Rabu, 22 Oktober 2008

Raja Bali Biasa Memberi Sangu Calon Haji

Raja Bali Biasa Memberi Sangu Calon Haji

Pelepasan merpati.

Kerukunan umat beragama yang mesra dan harmonis di Bali telah menarik perhatian sejumlah daerah di Indonesia maupun masyarakat internasional untuk mempelajari bagaimana hal itu bisa terwujud.

Selama ratusan tahun sejak Islam masuk ke Pulau Dewata pada zaman pemerintahan Raja Dalem Watu Renggong pada abad XIV (1480-1550) hingga sekarang hampir tidak pernah terjadi "gesekan" atau "benturan" antarumat beragama.

Dalam budaya, umat Islam Bali telah berbaur dengan budaya setempat. Lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim sama halnya dengan lembaga adat yang diwarisi umat Hindu, seperti halnya organisasi pengairan tradisional dalam bidang pertanian (subak) maupun wadah banjar, tempat pemukiman kelompok masyarakat terkecil (dusun).

Bahkan dalam perkembangannya terjadi akulturasi antara kebudayaan Islam dan Hindu, sehingga melahirkan berbagai keunikan yang mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara, sosilog maupun budayawan dari berbagai negara di belahan dunia, tutur Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali Haji Ahmad Hasan Ali (75).

Pria kelahiran Palembang yang hampir setengah abad bermukim di Bali itu menilai, kerukunan umat beragama yang kokoh dan mantap terjadi berkat kemampuan mengelola perekat, meskipun hampir semua etnis Nusantara ada di Bali. "Kemajemukan itu tidak hanya menyangkut Islam-Hindu, namun seluruh umat beragama dapat dikelola dengan baik, agar keharmonisan dan kerukunan hidup beragama, hidup berdampingan saling menghormati satu sama lainnya, tetap dapat dipertahankan," harap suami dari Hj Ni Massalma yang tetap enerjik pada usia senjanya itu.

Seni budaya dan akulturasi satu sama lainnya diharapkan tetap menjadi alat perekat dan lebih menonjolkan kesamaan serta saling menghargai dan menghormati, sehingga jauh dari benih-benih "perseteruan".

Pengelolaan kemajemukan antaretnis di Bali tertata rapi melalui persamaan-persamaan tanpa mempermasalahkan adanya perbedaan.

Kebiasaan yang sangat positif itu sudah diwarisi sejak zaman Raja Dalem Watu Renggong, yang wilayah kekuasaannya tidak hanya di Bali, namun juga sampai ke Lombok, Sumbawa dan Blambangan di Jawa Timur.

Bahkan sang raja senantiasa memberikan sangu kepada umat muslim yang akan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah. Kebiasaan baik itu ditiru oleh raja-raja lainnya di Bali yang memiliki warga Muslim.

Berlanjut

Haji Hasan Ali, pensiunan PNS pada bidang Bimas Islam Kanwil Departemen Agama Propinsi Bali menambahkan, kebiasaan sang raja memberikan bekal kepada umat Muslim yang menunaikan ibadah haji tetap dilanjutkan oleh para pewarisnya. "Bahkan pewaris Puri Satrya Denpasar Drs Anak Agung Ngurah Puspayoga ketika menjabat Walikota Denpasar sebelum menjadi Wakil Gubernur Bali, senantiasa juga memberikan sangu kepada umat muslim yang melaksanakan ibadah haji," tutur Haji Ahmad Hasan Ali.

Tokoh kharismatik yang cukup disegani masyarakat itu juga menjalin tali persahabatan yang sangat akrab dengan umat Islam yang ada di wilayah kota Denpasar dan sekitarnya.

Puspayoga yang menjadi Walikota Denpasar selama dua periode 2000-2005, dan 2005-2010 yang akhirnya diangkat menjadi Wagub Bali mendampingi Gubernur Bali, Made Mangku Pastika sejak 28 Agustus 2008, diharapkan tetap menjalin keakraban dengan umat muslim.

Sejumlah bupati lainnya di Bali mulai mengikuti jejak Puspayoga untuk berbuka puasa bersama umat muslim di sejumlah masjid dengan jadwal yang telah diatur.

Menurut Kasi Bina Ibadah Sosial, Produk Halal dan Kemitraan Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Kanwil Departemen Agama Propinsi Bali H. Mudzakkir, keakraban Islam-Hindu tidak hanya membekas sampai sekarang, tetapi juga dapat diketahui melalui peninggalan tertulis pada sejumlah puri di Pulau Dewata.

Peninggalan tertulis tersebut menyebutkan terjalinnya keakraban serta hubungan yang harmonis dan serasi antara pemeluk Agama Islam dan Hindu.

Dalam bulan Ramadhan yang tengah berlangsung sekarang para tokoh puri mendatangi warga Muslim untuk mengadakan buka puasa bersama.

Hal itu antara lain dilakukan tokoh Puri Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, terhadap warga Muslim Kampung Bugis, Angantiga, Kecamatan Petang.

Demikian pula tokoh Puri Pemecutan Denpasar datang ke warga Muslim untuk mengadakan silaturahmi ke masjid Kepaon, masjid di Kelurahan Serangan, maupun tempat-tempat lainnya yang selama ini telah terjalin keakraban yang harmonis.

Sejarah masuknya Islam ke sejumlah lokasi di Bali yang kini lebih dikenal dengan Banjar Muslim, tidak merupakan satu kesatuan yang utuh, namun satu sama lainnya kemudian saling berinteraksi.

Sejumlah komunitas Muslim di Bali antara lain tersebar di Banjar Saren Jawa di wilayah Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Gelgel (Klungkung), Kepaon, Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman (Buleleng) dan Loloan (Jembrana).

Masuknya Islam pertama kali di pusat pemerintahan Bali pada abad ke XIV itu melalui para pengiring raja dari kerajaan Majapahit.

Sebanyak 40 orang pengawal yang beragama Islam diijinkan menetap di Bali tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit.

Ke-40 pengawal yang beragama Islam itu hanya bertindak sebagai abdi dalem kerajaan Gelgel menempati satu permukiman dan membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang merupakan tempat ibadan umat Islam tertua di Bali

Tidak ada komentar: