Minggu, 12 Oktober 2008

Hak Dasar Kehayatan oleh: Ahmad Tohari

Hak Dasar Kehayatan oleh: Ahmad Tohari

Ini keluhan seorang perempuan usia hampir 40 tahun dan belum menikah. Mungkin, keluhan itu sudah didengar oleh banyak orang sebelum akhirnya sampai ke telinga saya. Begini. perempuan itu menyesali dirinya mengapa belum juga bertemu jodoh. Padahal, dia sudah puluhan tahun mengharapkannya. Dalam keluhan itu, dia bilang bahwa dirinya sehat lahir batin, secara fisik tak kurang suatu apa, berpendidikan baik, masih punya orang tua lengkap, dan berpenghasilan tetap pula. "Saya memang punya penampilan biasa-biasa saja, tidak rupawan. Apakah ini penyebabnya?"

Saya dengar keluhan perempuan itu tidak hanya berhenti di sini. Dia, konon, juga mempertanyakan hak-hak dasar kehayatannya. Kurang lebihnya, dia bertanya, bila para perempuan bersuami bisa mendapat hak-hak dasar kehayatan mereka: punya anak, menyusui, dan seterusnya, sementara dia malah menderita dalam kesendirian. Siapa yang bertanggung jawab? Atau, kehidupan ini memang tidak adil?

Meskipun saya tidak mengenal langsung perempuan itu, keluhannya cukup lama menjadi bahan perenungan. Ya, rasanya keluhan panjang itu bisa dimengerti karena hak kehayatan dia sama dengan perempuan lain yang berumah tangga. Lain halnya bila perempuan itu dengan sukarela melepaskan hak-hak dasarnya tadi. Dan, perempuan (juga lelaki) yang seperti ini pasti amat sedikit jumlahnya. Belum lagi, bila diingat, menikah adalah sunah Nabi.Saya makin tercenung ketika mendengar bahwa perempuan itu melanjutkan keluhannya dengan bertanya, mengapa nilai-nilai agama dan budaya bisa menghambat dirinya mendapat hak-hak dasar kehayatan?

Pertanyaan terakhir ini amat menohok. Dan, saya berharap bukan hanya saya yang merasakan tohokan itu. Sebab, terasa ada kebenaran dalam keluhan perempuan itu. Bahkan, tohokan itu juga menuding kita yang telah mengabaikan 'kefakiran' serius yang sedang diderita oleh seorang Muslimah seperti dia.

Ambillah pengandaian bila perempuan tadi terpaksa menempuh caranya sendiri untuk mendapatkan hak-hak dasar kehayatan itu. Maka, kita paling-paling akan mengutuknya. Dan, kita tidak sadar telah bersalah mengabaikan kefakiran dia, yakni kefakiran yang bisa melebihi seriusnya kelaparan fisik. Bahkan, kefakiran jenis ini bukan monopoli perempuan. Tidak sedikit lelaki dewasa di sekitar kita yang telah cukup syarat, namun karena suatu hal, dia terhambat untuk menikah. Dan, lagi-lagi, bila lelaki itu suka ngeluyur, kita pun hanya akan mengutuknya.

Uraian ini sudah jelas arahnya. Yakni, pertanyaan mengapa kita kurang perhatian terhadap sesama yang menderita kefakiran akibat tidak terwujudnya hak-hak dasar biologis mereka? Bila kefakiran dalam hal materi sudah mendapat perhatian, mengapa kefakiran jenis terakhir ini diabaikan?

Saya kira, sudah saatnya kita membangun kesadaran terhadap kefakiran yang nyata dan lumayan masif ini di tengah kita. Maka, diharapkan kelompok-kelompok pengajian, lembaga masjid, dan organisasi-organisasi keagamaan yang besar segera bertindak. Dalam ukuran kecil pun, setiap pribadi Muslim atau Muslimah bisa menjadi mak comblang, menolong "orang-orang fakir" ini, membantu teman atau saudara menemukan jodoh. Saya percaya, menolong si fakir jenis ini pahalanya tidak kalah besar dengan menolong fakir lapar.

NU dan Muhammadiyah jangan biarkan warganya terpaksa mengiklankan diri di koran untuk mencari jodoh. Bahkan, lebih baik lagi bila biro jodoh, atau apalah namanya, milik NU dan Muhammadiyah bisa membantu siapa saja untuk mendapat hak-hak dasar kehayatan secara sah dan benar. Dengan demikian, tidak ada lagi keluhan bahwa dalam hal mendapat hak-hak dasar kehayatan, kehidupan ini tidak adil. Juga, tidak ada lagi pertanyaan yang sangat menyengat, mengapa nilai-nilai budaya dan agama bisa menghambat orang untuk memperoleh hak-hak dasar kehayatan.

Tidak ada komentar: