Selasa, 26 Agustus 2008

Menyengsarakan Rakyat

Menyengsarakan Rakyat

Kabar buruk itu datang lagi: Harga elpiji naik! Belum reda jeritan masyarakat akibat kenaikan harga pada Juli lalu, kini pada bulan kemerdekaan ini, kemerdekaan masyarakat justru kembali diberangus. Elpiji dinaikkan tanpa sosialisasi.

Benar, belum genap dua bulan, gas elpiji ukuran 12 kg sudah naik dua kali. Kenaikan pertama yakni dari Rp 51 ribu per tabung menjadi Rp Rp 63 ribu dilakukan pada 1 Juli lalu. Kemudian pada 25 Agustus, harga gas kembali dinaikkan menjadi Rp 69 ribu per tabung.

Pemerintah, dalam hal ini Pertamina, selalu punya alasan untuk kenaikan-kenaikan yang mereka lakukan. Kenaikan pada Juli beralasan karena bahan bakar minyak (BBM) naik, maka ongkos distribusi juga naik. Dengan begitu harga gas perlu dinaikkan untuk mengompensasi kenaikan distribusi tersebut.

Kenaikan kali ini adalah demi mengejar harga keekonomian. Hitung sana hitung sini, menurut Pertamina, biaya per kilogram untuk gas ini mencapai Rp 11 ribuan. Sementara harga sebelum kenaikan adalah Rp 5.250 per kg dan dinaikkan menjadi Rp 5.700 per kg. Jadi, dengan kenaikan itu pun Pertamina masih rugi sekitar Rp 6,5 triliun.

Harga keekonomian yang menjadi dasar perhitungan, dari sisi bisnis, memang masuk akal. Tapi kita bicara tentang negara, tentang rakyat. Negara dan rakyat bukan perusahaan dan pelanggan, maka penyelesaiannya pun bukan sekadar untung rugi. Bicara negara dan rakyat adalah bicara kebijakan politik yang berpihak kepada rakyat.

Barangkali benar dengan harga baru pun Pertamina rugi, tapi apa memang benar-benar rugi atau sekadar potential lost, kerugian potensial. Misalnya, semestinya mereka untung Rp 10 triliun, tapi karena harga jual rendah, maka keuntungannya tinggal Rp 3,5 triliun. Sebab, kalau kita lihat keuntungan Pertamina pada 2007 mencapai Rp 24,5 triliun.

Memang, dalam undang-undang disebut bahwa BUMN tidak boleh menyubsidi, jadi setiap ada subsidi yang diberikan Pertamina, misalnya, berarti mereka melanggar undang-undang. Tapi, rakyat tidak peduli dengan itu. Bagi masyarakat yang penting harga tidak naik, apakah itu dibebankan ke Pertamina atau pemerintah.

Masyarakat sudah terbebani dengan berbagai kenaikan barang yang di luar kemampuan mereka. Selain harga BBM yang naik, harga pangan juga naik, begitu juga kebutuhan lain. Menjelang puasa dan Lebaran, dipastikan harga-harga juga akan naik. Betapa berat beban yang harus ditanggung masyarakat.

Sepertinya pemerintah tidak peduli dengan semua itu. Para penyelenggara negara kurang memiliki empati terhadap kondisi yang dirasakan rakyatnya. Terbukti pemerintah lepas tangan terhadap kenaikan ini. Rakyat dipaksa menelan harga tinggi, karena tidak disediakan alternatif.

Betul bahwa sekarang sudah ada ukuran 3 kg, tapi itu untuk kalangan bawah. Lagi pula pemakai gas ukuran 12 kg bukan cuma kelas menengah atas, tapi juga menengah bawah yang sensitif terhadap harga. Bukan tak mungkin akan banyak perpindahan ke tabung 3 kg, dan saat itu pemerintah lagi-lagi tak kuasa menyediakan pasokan.

Apakah tidak tebersit di pikiran pemerintah bahwa kenaikan harga elpiji ini akan membebani rakyat. Pemerintah menjual gas ke Cina dengan harga jauh lebih rendah dibanding pasar internasional, tapi justru di dalam negeri mereka menaikkan harga tanpa peduli kesengsaraan rakyatnya.mr-tajukrepublika

Tidak ada komentar: