Kamis, 23 Oktober 2008

Belajar dari Sejarah

Belajar dari Sejarah

Malik Mahmud & Hasan Tiro (GATRA/Ibrahim Passe)Pintu kamar tidur di suite room lantai XV Hotel Concorde Shah Alam, Selangor, Malaysia, terbuka. Seorang lelaki uzur mengayunkan kakinya perlahan, diikuti dua ajudannya. ''Good evening,'' sapanya memecahkan keheningan. Pria berusia 83 tahun itu kemudian menjalani prosesi awalnya: menyalami tujuh pria tegap yang menjadi pengawal pribadinya yang berdiri berjejer. Ketika berhadapan dengan staf pribadinya yang sehari-hari menemaninya, ia berlagak kaget. ''Oh, you,'' candanya sambil bersalaman. Tawa pun meledak memecahkan kebekuan.

Itulah kemunculan pertama deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Dr. Hasan Tiro, di hadapan jurnalis. Ahad pekan lalu, ia menerima tiga jurnalis asal Aceh. Itu hari kedua bagi Wali --sebutan di kalangan GAM untuk Hasan Tiro-- berada di Shah Alam, Selangor. Sehari sebelumnya, ia bersama tujuh anggotanya terbang 12 jam dari Stockholm, Swedia, dengan pesawat Malaysian Airline System, yang mengantarkannya ke Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur.

Dengan gerak perlahan, ia mengambil tempat duduk persis berhadapan dengan para wartawan. Dalam usia senjanya, Hasan Tiro tak kehilangan kenecisannya. Ia mengenakan jas biru yang dipadu dengan dasi merah. Ikut mendampinginya, dr. Zaini Abdullah (dulu disebut Menteri Kesehatan GAM), staf khususnya Muzakir Hamid, dan juru bicara Komite Peralihan Aceh (wadah veteran militer GAM) Ibrahim K.B.S. ''Kepulangan Paduka Yang Mulia ini untuk bersilaturahmi dengan rakyat Aceh,'' Zaini Abdullah membuka pembicaraan. Hasan Tiro mengangguk setuju.

Namun dua kali serangan stroke membuat kondisi Hasan Tiro tidak terlalu bugar untuk melayani sederet pertanyaan. Apalagi, sejak dulu dia tidak tergolong figur yang suka berbicara di depan pers. Maka, diputuskan hanya ada satu pertanyaan: apa pesan khususnya kepada masyarakat Aceh? Zaini perlu mengulang pertanyaan ini dengan mendekatkan dirinya ke Hasan Tiro. ''If you possible to answer,'' bisik Zaini kepada pemilik paspor Swedia bernomor 23005093 itu.

Sejenak ruang hening, kemudian terdengar: ''Assalamualaikum!'' Sepenggal kata itu meluncur pelan dari bibir Tiro, lalu terputus. Matanya berkaca-kaca. Dia seperti menahan agar air matanya tidak tumpah. Mimiknya naik-turun. Dia ingin mengucapkan sesuatu, tapi kesulitan memilih kata-kata. ''Rakyat Aceh mesti tahu sejarah. Dalam buku Aceh Merdeka yang telah saya tulis....'' Itu kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya.

Kalimat berikutnya adalah campuran bahasa Melayu dan Inggris. Praktis, Tiro hanya bicara selama tiga menit, yang didengar 10 anggotanya, ditambah tiga jurnalis. Inti pembicaraannya seputar pesan jangan melupakan sejarah Aceh, ajakan untuk menjaga perdamaian di Aceh, dan apa yang telah dilakukan rakyat Aceh juga seaspirasi dengan daerah lain. ''Saya dengar, Papua juga sedang berjuang untuk mendapatkan seperti apa Aceh sekarang,'' katanya.

Dalam pertemuan sepanjang 25 menit itu, sekali bibir Tiro bergerak, tapi tak keluar sepatah kata pun. Ketika ia sudah kelelahan bicara, secepatnya Syarif Usman, pengawal pribadinya, menimpali bahwa tanya-jawab sudah cukup. Para wartawan pun dipersilakan meninggalkan tempat.

Tiro tak hanya berdiam diri di kamar dengan biaya M$ 450 per hari (sekitar Rp 12 juta per malam). Tidak henti-hentinya dia menerima warga Aceh, baik yang terbang dari Aceh maupun Kuala Lumpur. Lima sofa yang ada di lobi hotel tak pernah kosong dari warga yang ingin mencium tangannya. ''Saya sengaja terbang dari Aceh ke sini agar bisa bersalaman dengan Wali. Kalau di Aceh sulit,'' ujar Rosnida, yang membawa satu anaknya.

Tidak hanya rakyat jelata yang bertemu dengan Tiro. Sebut saja Farid Husain, mantan negosiator RI dalam perundingan Helsinki, yang juga merupakan orang kepercayaan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Farid malah menemani Hasan Tiro pulang ke Aceh pada 11 Oktober. Duta Besar RI untuk Moskow, Hamid Awaludin, bahkan harus menunggu setengah jam. Pasalnya, ia datang ketika Hasan Tiro tidur siang setelah kelelahan menerima tamu yang terus mengalir. Hamid pun diterima secara pribadi. ''Saya hanya bersilaturahmi dengan Wali. Apalagi, ini masih suasana Idul Fitri,'' tutur Hamid, yang juga menjadi tim perunding dalam Perjanjian Helsinki, 15 Agustus 2005.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pun menjadi tamu Hasan Tiro di Selangor. Bersama istrinya, Darwati A. Gani, Irwandi diterima Hasan Tiro selepas lohor, Rabu pekan lalu. Kepada Irwandi, deklarator GAM itu kembali mewanti-wanti agar ia menjaga perdamaian dan membawa Aceh lebih maju. ''Kamu harus bangun Aceh seperti ini,'' katanya kepada Irwandi sambil menunjukkan gambar sebuah bangunan tinggi di New York yang dirancang Coral International Ltd, perusahaan properti tempat Hasan Tiro bekerja sampai pertengahan 1970-an.

Setelah sepekan di Selangor, Sabtu pekan lalu rombongan Hasan Tiro yang membengkak menjadi 150 orang bersama- sama terbang ke Aceh dengan menyewa dua pesawat Firefly ATR 72-500. Pesawat pertama lepas landas dari Subang Jaya Airport. Di dalamnya ada 56 mantan kombatan GAM yang pernah mengikuti latihan militer di Kamp Tazura, Libya.

Tiga puluh menit kemudian, giliran Hasan Tiro yang duduk di kursi 01A terbang lepas ke ''Serambi Mekkah''. Selama dua jam 10 menit, pesawat buatan Prancis yang menembus batas negara itu tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Aceh. Di tangga pesawat, pria necis itu disambut dengan suara azan, dan ia pun segera melakukan sujud syukur di atas sajadah merah. Dari bandara, Hasan Tiro bersama rombongan langsung meluncur ke Masjid Baiturahman di jantung kota Banda Aceh. Di sana, puluhan ribu manusia telah berjejal untuk melihat dan mendengarkan pidato tokoh legendaris Aceh ini.

Bagi masyarakat Aceh, Hasan Tiro memang legenda hidup. Tengku Hasan Muhammad di Tiro, begitu nama lengkapnya. Ia lahir di Pidie, Aceh, 25 September 1925, dari pasangan Teungku Muhammad Hasan dan Pocut Fatimah. Dari garis ibunya, mengalir darah pahlawan nasional Tengku Chik Muhammad Saman di Tiro. Pocut adalah cucut Chik di Tiro. Pada masa mudanya, semangat keindonesiaan sempat menyala di dadanya. Ia pernah memimpin Pemuda Republik Indonesia di Pidie, 1945.

Pada era revolusi perjuangan kemerdekaan RI, Hasan Tiro muda ikut hijrah ke Yogyakarta, ibu kota RI. Ia sempat kuliah hukum di Universitas Islam Indonesia dan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketika kabinet Hatta terbentuk pada awal 1948, Hasan Tiro menjadi salah satu staf Syafruddin Prawiranegara, yang ketika itu menjabat sebagai wakil perdana menteri II. Usai perang kemerdekaan, Hasan Tiro muda terbang ke New York, bekerja sebagai staf penerangan di kantor perwakilan RI untuk PBB.

Sejak itulah Hasan Tiro bermukim di New York hingga menemukan jodohnya: Dora, perempuan kulit putih. Pasangan ini dikaruniai seorang putra, Karim di Tiro, yang kini menjadi doktor ilmu sejarah di Amerika. Toh, Hasan Tiro tak pernah melupakan tanah kelahirannya, Aceh. Ketidakpuasan atas nasib Aceh-lah yang membuat ia berpikir tentang Aceh merdeka. Puncaknya, ia kembali ke kampungnya dan mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Untuk itu, ia rela masuk ke hutan Aceh, meninggalkan Dora dan Karim di New York.

Aksi GAM pun disikapi Jakarta dengan operasi militer. Pasukan GAM berangsur-angsur terdesak. Hasan Tiro terpaksa menyingkir ke Singapura dengan boat dari pantai Aceh, akhir 1979. Ia lalu melakukan perlawanan politik dari pos barunya di Norsbog, Stockholm. Persoalan GAM ini berlatrut-larut hingga lahir Kesepakatan Helsinski 2005, yang membentuk Aceh sekarang.

Setelah hampir 30 tahun di negeri orang, Hasan Tiro pun kembali ke Aceh. Ia tak lagi bicara tentang Aceh merdeka. Pesannya tetap fokus pada perdamaian di Aceh. Karena itulah, agaknya, ia tidak mempersoalkan pula gelar "Wali Nanggroe" yang dikaitkan dengan dirinya. Boleh jadi, ia tak mau mengusik suasana damai yang baru seumur jagung.mr-[Nasional, Gatra Nomor 49

Tidak ada komentar: