilegitimasi melalui Perjanjian Kerja Sama Indonesia Australia di Celah Timor yang ditandatangani pada tahun 1989.

Pada zaman penjajahan, Pulau Timor ini dibagi menjadi dua wilayah jajahan yakni Pulau Timor bagian barat (Timor Barat), yang sekarang adalah bagian dari NKRI, merupakan bagian dari wilayah jajahannya Hindia Belanda.

Sementara itu, Pulau Timor bagian timur (Timor Timur), yang sekarang menjadi sebuah negara berdaulat dengan nama Timor Leste, merupakan wilayah jajahan Portugal selama 400 tahun lamanya.

Gugusan Pulau Pasir atau yang dikenal di Australia dengan sebutan "Ashmore Reef" merupakan satu dari sekian banyak gugusan karang yang terletak di ujung Barat Daya Benua Australia, di bagian Timur Samudera Hindia (12 derajat 13 menit lintang Selatan dan 123 derajat 5 menit bujur Timur).

Gugusan yang diklaim menjadi bagian dari wilayah Australia itu, letaknya lebih dekat ke Pulau Rote di NTT (jaraknya hanya 78 mil atau sekitar 145 kilometer), sedang ke Australia jaraknya sekitar 190 mil atau sekitar 350 kilometer.

Gugusan tersebut terdiri dari tiga pulau karang kecil yang diberi nama Barat, Tengah dan Timur yang ketinggiannya berkisar antara 2,5-3 meter di atas bekas air pasang paling tinggi.

Berdasarkan hasil penelitian dari beberapa antropolog Australia dan dunia tentang kunjungan masa lalu di gugusan Pulau Pasir, mereka menemukan bukti-bukti sejarah bahwa sesungguhnya pulau-pulau karang itu menjadi tempat peristirahatan nelayan-nelayan tradisional Indonesia dari Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, selepas mencari ikan dan biota laut lainnya di wilayah perairan Laut Timor.

Diperkirakan sejak tahun 1609 para nelayan tradisional Indonesia termasuk yang membuat basis di Oelaba dan Pepela (Pulau Rote) telah menggunakan dan memelihara gugusan Pulau Pasir itu sebagai "rumah kedua" jauh sebelum disinggahi oleh Captain Semuel Ashmore yang berkebangsaan Inggris pada 1811.

"Pada tahun 1878, pemerintah Inggris Raya baru menganeksasi gugusan Pulau Pasir dan mengklaim secara sepihak sebagai bagian dari wilayah Inggris Raya," kata Direktur Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni dalam bukunya "Skandal Laut Timor, Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta".

Pada tahun yang sama, seorang pelaut berkebangsaan Amerika Serikat (AS) juga ingin mengklaim gugusan Pulau Pasir untuk dijadikan milik AS karena terdapat deposit pupuk (guano) yang cukup banyak di sana.

Penangkap ikan hiu dari AS itu mulai tertarik pada phosphat dari gugusan pulau karang itu sekitar tahun 1850, tetapi tidak pernah diklaim sebagai miliknya AS, tambah Tanoni yang juga Ketua Pokja Celah Timor bentukan Pemda NTT.

Ketika Australia membentuk negara Federal pada 1 Januari 1901, belum memasukan gugusan pulau karang yang terpencar di Laut Timor itu sebagai wilayah Australia.

Sekitar tahun 1930, Inggris baru merasa terganggu karena ditantang atas hak miliknya di Kepulauan Spratly (Storm Island) di Laut China Selatan oleh Perancis yang sedang menguasai Vietnam dan keinginan Jepang untuk meluaskan wilayahnya di daerah tersebut, sehingga mendorong Inggris untuk mulai memperhatikan seluruh hasil koleksi pulau-pulau yang ditemukan dan dianeksasinya di seluruh dunia termasuk gugusan Pulau Pasir di wilayah Commonwealth Inggris.

Sejak 1923, tambah Tanoni, pemerintahan Australia Barat memprotes pemerintah Federal Australia terhadap aktivitas perahu nelayan Indonesia di gugusan Pulau Pasir dengan harapan, agar bisa diteruskan ke pemerintah Inggris untuk menarik perhatian Inggris selaku pendiri negara persemakmuran bekas jajahannya (commonwealth).

Pemerintah Federal Australia sesungguhnya sudah mengetahui akan potensi Laut Timor yang merupakan salah satu sumber minyak dan gas bumi yang berskala dunia di luar negara-negara Arab.

Salah satu caranya ialah bagaimana mendapat hak atas potensi tersebut, karena Australia sudah mengadakan survei sejak sebelum perang Dunia II.

"Cara yang termudah yang dilakukan Australia adalah mengklaim gugusan Pulau Pasir yang sudah dijadikan sebagai rumah kedua nelayan tradisional Indonesia itu, sebagai bagian dari teritorinya dan menjadikan Ashmore Reef sebagai cagar alamnya," kata Tanoni.

Fakta lain menunjukkan bahwa sebelum ditemukannya gugusan Pulau Pasir oleh Captain Semuel Ashmore, seorang saudagar Tionghoa (berdasarkan sebuah arsip di negeri Belanda) sudah diberi izin untuk mencari dan mengumpulkan kulit penyu di gugusan Pulau Pasir di selatan Pulau Timor dan Pulau Rote pada 1751 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia.

James J Fox, seorang antropolog kenamaan berkebangsaan Australia dalam tulisannya yang dipublikasi "Oxford University Press" dengan judul "Australia di Asia" mengatakan bahwa sebuah studi akademis tentang pengumpulan teripang yang dilakukan di Australia Utara mencatat adanya sebuah surat yang ditulis pada tahun 1751 dari seorang petugas kompeni di Kupang kepada Gubernur Jenderal di Batavia.

Inti dari surat tersebut ingin mau melaporkan bahwa seorang pedagang Tionghoa sedang bersiap untuk menjangkau daratan pasir yang luas di selatan Pulau Timor dan Rote.

Diketahui bahwa pada akhir tahun 1750-an, seluruh kegiatan pengumpulan teripang diregulasikan oleh pemerintahan Hindia Belanda.

Perahu-perahu dari Makassar, Sulawesi Selatan yang memasuki wilayah Timor, dilengkapi dengan surat izin resmi dari kompeni yang menginzinkan mereka untuk mengumpulkan teripang tanpa halangan.

Kemudian, tambahnya, pada pertengahan abad ke 18, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) terlibat secara intensif dalam membuat regulasi bagi ekspedisi-ekspedisi pengumpulan teripang oleh orang Makassar dan Tionghoa yang berlayar ke selatan Pulau Timor dan Rote menuju gugusan Pulau Pasir.

"Catatan sejarah yang terungkapkan ini setidaknya telah memberikan suatu pembenaran terhadap berbagai kesaksian dan pengakuan dari orang tua-orang tua di Rote dan Timor bahwa pada suatu masa, para nelayan yang hendak berlayar menuju ke gugusan Pulau Pasir di selatan Pulau Timor dan Rote, maka terlebih dahulu harus mendapatkan pas jalan atau surat izin dari Douane (sekarang Bea Cukai)," tulis Tanoni dalam bukunya itu.

Dengan demikian, kata dia, sesungguhnya gugusan Pulau Pasir itu telah dan pernah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah jajahannya pemerintahan Hindia Belanda di bumi Nusantara.

"Bila demikian adanya maka sudah jelas gugusan Pulau Pasir adalah merupakan bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," tambah pengamat hukum laut internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Wilhelmus Wetan Songa SH.MHum.

"Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah aneksasi terhadap gugusan Pulau Pasir oleh Commonwealth Inggris pada 1878 tersebut dengan atau tanpa sepengetahuan Belanda," katanya dalam nada tanya.

"Ini masih merupakan sebuah misteri yang harus dijawab oleh Jakarta, bukan sebaliknya membela kepentingan Australia dengan memojokkan nelayan tradisional sebagai pencuri di Gugusan Pulau Pasir," katanya menambahkan.

Kapal-kapal nelayan tradisional Indonesia yang dibakar kemudian dimusnahkan oleh Australia atas tuduhan memasuki wilayah perairan negara itu secara ilegal untuk mencuri ikan dan biota laut lainnya, seharusnya mendapat pembelaan dari negara atas tindakan tersebut.

"Saya melihat belum ada perlindungan maksimal dari negara terhadap warga negaranya yang diperlakukan sewenang-wenang oleh negara lain. Kasus nelayan tradisional Indonesia, merupakan sebuah kisah tragis yang tak berkesudahan meski mereka mencari makan di negerinya sendiri," kata Wetan Songa menambahkan.mr-antara.

Tidak ada komentar: