Senin, 20 Oktober 2008

KANDANG

KANDANG
Cerpen Yanusa Nugroho

Jika saja kau mengetahui di mana aku tinggal, mungkin kau akan sependapat dengan apa yang akan kuceritakan kepadamu. Di sini, di tempat tinggalku, kau tak akan menjumpai manusia. Ya. Kau tak akan menjumpai sesosok makhluk yang bisa layak kau sebut manusia.

Entah kebetulan, entah tidak, aku menempati rumah di ujung jalan. Lebih tepat lagi bila kusebutkan di ujung atas jalan kecil ini. Jauh lebih tepat, sebagai rumah yang paling atas, karena jalan ini adalah jalan buntu.

Jadi, setiap hari, jika aku ingin ke suatu tempat, aku harus melewati jalan yang sama. Pergi aku turun, pulang aku naik. Begitu setiap hari; sejak kira-kira 15 tahun yang lalu. Dengan demikian aku hafal setiap rumah di sepanjang jalan ini.

Akan kuceritakan dulu, rumah yang ada di sebelahku. Jarak antara rumahku dan tetanggaku itu --maaf aku tak benar-benar hafal namanya, mungkin Tom atau Ton, aku tak bisa dengan benar mengingatnya.

Rumah si Tom atau Ton ini bertipe 90 dan dibangun di atas tanah seluas 120 meter persegi. Bayangkan, dia tak lagi memerlukan halaman. Atau barangkali saja, di tengah ruang tamunya itulah dia membangun halaman --entahlah. Nah, dengan luas tanah yang sudah hampir penuh oleh bangunan itu, di sekelilingnya didirikan tembok tinggi menjulang, mirip Tembok China.

Dulu sekali, aku pernah mencoba mencuri-curi pandang. Mencari celah, untuk sekadar mengintip ke balik tembok itu; sia-sia saja. Ternyata, satu-satunya penghubung antara isi tembok dengan dunia luarnya hanyalah pintu kayu besar, tempat keluar masuknya Landcruiser hitam itu. Oh, tidak, aku salah, di sebelah pintu pagar besar itu, masih ada pintu kecil, untuk lalu lalang pembantunya. Juga, ada selokan yang keluar dari lingkungan benteng itu; kalau itu bisa disebut ''penghubung'' dengan dunia luar.

Bertahun-tahun aku berpikir, berandai-andai, tentang si Tom atau Ton ini. Apa saja yang dilakukannya di dalam rumah? Mengapa dia tak pernah memunculkan wajahnya? Maksudku, kapankah dia keluar rumah dan berbincang dengan tetangga --sebagaimana layaknya manusia, bukan mengendarai Landcruiser hitamnya yang ternyata berkaca rayben hitam pula. Akan tetapi, lama-kelamaan aku bosan juga memikirkan si Tom atau Ton itu.

Ternyata, setelah aku perhatikan --selama 5 tahun pertama aku tinggal di lingkungan ini-- semua orang berkelakuan sama dengan si Tom atau Ton ini. Rumah nomor 5, misalnya, seluruh halamannya dipagar besi menjulang, mirip kandang gajah. Juga yang di bawah sana. Yang pagarnya berkilau-kilau itu, juga begitu. Bayangkan, tembok pagarnya tinggi menjulang, nyaris menutup sebagian atap rumah, dan yang lebih gila lagi, menurutku, tembok itu tidak menggunakan batu bata, tetapi glassbox. Edan. Dia membangun akuarium untuk dirinya sendiri.

Jadi, kalau kau berkunjung ke rumahku, kau akan bisa menyaksikan: kandang jerapah, kandang burung, kandang gajah, goa beruang, bahkan akuarium raksasa. Satu-satunya rumah yang tak berpagar adalah rumahku. Kalaupun itu bisa disebut pagar, paling-paling hanyalah semak teh-tehan, yang setiap 2 minggu sekali kupangkas; sekadar untuk cari keringat.

***

Tetapi, maaf, barangkali aku memang salah. Barangkali saja, akulah orang yang memang tak pernah bertemu dengan mereka itu. Bisa jadi, karena kesibukanku sehari-hari, aku juga tak punya waktu untuk bertatap muka dengan mereka, barang sekalipun --selama 15 tahun!

Sebetulnya, aku malu menceritakan ini semua kepadamu. Akan tetapi, sungguh, aku tak tahan. Aku ingin bicara. Aku ingin bertegur sapa. Aku ingin ngobrol basa-basi, bergosip, atau apa sajalah hal-hal yang remeh-temeh. Bagaimana mungkin, manusia tidak ngobrol dengan sesamanya?

Ah, ngobrol? Jangankan dengan mereka, bahkan kepada anak istriku pun aku tak bisa menciptakan bahan obrolan. Apakah ''bagaimana sekolahmu?'' atau ''ada berita apa di kantormu?'' misalnya, bisa disebut obrolan?

Ya, itulah hidupku, kawan. Sepanjang hari, tujuh hari seminggu, tiga puluh hari sebulan, dan dua belas bulan setahun, aku, istriku dan anak-anakku diam-diam berubah menjadi robot. Masing-masing kami membawa kunci, jadi tak perlu saling tunggu dibukakan pintu jika ada yang pulang lebih awal atau telat. Masing-masing, kecuali pada hari Minggu, mungkin, sudah makan di luar rumah, dan sesampainya di rumah repot dengan urusan masing-masing; atau lelap dihajar lelah.

Yah, begitulah. Jadi, barangkali saja, tak ada yang salah dengan para tetanggaku. Barangkali saja, itu semua kurasakan demikian, lantaran aku yang tak bisa punya waktu menemui mereka.

***

Aku tak tahu, siapa yang harus kusalahkan. Apakah memang keadaanku ini yang membuatku jadi ''terasing'' dengan sekelilingku, atau memang...

Itulah sebabnya, aku ingin menemuimu. Paling tidak, dengan berbicara padamu, aku bisa mendapatkan perbandingan. Siapakah yang aneh: diriku atau orang-orang sekelilingku.

***

Jika kau lihat dari halaman rumahku, maka rumah yang di bawah sana itu akan tampak seperti benteng Spanyol. Ah, tahu apa aku soal benteng Spanyol. Tetapi, paling tidak, kesan itu muncul begitu saja di benakku. Mengapa tidak sekalian diberi meriam di jendela-jendela kecilnya itu? Dan mengapa pula tidak disiapkan serdadu di depan pintunya?

Aku sempat berpikir, mungkinkah mereka sebetulnya takut pada setiap orang? Atau jangan-jangan mereka sudah termakan nasihat orang bule, bahwa jangan bicara pada orang asing? Bisa jadi mereka sudah termakan filsafat bahwa ''manusia adalah srigala bagi manusia lainnya''? Ah, bisa jadi demikian.

***

Suatu kali, sepulang kerja --sebagaimana biasa, aku berjalan menyusuri jalan di lingkungan ini. Sambil menoleh ke kanan ke kiri, aku mencoba mencari tahu, kalau-kalau saja ada pintu yang terbuka dan aku berkesempatan bertegur sapa.

Ternyata sia-sia saja. Sepanjang jalan ini sepi. Senyap seperti kuburan.

Di kejauhan, rasanya aku melihat ada sesosok tubuh tergeletak. Ah, mungkinkah dia korban tabrak lari? Mustahil.

Kudekati sosok laki-laki yang tergeletak itu. Ternyata dia masih hidup. Usianya sebaya denganku. Dengan segala cara, akhirnya dia bisa kupapah dan kubawa ke rumah. Sekali lagi, tak satu pun pintu terbuka. Mungkin mereka sudah mati semua!

Setelah duduk beberapa saat, dan meminum dua gelas air sekaligus, barulah dia bisa kuajak bicara. Dia sendiri tak tahu mengapa tiba-tiba pingsan. Namun, melihat kekusutan penampilannya, dan kelayuan tubuhnya, aku bisa menduga bahwa dia kelaparan. Jujur saja aku tak bisa berbuat banyak. Mau menawarinya makan? Mana mungkin? Tak ada makanan di rumah ini.

Dia berkali-kali hanya mengucapkan terima kasih, dan akan lebih berterima kasih lagi jika diperkenankan duduk beberapa saat lagi. ''Saya masih belum kuat jalan, Pak,'' tambahnya.

Tentu saja dia tak bisa berjalan, pasti dia kelaparan. Aku harus mencarikan makanan yang bisa segera mengenyangkan. ''Sebentar, ya...,'' kataku, yang kemudian setengah berlari, meninggalkan rumah, menuju warung.

Beberapa saat kemudian aku kembali, langsung menuju dapur dan memasak mi instan. Kucari telur di lemari es. Kupecahkan dua butir. Kasihan. Dia pasti kelaparan.

***

Aku gembira. Baru kali ini aku menemukan manusia yang bisa kuajak berbincang. Sambil menunggui dan mengamati bagaimana lahapnya laki-laki ini makan, tak henti-hentinya aku bertanya. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, barulah aku sadar, ternyata kalimat yang keluar dari bibirku tak lebih dari: ''Bagaimana, enak?'' atau ''Nambah?''

Tiba-tiba pula aku merasa begitu tolol.

***

Malamnya, sebelum tidur, istriku yang hari itu pulang larut, sempat menggerutu. Katanya, aku berkali-kali, sesore tadi ditelepon, tapi tak menyahut. ''Kenapa sih, HP-nya dimatiin?''

Dimatiin?

Rasanya sejak sore tadi aku tak mendengar HP-ku berbunyi. ''Nggak, kok. Dari siang, bahkan dari kemarin malam HP-ku aktif; aku lupa matiin.''

''Pokoknya, tadi sebelum magrib aku telepon, tapi voicemail terus..''

Sejak magrib?

Seperti tersengat tawon, aku tersentak. Bukankah tadi HP kugeletakkan di meja depan, ketika mendudukkan laki-laki itu. Segera aku ke meja depan, dan...

***

Kukutuki malam. Kumaki dinginnya. Kuteriakkan sejuta kutukan. Laki-laki yang kutolong tadi, ternyata maling! Aku jadi makin tolol. Bagaimana mungkin aku tak bisa melihat dia lewat di depan warung, sementara aku membeli mi instan tadi? Jalan ini hanya punya satu pintu, di ujung sana! Hanya satu. Jadi, mustahil orang keluar masuk jalan ini, tanpa berpapasan satu dengan yang lainnya.

Lewat mana dia? Malam itu juga dengan membawa senter, aku lihat ke sekeliling pagar tinggi yang mengepung kompleks ini; tentu saja yang berada di sekitar rumahku. Sia-sia. Selain aku tak bisa melihat dengan jelas, rasa jengkel membuatku tidak teliti.

Ya. Bagimu, barangkali sebuah HP adalah sebuah HP. Kalaupun hilang, dengan mudah bisa beli yang baru. Tetapi, si laknat itu mencurinya di depan hidungku. Ini kurang ajar. Lebih kurang ajar lagi aku yang mempersilakan dia masuk rumahku, menyuguhinya dengan mi instan dan... ah!

***

Hari ini aku mendapatkan isnpirasi dari rumah si Ton atau Tom. Aku akan melarang orang keluar masuk rumahku sembarangan. Aku akan pasang aliran listrik di pagar tembok yang akan kubuat dari perangkap hewan buruan. Jadi, kalau ada orang berusaha memanjat, dia akan mati tersengat listrik. Atau, paling apes, kakinya akan buntung terkena jebakan besi itu. Haha... Ideku lumayan cemerlang.

Sementara itu, akan kupasang kamera pengintai di keempat sudut pagar rumahku. Dengan begitu, aku bisa memonitor setiap gerakan mencurigakan yang ada di luar sana. Aku tak perlu keluar rumah. Cukup mengamati dari monitor. Kalau ada maling, atau yang kuduga sebagai maling, aku bisa lapor polisi. Aku tak perlu keluar rumah. Aku tak perlu meminta tolong tetangga. Aku bisa menguasai keadaan dengan baik.

Tidak ada komentar: