Kamis, 30 Oktober 2008

BETAWI, RIWAYATMU DOELOE

BETAWI, RIWAYATMU DOELOE

Ada yang berpendapat penduduk Betawi itu majemuk. Artinya, mereka berasal dari percampuran darah pelbagai suku bangsa dan bangsa-bangsa asing. Pendapat ini tidak seluruhnya benar. Seperti dikemukakan sejarawan Sagiman MD, penduduk Betawi telah mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum, yaitu 1500 SM.

Yang pasti penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. Tidak dipungkiri memang ada percampuran darah di zaman kekuasaan Hindia Belanda. Mengingat pada masa itu, khususnya pada abad ke-17, 18, dan 19, terjadi percampuran darah ketika warga Cina, Arab, dan Eropa (Belanda), yang umumnya datang di Batavia tanpa istri, mengawini penduduk setempat.

Sementara itu, Yahya Andi Saputra, jebolan Fakultas Sejarah UI, berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya. Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Dia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.

Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan di zaman sejarah. Kedua, kedatangan penduduk dari luar Nusa Jawa. Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing. Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf hanacaraka (abjad bahasa Jawa dan Sunda).

Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu. Pada abad ke-2, Jakarta dan sekitarnya termasuk wilayah kekuasaan Salakanagara atau Holoan yang terletak di kaki Gunung Salak, Bogor. Penduduk asli Betawi adalah rakyat kerajaan Salakanagara. Pada zaman itu perdagangan dengan Cina telah maju. Bahkan, pada tahun 432 Salakanagara telah mengirim utusan dagang ke Cina.

Pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanagara di tepi kali Citarum. Menurut Yahya, ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang oleh Poerbatjaraka diidentifikasi dengan sungai Bekasi.

Candra berarti bulan atau sasi, jad
i ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah, menurut perkiraan Poerbatjaraka, letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanagara mengenal persawahan menetap.

Pada zaman Tarumanagara kesenian mulai berkembang. Petani Betawi membuat orang-orangan sawah untuk mengusir burung. Orang-orangan ini diberi baju dan bertopi, yang hingga kini masih dapat kita saksikan di sawah-sawah menjelang panen. Petani Betawi menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan tangan orang-orangan sawah itu.

Jika panen tiba petani bergembira. Sawah subur, karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan.

Nelayan juga bergembira menyambut panen laut. Ikan segar merupakan rezeki yang mereka dapatkan dari laut. Karenanya mereka mengadakan upacara nyadran. Ratusan perahu nelayan melaut mengarak kepala kerbau yang dilarungkan ke laut.

Kerajaan Tarumanagara pada abad ke-7 ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya yang beragama Budha. Di zaman kekuasaan Sriwijaya berdatangan penduduk Melayu dari Sumatera. Mereka mendirikan pemukiman di pesisir Jakarta.

Kemudian bahasa Melayu menggantikan kedudukan bahasa Kawi sebagai bahasa pergaulan. Ini disebabkan terjadinya perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang Melayu. Bahasa Melayu mula-mula hanya dipakai di daerah pesisir saja. Kemudian meluas sehingga ke daerah kaki Gunung Salak dan Gunung Gede.

Bagi masyarakat Betawi keluarga punya arti penting. Kehidupan berkeluarga dipandang suci. Anggota keluarga wajib menjunjung tinggi martabat keluarga. Dalam keluarga Betawi ayah disebut babe. Tetapi ada juga yang menyebutnya baba, mba, abi atau abah -- pengaruh para pendatang dari Hadramaut. Ibu disebut mak. Tetapi tidak kurang banyaknya yang menyebut nyak atau umih. Anak pertama dinamakan anak bongsor dan anak bungsu dinamakan anak bontot.

Sejak dahulu kala Jakarta menarik perhatian orang asing. Pada tahun 414 berkunjung ke Jakarta seorang kelana Tiongkok bernama Fa Hien. Ia melihat banyak rumah di pesisir. Banyak penduduk Jakarta yang menangkap ikan di laut. Jakarta banyak disukai orang asing karena air minumnya yang jernih. Juga di sini dihasilkan tuak yang diambil dari pohon nira.

Pada abad ke-12 pelabuhan Sunda Kelapa ramai dikunjungi pelaut-pelaut asing. Kemudian hari sebagian dari mereka menjadi penduduk Jakarta. Ketika Jan Pieterzoon Coen mendirikan Batavia (Mei 1619), penduduk Jayakarta menyingkir sambil mendirikan markas gerilya di Jatinegara Kaum (Jakarta Timur). Untuk mengisi kekosongan kota, Coen mendatangkan banyak budak dari Asia Selatan dan Bali.

Keberadaan budak yang baru dihapuskan 1860 membuat sejumlah sejarawan asing terkecoh. Mereka menulis bahwa orang Betawi keturunan budak. Padahal sejak 1.500 tahun SM di Jakarta dan sekitarnya sudah bermukim orang Betawi.

ASAL NAMA BETAWI

Banyak yang bertanya tentang asal usul nama Betawi. Sampai ada yang mengira nama Betawi berasal dari 'bau tai'. Konon ketika balatentara Mataram pada tahun 1928 dan 1929 berusaha merebut kota Batavia, pasukan VOC kala itu bertahan di benteng pertahanan Redout Maegdeln, sebuah menara dekat kastil Batavia. Seorang sersan kompeni, Ian Mulder, dan 15 orang kawannya berusaha untuk bertahan terhadap serangan balatentara Mataram yang terus merangsek dan mendekati benteng. Pada saat-saat yang genting demikian ini, pasukan VOC yang dilengkapi sebuah meriam kecil kehabisan mesiu. Dalam suasana keputus-asahan ini, sersan VOC berteriak, "Lihat bagaimana saya mengusir musuh keparat ini."

Sang sersan mengangkat pot-pot berisi kotoran manusia dan melemparkan isinya pada pasukan Mataram. Melihat itu, timbul kembali semangat para kompeni. Mereka mengikuti jejak sang sersan. Mereka pun ramai-ramai melemparkan pot-pot berisi kotoran manusia itu. Pasukan Mataram yang merasa jijik mundur dengan rasa amat penasaran. Teriakan pun terdengar di mana-mana, "Bau tai... Bau tai!". Dari kejauhan suara itu terdengar seperti 'Betawi'.

Tentu saja perkiraan itu tak dapat diterima akal. Apalagi sampai ada yang menyatakan kotoran manusia itu digunakan sebagai peluru. Karena tai bukan zat padat yang dapat ditembakkan. Tapi p
erlu diketahui, sampai abad ke-18 rumah dan gedung di Batavia tidak memiliki toilet. Termasuk gedung Balaikota yang kini jadi Museum Sejarah DKI Jakarta di Jl Fatahillah, Jakarta Barat.

Kala itu kebiasaan penghuni kota Batavia, kalau hendak buang hajat di masukkan ke tong-tong yang tersedia di tiap rumah dan kantor. Lalu isi tong itu dilemparkan ke kali atau kanal-kanal yang disebut 'kembang jam 9 malam'. Karena pemerintah VOC mengeluarkan peraturan kotoran manusia itu baru boleh dibuang setelah jam 9 malam.

Ada juga yang menyebutkan bahwa Betawi berasal dari kata Batavia. Tapi yang jelas Gubernur Jenderal JP Coen, pendiri kota ini, mengusulkan kota yang dibangunnya bernama Niew Hoorn untuk mengenang kota kelahirannya di Belanda. Tapi, pihak pemegang saham VOV yang berpusat di Amsterdam lebih menyetujui nama Batavia. Padahal nama ini, secara tidak sengaja diberikan pada seorang prajurit yang tengah teler akibat menenggak minuman keras. Coen sangat kecewa karena usulannya ditolak, dan sampai meninggal Oktober 1929 ia menolak memakai nama Batavia. Dia menyebut kota yang didirikannya Fort Jacatra atau 'benteng Jacatra'.

Ada banyak versi tentang kematian Coen. Ada yang mengatakan ia diracun. Ada pula yang menyatakan ia tidak meninggal di kastil (benteng). Tapi dicuclik, dianiyaya serta dibunuh balatentara Mataram. Memang ia mati hanya beberapa hari setelah balatentara Islam Mataram menyerang kota Batavia.

Konon, seperti diceritakan Candrian Attahiyat dari Dinas Kebudayaan dan Permuseum DKI Jakarta, kepala Coen ditanam di tangga pertama pemakaman Imogiri, tempat peristirahatan t
erakhir raja-raja Mataram. Sebagai penghinaan, bila hendak ke pemakaman lebih dulu menginjak kepala Coen. Ada juga yang mengatakan Coen mati dibunuh orang Banda yang membalas dendam atas kekejamannya membunuh ribuan rakyat Banda ketika ia berada di Maluku.

Masih ada versi lain tentang misteri matinya Coen. Ia diisukan mati karena ketakutan mengingat pertemuan yang akan menyusul dengan rekan lamanya, yang saat itu jadi musuh dan calon penggantinya, yakni Jaques Spincx. Spincx adalah pedagang senior yang bekerja selama 12 tahun di kompeni. Dari hubungan kumpul kebonya dengan seorang wanita Jepang lahirlah seorang gadis jelita Saartje Spencx pada 1617. Anak itu kemudian mengikuti ayahnya ke Batavia, sedangkan istrinya tetap di Jepang. Saartje kemudian dititipkan di rumah Coen ketika ayahnya kembali ke Jepang.

Pada tahun 1629, seorang perwira muda be
rusia 16 tahun Pieter Contenhoeff jatuh cinta pada Saartje yang berusia 16 tahun. Dan cinta pemuda tanpan ini mendapat balasan dari si dara yang berwajah molek. Dengan menyogok beberapa budak dan pembantu rumah tangga, si perwira berhasil masuk ke ruang tidur gadis itu. Di situ walaupun di hadapan budak-budak, pasangan yang tengah dilanda asmara itu melakukan hubungan badan berkali-kali.

Jenderal Coen, yang kemudian mendengar peristiwa yang dianggapnya memalukan itu, langsung membawa keduanya ke pengadilan. Si pemuda dihukum mati di balaikota. Sedangkan Saartje disiksa dan dipermalukan di halaman tengah balaikota. Konon, bagian atas badannya dipertontonkan pada umum. Sang ayah, setelah mendengar peristiwa itu, menjadi marah besar dan bersumpah akan membalas dendam. Dalam suasana demikian itulah Coen meninggal dunia, hingga diisukan dia mati ketakutan.

Kembali ke asal muasal nama Betawi, pada tahun 1858 di Jakarta terbit surat kabar Betawi yang mempergunakan huruf Latin dan Arab bernama Pemberita Betawi. Novel-novel di abad ke-18 dan 19 lebih banyak menyebutkan nama Betawi katimbang Batavia.

Pada tahun 1870, Raden Arya Sastradarma dalam karangannya, Kawontenan Ing Nagari Betawi, menyebutkan masyarakat luas di Batavia dalam percakapan sehari-hari menggunakan bahasa Melayu. Kebanyakan menyebut dirinya orang Slam atau orang Betawi. Laki-laki Betawi ketika itu umumnya mencukur habis rambutnya (gundul).



* Salam hormat saya teruntuk Babe Alwi Shahab.





ORANG BETAWI DI MATA H. RIDWAN SAIDI (CENDIKIAWAN/BUDAYAWAN BETAWI)

Kalau Mandra gampang saja menjawabnya: “au ah gelap!” Mahbub Djunaidi si kolomnis ternama asli Betawi pernah mencoba menjawabnya; tapi, ia pun akhirnya menyerah. “Bukan apa-apa bagaimana bisa menjelaskan sedangkan topangan literaur saja tidak ada. Mana ada nenek moyang orang Betawi meninggalkan tulisan? Babad, hikayat—tiada itu. Ada memang kisah Sultan Zainul Abidin atau Siti Zubaedah yang saban-saban dipaparkan sahibul hikayat saat pesta sunatan atau perkawinan. Tetapi, isinya penuh rupa-rupa petualangan dan tingkah jin dalam berbagai kaliber.” Begitu alasannya.

Sampai kini hanya Ridwan Saidi yang tak lelah-lelah menjawab pertanyaan itu. Sudah tiga buku ditulisnya untuk menjelaskan yaitu “Profil Orang Betawi” (1997), “Warisan Budaya Betawi” (2000) dan “Babad Tanah Betawi” (2002). Tak puas, di beratus forum diskusi Ridwan omong, ikut debat polemik dengan macam-macam peneliti dari dalam dan luar negeri tentang hal yang sama.

Menurut Ridwan orang Betawi bukanlah orang “kemarin sore”. Tidak benar jika ada yang mengatakan orang Betawi itu keturunan budak yang didatangkan Kompeni untuk mengisi intramuros alias kota benteng Batavia. Orang-orang Betawi telah ada jauh sebelum J.P. Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan mendirikan di atas reruntuknya kota Batavia.

Salakanagara Hingga Kalapa

Cikal bakal sejarah orang Betawi dikaitkan Ridwan dengan tokoh bernama Aki Tirem yang hidup di daerah kampung Warakas (Jakarta Utara) pada abad 2. Aki Tirem hidup dari membuat priuk dan saban-saban bajak laut menyatroni tempatnya untuk merampok priuk. Lantaran keteteran sendiri melawan bajak laut maka diputuskan untuk mencari perlindungan dari sebuah kerajaan. Saat itulah Dewawarman seorang berilmu dari India yang menjadi menantunya dimintanya mendirikan kerajaan dan raja.

Pada tahun 130 berdirilah kerajaan pertama di Jawa yang namanya Salakanagara. Salakanagara nagara menurut Ridwan berasal ari bahasa Kawi salaka yang artinya perak.

Secara etimologis kemudian Salakanagara itu dikaitkan Ridwan dengan laporan ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus pada tahun 160 dalam buku Geografia yang menyebut bandar di daerah Iabadiou (Jawa) bernama Argyre yang artinya perak. Dikaitkan pula dengan laporan dari Cina zaman Dinasti Han yang pada tahun 132 mengabarkan tentang kedatangan utusan Raja Ye Tiau bernama Tiao Pien.

Ye Tiau ditafsirkan sebagai Jawa dan Tiau Pien sebagai Dewawarman. Termasuk dalam hal ini yang disebut Slamet Mulyana sebagai Kerajaan Holotan yang merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara dalam bukunya "Dari Holotan sampai Jayakarta adalah Salakanagara".

Soal letak Salakanagara, Ridwan menunjuk kepada daerah Condet. Alasannya karena di Condet salak tumbuh subur dan banyak sekali nama-nama tempat yang bermakna sejarah, seperti Bale Kambang dan Batu Ampar. Bale Kambang adalah pasangrahan raja dan Batu Ampar adalah batu besar tempat sesaji diletakkan.

Di Condet juga terdapat makam kuno yang disebut penduduk Kramat Growak dan makam Ki Balung Tunggal yang ditafsirkan Ridwan adalah tokoh dari zaman kerajaan pelanjut Salakanagara yaitu Kerajaan Kalapa. Tokoh ini menurut Ridwan adalah pemimpin pasukan yang tetap melakukan peperangan walaupun tulangnya tinggal sepotong maka lantaran itu dijuluki Ki Balung Tunggal.

Setelah menunjuk bukti secara geografis, Ridwan pun melengkapi teorinya tentang cikal bakal sejarah orang Betawi dengan sejarah perkembangan bahasa dan budaya Melayu agar dapat semakin terlihat batas antara orang Betawi dengan orang Sunda. Ia pergi ke abad 10. Saat terjadi persaingan antara wong Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah timur mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya.

Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian Barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukim awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa.

Ridwan mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda). Orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian Barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”.

Studi Lance Castles

Agar timbangan tidak berat sebelah maka perlulah di sini dikemukakan pula sosial-origin alias asal-usul sejarah orang Betawi yang ditulis Lance Castles, meskipun telaah peneliti Australia ini banyak bikin berang orang Betawi, tetapi sampai sekarang hanya itulah yang dianggap sebagai jawaban paling memuaskan (kalau tidak bisa disebut accepted history) oleh banyak pihak, terutama para akademisi.

Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia.

Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari, pertama daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia. Kedua, Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815. Ketiga, catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893 dan keempat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.

Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan.

Dari perbandingan dapatlah diketahui bahwa selama sekitar satu abad, beberapa kelompok etnis seperti Bali, Bugis, Makasar, Sumbawa, dan sebagainya tidak tercatat lagi sebagai kelompok etnis Jakarta. Sedangkan jumlah orang Jawa dan Sunda meningkat pesat, yang berarti migrasi cukup besar di dari Jawa, dan mungkin estimasi kelompok etnis Sunda di masa lalu di daerah sekitar Batavia terlalu rendah. Sebaliknya muncul kelompok etnis baru yang disebut “Batavians” (Betawi) dalam jumlah besar yaitu 418.900 orang. Jadi secara umum dapatlah dikatakan bahwa kehadiran orang Betawi merupakan buah dari kebijakan kependudukan yang secara sengaja dan sistematis diterapkan oleh VOC.

Bukti Arkeologis

Sepuluh tahun setelah pengumuman hasil penelitian Lance Castles, arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan monografinya Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977). Uka memang tidak menyebut monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara di abad 5.

Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya di mana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta.

Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur.

Seberapa Penting Keturunan

Akhirnya, sebelum menutup tulisan ini perlu pula dikemukakan pertanyaan, yang terlepas dari polemik soal asal muasal orang Betawi. Sesungguhnya seberapa pentingkah keturunan itu bagi orang Betawi? Mengutip penelitian Ninuk Kleden, maka tiga yang dianggap terpenting dalam fase kehidupan orang Betawi adalah khitanan, kawinan, dan kematian. Berlatar kultur seperti itu, tentunya orang Betawi sedikit sekali punya konsentrasi untuk mengingat-ingat sesuatu yang berkaitan dengan kelahiran. Adat hidupnya yang banyak bertopang pada agama Islam lebih mengajarkan untuk lebih mengingat-ingat hari kematian. Wajar jika orang Betawi menganggap adat berulang tahun itu tak penting. Itu adat kafir karena datangnya dari Kumpeni yaitu sebutan mereka untuk VOC (Verenigde Oost-indiesche Compagnie).

Dalam konteks itulah adalah wajar jika Mandra spontan menjawab “au ah gelap” soal asal muasal orang Betawi. Kapan lahir dan keturunan siapa tak persoalan bagi orang Betawi. Apakah sejarah yang disertai polemik itu tepat atau ngelantur? Tak soal. Sekali lagi, seperti kata Mahbub Djunaidi, bagaimana mengkritisi sedangkan topangan literatur tiada. Orang Betawi bukanlah orang Jawa yang walau banyak bohong masih sempat meninggalkan sejarahnya dalam babad.

Motto hidup orang Betawi yang ingin senang terus, membuat mereka tak ambil pusing soal polemik asal muasal itu. Mereka terima saja ketika pemerintah Jakarta menetapkan baginya hari ulang tahun, 22 Juni. Tepat atau tidak, benar atau bohong hari ulang tahun itu bagi orang Betawi tidak jadi soal, karena sesama satu kesatuan entitas nasional jangankan benarnya, bohongnya pun mesti percaya. Hidup sekali dan sudah susah kok dibikin susah-susah dengan segala versi itu.

Boleh jadi sikap ini karena mereka awam sejarah, atau malah sebaliknya, sejarah itu diragukan kebenarannya. Orang Betawi memang polos dan jenaka. Bagi mereka kualitas manusia itu tidak ditentukan oleh kapan lahir dan dari keturunan siapa, melainkan isi kepala dan prilakunya. Ya, memang keturunan itu bukan apa-apa dan tidak 100% dominan.

Taruhlah orang Betawi itu keturunan Baginda Raja Salakanagara yang hebat, Ki Balung Tunggal yang sakti atau cuma budak yang hina, tetapi yang penting siapakah orang Betawi itu sekarang. Antara kebesaran Baginda Raja Salakanagara, kesaktian Ki Balung Tunggal dan kehinaan budak Kumpeni dengan orang Betawi sekarang tidak ada hubungannya sama sekali. Tak perlu cerewet dengan kisah asal muasal keturunan. Lebih penting adalah orang Betawi sekarang mesti belajar dan bekerja keras untuk jadi berkualitas macam raja-raja besar dan jangan jatuh hina ditindas bagai budak tak berharga. Kualitas tak jatuh dari keturunan, dan tidak juga dari langit.

Tetapi tentang siapakah orang Betawi, dari mana asalnya, pendek kata sejarahnya orang Betawi mesti dicarikan jawaban. Memang kualitas tak jatuh dari keturunan, tetapi pertanyaan sejarah itu bukan berarti mesti diremehkan dan tidak harus dicari jawabannya. Sebisanya mesti dijawab, sebab itu menyangkut sejauh mana sebetulnya kita bersungguh-sungguh dengan sejarah. Sejarah yang lebih adil, yang bisa menjadi sumber inspirasi dan pedoman yang menuntun masyarakat pendukungnya sekarang belajar serta mengetahui serta mengerti seraya bekerja keras untuk mencapai arah kemana mereka mesti menuju.

Dalam konteks itu saling silang tentang sejarah asal usul orang Betawi menjadi penting dan perlu disyukuri sebagai tanda bahwa arah mencari sejarah yang adil tengah berjalan, dan di sana sejarah sebagai gambaran masa lalu yang adalah pula merupakan berita pikiran atau discourse, yang menuntut adanya proses dialogis telah terjadi dan tinggal kini orang Betawi mengambil hikmahnya dari setiap historiografi atau penulisan sejarah yang terlibat dalam polemik itu untuk menjawab keprihatinan dan kegelisahan sosial-kultural mereka yang harus bertanggungjawab memajukan kehidupan manusia Betawi sekaligus manusia Indonesia.

Tidak ada komentar: