Minggu, 26 Oktober 2008

Antara Islam Kultural dan Islam Politik

Antara Islam Kultural dan Islam Politik

Di Asia Tenggara, Melayu khususnya, kaum Suni menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin. Islam mewarnai dan tewarnai budaya lokal – menjadikannya tidak tampil “garang”.

Dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Majah disebutkan Rasulullah SAW pernah bersabda, “...demi dzat yang nyawa Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Satu golongan akan masuk surga, sedangkan 72 golongan lainnya akan masuk neraka. Lalu beliau ditanya oleh sahabat, 'Siapa mereka ya Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Ahli sunah wal jamaah'.”

Siapa ahli sunah wal jamaah ini? Siapapun boleh mengklaim kelompoknya sebagai ahli sunah wal jamaah. Kelompok aswaja atau kelompok Islam Suni yang kita kenal sekarang sebagaimana kelompok-kelompok Islam lainnya lahir karena kondisi keagamaan dan masalah sosial politik dalam Islam yang timbul setelah Rasulullah SAW wafat. Aswaja juga bukan kelompok tunggal, karena di dalamnya ada aliran-aliran kalam dan madzhab-madzhab hukum yang berbeda pula. Setidaknya ada empat madzhab dalam aswaja, yaitu Madzhab maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali.

Ketua Jurusan Fikih dan Usul Fikih Universitas Antarbangsa Malaysia, Prof Dato' Dr Mahmood Zuhdi Haji Abdul Majid, menyebut dua ciri utama aswaja dan bukan aswaja. Disebut aswaja, kata dia, jika mereka berpendirian pada akidah, fikih, dan politik yang menjadi kesinambungan perjuangan generasi awal Islam dan diterima umum sebagai pendekatan orisinal. “Kelompok ini diikuti mayoritas umat Islam yang tidak terlibat dengan aliran-aliran yang menyempal dari ajaran awal,” ujarnya.

Sedang kelompok non-aswaja, kata dia, merupakan serpihan-serpihan yang lahir dan terpisah dari sejarah induknya dan lebih bersifat ekstrem baik dalam pegangan maupun cara berjuang. Termasuk dalam kelompok ini dalah Islam syiah.

Peristiwa politik yang melatarbelakangi lahirnya aliran-aliran itu dimulai ketika khalifah ketiga, Utsman bin Affan yang berasal dari Bani Umayyah, terbunuh tahun 656. Ali bin Abi Thalib diangkat menggantikannya. Namun Muawiyah, gubernur Syria yang berasal dari suku yang sama dengan Utsman menolak mengakui. Dia menuntut Ali untuk mengadili pelaku pembunuhan.

Dalam pertikaian sepanjang kekhalifahan Ali itu, ada sekelompok kecil yang keluar dari jamaah, namun tidak bergabung dengan Muawiyah, dan mendirikan jamaah baru, kelompok Khawarij. Salah satu anggotanya kemudian diduga membunuh Ali tahun 1661.

Dinasti Bani Ummayah kemudian menjadi pendukung utama kelompok ahli sunah wal jamaah dan meneruskan kekhalifahan. Kaum Khawarij tidak pernah mendirikan suatu kerajaan. Sedang para pendukung Ali kemudian melahirkan kelompok Syiah.

Menurut cendekiawan Muslim Prof Dr Nasaruddin Umar, aswaja menjadi kelompok moderat Islam yang “santun”, itu sebabnya meraup banyak pengikut di berbagai belahan dunia. Kaum suni juga lebih toleran terhadap pemerintah di suatu negara, tidak seperti Syiah yang mengambil sikap frontal.

Di Asia Tenggara, Melayu khususnya, kaum Suni menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin. Islam mewarnai dan tewarnai budaya lokal – menjadikannya tidak tampil “garang”. “Sehingga ada guyonan: Islam memang lahir di Tanah Arab, tapi tugas mereka sudah selesai. Tugas mengembangkan Islam kini ada di pundak Muslim Asia karena mereka didukung oleh soft culture yang sangat kaya dan tidak sarat konflik seperti di Arab,” ujar Direktur Jenderal Bimas Islam Departemen Agama ini.

Benarkah kaum Suni selamanya demikian? Ternyata tidak. Kelompok aswaja yang identik dengan keluwesan, toleransi, dan kerja sama dengan pihak penguasa suatu ketika bisa “meloncat” dan keluar dari pakem itu. Dalam catatan Prof Dr Atho Muzhar, kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, aswaja ada yang berkembang menjadi kelompok-kelompok ekstrem, misalnya Darul Islam yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia tahun 1948.

“Pada pengujung abad lalu dan awal abad ini, beberapa kelompok yang tergabung dalam ormas Islam tertentu juga cenderung menjadi kelompok yang ekstrem di dalam upaya menegakkan syraiah atau bahkan khilafah Islamiyah,” ujarnya. Dengan kata lain, ada dua kekuatan Islam Suni di Tanah Air: aswaja yang bergerak pada pemeliharaan Islam konvensional atau kultural dan aswaja yang berkembang menjadi Islam syariat dan politik.

Ke depan, Atho memprediksi interaksi dan tarik menarik antara kelompok Islam politik dan kelompok Islam kultural akan terus berlangsung di Indonesia. Mungkin, dalam tarik menarik itu akan terjadi saling akomodasi di antara keduanya. “Mungkin juga muncul varian ketiga, yaitu kelompok Islam tarekat, akan menyalip dalam proses persaingan itu,” ujarnya. Kemungkinan lain, akan terjadi perpaduan antar ketiganya.

Inilah perlunya memperkuat sistem yang mampu mendorong berkembangnya Islam kultural di Tanah Air. “Apabila sistem NKRI itu lemah, tidak sanggup mendorong berkembangnya Islam kultural dan tidak sanggup menekan berkembangnya Islam politik, maka boleh jadi persaingan antar dua kelompok Islam Suni ini akan tidak terkendali di masa depan,” tambahnya. Naudzubillah.

Tidak ada komentar: