Minggu, 26 Oktober 2008

Benteng Kebencian

Benteng Kebencian

Oleh: Trisna

Siang itu matahari terasa lebih terik dari biasanya. Panasnya seolah menusuk setiap pori-pori kulit tubuh dan menembus hingga bagian dalam kepala. Angin yang bertiup pun terasa kering, karena asap kendaraan yang selalu memenuhi udara dan memberi warna kehitaman pada langit Jakarta.

Meskipun begitu, suasana hiruk pikuk tetap terlihat di sebuah terminal bus. Jika bukan karena tuntutan hidup, supir-supir angkutan umum, para pedagang, dan berpuluh-puluh penumpang itu akan memilih untuk tinggal di rumah, menghindari panas menyengat itu, sambil berharap, seandainya mereka bisa bekerja di sebuah ruangan ber ac milik perusahaan-perusahaan besar. Sebuah ‘andai saja’ yang juga mereka sadari, mungkin tak akan pernah tertulis dalam buku kehidupan yang dibuat Tuhan untuk mereka.

Di sebuah masjid dekat terminal itu, kumpulan artis jalanan cilik sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar gratis binaan sekelompok mahasiswa. Jauh di sudut ruangan itu, seorang gadis dengan gitar yang selalu dibawanya untuk mencari nafkah, terus memperhatikan sosok lelaki yang sedang mengajar. Matanya jauh menembus kedalam pikiran dan hati lelaki itu, berusaha mencari-cari sel saraf mana yang menyimpan dua buah kata ‘ingin berhenti’, dan sebuah ruang tempat rasa jenuh bersembunyi.

Dia tak juga menemukannya. Senyum sang guru terlalu hangat. Tawanya terlalu renyah. Perhatiannya terlalu alami. Semua terlihat seperti berasal dari dalam hati. Atau mungkin, aktingnya bagus sekali, batin gadis itu. Dia berpikir, mungkin lain kali bila ia kembali ke situ, ia sudah akan menemukannya. Akhirnya dia beranjak menuju terminal, kembali menjajakan suaranya di bus-bus ibukota.

Dia memasuki bus patas jurusan Thamrin yang hampir seluruh kursinya telah terisi. Dia menyanyikan lagu-lagu favoritnya. Dilihatnya satu persatu wajah penumpang bus. Penampilan mereka beragam, tapi entah bagaimana, matanya menangkap sebuah kesamaan. Individualis. Ya, di matanya hanya hal itu yang membuat mereka semua tampak sama, tak berbeda. Pandangannya jauh kedalam, mencari tahu yang tersembunyi dibalik setiap pasang mata. Dia tak perduli bila tatapannya tampak sinis, karena puluhan pasang mata yang dilihatnya pun tak jauh lebih baik. Arogan. Tak bersahabat.

Malam hari dia pulang ke rumah. Ayahnya yang seorang supir bajaj, sedang sibuk memperbaiki sebuah kipas angin butut, sementara adik lelakinya sudah tertidur pulas. Dia membaringkan diri di kamar, kembali memulai pertarungannya dengan malam yang tak pernah bisa mengantarkan dirinya terlelap. Malam yang selalu membawanya pada berbagai masalah hidup dan ingatan pahit tentang ibunya.

Dari celah gorden yang menjadi penutup kamarnya, dia bisa melihat punggung sang ayah. Ayah yang masih saja giat bekerja meski usianya tak lagi muda. Ayah yang tak pernah mengeluh meski banyak hal baik dirasa menjauh. Ayah yang telah mewariskan berjuta keteladanan tentang bagaimana bersabar. Dan bagian yang dibencinya dari warisan itu adalah kenyataan bahwa untuk bersabar, dia harus bisa berpikir positif. Karena untuknya, itu berarti dia harus selalu maklum, termasuk untuk setiap hal buruk yang orang lain lakukan padanya.

Dia selalu berpikir, entah bagaimana seseorang bisa selalu berpikir positif tanpa harus sakit hati dan menyimpan dendam. Dia ingat betul percakapan dengan ayahnya, saat ia bertanya tentang kepergian sang ibu. Ibu, yang di matanya hanya tampak sebagai makhluk individualis lain di muka bumi ini.
“Ibumu pasti punya alasan…” kata sang ayah.
“Itu sudah jelas. Dia bosan hidup susah. Dia ingin melepas tanggung jawabnya sebagai istri sekaligus ibu. Begitu kan Pak?” Gadis itu menjawab datar.
“Entahlah. Ibumu tak pernah mengatakan alasannya. Kalau memang benar begitu, wajar Nak. Manusiawi. Siapakah orang yang mau selamanya hidup dalam kemiskinan?

Itu tak sepenuhnya salah ibumu. Bapak pun bersalah karena tidak bisa memberikan hidup berkecukupan sebagaimana mestinya. Ya sudah. Biarlah. Ini yang sudah ditakdirkan Tuhan untuk Bapak, untuk kalian. Mungkin ini yang terbaik”
Kata-kata itu lagi. Dia tahu, kata-kata itu bagi ayahnya, berarti sebuah mantra ampuh. Mantra yang membuatnya terus bersemangat untuk melanjutkan hidup. Mantra yang membuatnya percaya, akan selalu ada hal baik menunggu di luar sana. Kata-kata itu juga yang didengungkan banyak orang. Orang-orang yang selalu menyerahkan semuanya pada keadaan, orang-orang gagal, orang-orang yang dalam hidupnya salah membuat pilihan. Beberapa karena kepasrahan pada Yang Kuasa agar dapat bertahan, sementara yang lain demi sebuah pembenaran, bahwa mereka, tak melakukan kesalahan.

Dia teringat juga lain hari saat dia berbicara soal kakak lelakinya yang telah menikah, dan hampir tak pernah mengunjungi mereka.
“Maklum saja. Dia sudah berkeluarga. Dia punya tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarganya. Mungkin untuk itu saja tak mudah, apalagi bila harus memenuhi kebutuhan kita juga? Yang penting dia masih datang menengok sesekali…”
Sesekali yang amat jarang sekali, batin gadis itu.

Begitupun saat dirinya membicarakan keputusannya untuk berhenti sekolah saat SMA. Saat itu, dia diterima di salah satu sekolah negeri cukup ternama. Dia memutuskan keluar ketika pada semester dua, dia sudah diharuskan melunasi uang pendaftaran yang kemarin sempat ditangguhkan. Belum lagi biaya buku-buku dan akomodasinya yang juga tak murah.
“Sepertinya semua jadi sia-sia. Bapak sudah mengeluarkan uang banyak untuk sekolahku hingga SMA, sekarang harus berhenti. Pernahkah Bapak meyesal?”
“Dari SD hingga kemarin kamu masuk SMA, apa kamu senang?”
Gadis itu mengangguk.
“Maka Bapak tak pernah menyesal. Kalaupun ada penyesalan, itu karena tidak bisa membuatmu menyelesaikan pendidikan di SMA…”

Dibalikkan tubuhnya hingga menghadap dinding. Dipejamkan matanya. Ingatan terakhir telah merubuhkan benteng ketegarannya. Benteng yang dibangunnya demi menghindari serangan dari manusia-manusia yang tak pernah tampak manusiawi di matanya. Manusia yang mendewakan materi, manusia yang tak pernah menyadari kehadiran orang seperti ia dan keluarganya, manusia yang tak pernah tulus menghargai. Manusia yang mengukur segalanya dari harta dan jabatan. Dan betapa dia membenci mereka semua.

Benteng itu juga yang sering rubuh tiap kali ia tersakiti. Tapi dia paham kenapa. Fondasi bentengnya adalah campuran material yang tak seimbang antara sabar dan paham, sekaligus benci dan dendam. Dia membenci dirinya sendiri. Kalau saja material warisan sang ayah diterimanya, bentengnya tak akan pernah rubuh. Dia tak akan pernah terluka.

Matanya masih terpejam saat air mata bergulir dari kedua sudut matanya. Sekali lagi, malam menjadi satu-satunya saksi kejatuhan bentengnya, kerapuhan dirinya. Ia menahan sakit pada tenggorokannya agar isakannya tak terdengar. Pada akhirnya lelah mengantarnya terlelap. Dia bermimpi, dirasakannya seseorang menyentuh pipinya. Tangan kasar itu dengan halus menghapus jejak air mata di wajahnya. Sebuah mimpi indah baginya.

Lelaki itu masih memandangi putrinya yang tertidur pulas. Hatinya menangis. Setiap kali ia melihat kesedihan di wajah putrinya, ia hanya bisa berdoa lebih banyak lagi, berharap Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk putra-putrinya, untuk semua orang seperti mereka di seluruh dunia.

Gadis itu sedang beristirahat di depan sebuah pertokoan tak jauh dari terminal. Dia mengenali wajah beberapa orang yang terlihat hilir mudik di pertokoan itu. Bukan karena mereka benar-benar kenalannya, tapi karena ia terlalu sering duduk di depan pertokoan, dan mereka terlalu sering berbelanja.

Seperti wanita cantik yang selalu kelihatan modis itu. Dia membawa banyak tas belanjaan di kedua tangannya. Seperti biasa pula, dia akan duduk di kafe sebelah pertokoan untuk menunggu sang supir datang dengan mobil sedannya. Lalu, hal yang tak biasa terjadi. Dia memanggil si gadis pengamen yang sudah sejak tadi, tidak, tepatnya sejak berminggu-minggu lalu, selalu menatap sinis padanya dari kejauhan.

Gadis itu mengambil tempat duduk di hadapan si wanita cantik. Tanpa berbasa-basi, wanita itu berkata,
“Berhenti memandang orang seperti itu…” Wanita itu meletakkan segelas moccachino yang baru diteguknya.
“Memandang seperti apa?” Gadis itu keheranan.
“Pandangan itu. Skeptis. Sinis. Kamu harus lebih sering berbicara dengan orang lain…”
“Maaf Tante, ini tentang apa ya?” Gadis itu masih tak mengerti.
Seolah tak perduli, wanita itu terus melanjutkan perkataannya.
“Buka pandanganmu lebih luas. Kamu akan menemukan dan kemudian paham, bahwa dunia ini, tak cuma dipenuhi orang-orang jahat. Tak semua orang tak peduli. Mungkin, jenis orang-orang yang tak kau sukai itu memang bertebaran di muka bumi ini, tapi kamu tahu? Orang sepertimu juga tak sedikit. Orang yang sibuk mempertanyakan banyak hal, sibuk membenci semua orang…”

Ditatapnya wanita yang sejak tadi dia rasakan tengah menegur dirinya. Dia telah mengerti apa yang dimaksud wanita itu. Meski terdengar sok tahu, tapi entah bagaimana, wanita itu seolah bisa mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakan dirinya.
“Aku beritahu padamu. Yang sebenarnya Kamu benci bukan mereka, tetapi nasib dan ketidakberdayaanmu sendiri. Nikmati saja hidup, tak peduli betapa tak beruntungnya dirimu, tak peduli bila tak ada yang mau memperhatikanmu…”

Supir sudah datang dengan mobil sedan silver-hitamnya. Tanpa menunggu perintah, dimasukkannya tas-tas belanjaan itu ke dalam mobil. Sang majikan memintanya menunggu di dalam mobil.
“Seharusnya Tante juga yang paling mengerti bahwa semua itu tidak mudah. Praktik selalu lebih sulit daripada teori bukan? Tante butuh berapa lama untuk menyadari semua?” Kali ini, si gadis berbalik seperti memahami wanita itu, yang sejenak, memperlihatkan raut wajah terkejut.
Wanita itu tidak menggubris pertanyaan terakhirnya.
“Memang sulit, tapi bukan tidak mungkin. Membayangkan dirimu akan kehilangan banyak momen indah dalam hidup, mungkin akan membantumu kembali berpikir”
“Aku tidak punya apa-apa, apa yang bisa hilang?”
Wanita itu menghela napas.
“Kalau kamu terus begitu, mungkin kemanusiaanmu yang akan hilang. Bila Kamu begitu membenci sesuatu, hanya ada dua kemungkinan. Kelak Kamu benar-benar menghindari sesuatu itu, atau sebaliknya Kamu menjadi bagian dari sesuatu itu.
Kamu masih muda. Ubah stereotyping mu terhadap orang-orang, karena pikiranmu itulah yang akan terus membuatmu tersakiti.”

Wanita itu bangkit dari duduknya. Dia membuka tas dan mengambil sebuah amplop berisi sejumlah uang yang telah dipersiapkannya untuk diberikan ke sebuah yayasan.
“Ini untukmu. Lanjutkan sekolah.”

Si wanita baru akan beranjak pergi, ketika gadis itu berkata sesuatu yang mengejutkannya.
“Ada kemungkinan ketiga bukan? Menghindari sesuatu itu, dengan menjadi bagian darinya. Tante memilih itu…”
“Hidup hanya hitam putih. Manusia memilih abu-abu. Sudah biasa kan?” Kata wanita itu tanpa memalingkan wajah pada si gadis. Dia tersenyum dan berjalan menuju mobilnya.
“Ke yayasan, Nyonya?” Tanya si supir.
“Nggak. Kita ke ATM dulu…”
Gadis itu masih memegang amplop.
Tujuh juta rupiah.

Dia masih terpana, memandangi mobil si wanita yang sudah tak tampak lagi di depan mata. Uang itu serta merta membuat pikirannya penuh dengan berbagai rencana. Semua masih samar. Hanya sebuah rencana yang tergambar jelas di pikirannya. Dia akan membangun kembali fondasi bentengnya, kali ini tanpa material benci dan dendam. Dia tahu, pembangunan itu akan menghabiskan banyak malam

Tidak ada komentar: