Kamis, 23 Oktober 2008

Obama, Timur Tengah, dan Islam

Obama, Timur Tengah, dan Islam

Muhammad Zulifan
Peneliti Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia


Pemilu AS tinggal menunggu hari. Tepat pada 4 November nanti dunia akan menyaksikan perhelatan yang menentukan kepemimpinan negara yang kini tengah sekarat akibat akumulasi sistem ribawi.

Tentu, wajah dunia empat tahun ke depan setidaknya sedikit banyak akan dipengaruhi oleh hasil pemilihan ini. Sementara itu, gempuran media internasional yang begitu gencar menyoroti Obama menjadikan umat Islam lalai akan sebuah isu penting, visi Obama bagi dunia Islam khususnya di Timur Tengah.

Sosok Obama yang dianggap sebagai tokoh revolusioner dengan mendobrak tradisi White Anglo-Saxon Protestan (WASP) kini dipercaya akan membawa banyak perubahan dengan slogannya Change, We Can Believe in! Namun, benarkah demikian?

Pertama, rencana Obama melakukan penarikan pasukan AS sepenuhnya dari wilayah Irak paling lambat 18 bulan setelah ia menjabat. Sekilas kalimat ini membawa angin segar pada dunia Islam. Namun, sebenarnya tak seindah kedengarannya.

Sejak invasi AS di Irak berakhir tahun 2003, secara bertahap AS telah menarik pasukannya dari wilayah perang di Irak. AS terjegal dengan Konvensi Jenewa yang melarang setiap negara penginvasi memiliki kepentingan jangka panjang di wilayah invasinya. Namun, konvensi tinggallah konvensi. Bagi AS hal itu tidak berlaku.

Dengan dalih instabilitas di Irak , AS mempertahankan pasukannya. Selanjutnya, penguasaan terhadap minyak bumi lengkap dengan infrastrukturnya seperti kilang dan jalur pipa menjadi hal yang wajib bagi Bush untuk mengembalikan kepercayaan publik AS terhadap invasinya di Irak.

Setelah invasi berakhir, sesuai ketentuan PBB yang terlebih dahulu diinvasi AS, harus dilaksanakan proyek rekonstruksi pascaperang. Hebatnya, hampir seluruh tender rekonstruksi itu dimenangi oleh perusahaan asal AS, seperti Halliburton, Shevron, dan Blackwater.

Seluruh proyek dari pembangunan dan pengelolaan minyak sampai dengan proyek penyediaan air bersih disikat oleh perusahaan asal AS. Kelihatannya AS memang mematuhi aturan PBB dan konvensi Jenewa untuk tidak memiliki kepentingan jangka panjang di Irak dengan jalan menempatkan pihak swasta. Namun, sebenarnya perusahaan-perusahaan asal AS itu sebagai 'proxy' Pemerintah AS.

Keuntungan hasil rekonstruksi akan masuk ke kas negara sebagai tebusan anggaran yang terkuras selama invasi. Jadi, rencana Obama untuk menarik pasukan AS dari Irak tidak ada implikasi positifnya bagi dunia Islam. Hal itu hanya formalitas di depan tuntutan dunia internasional.

Pada hakikatnya cakar-cakar kekuasaan AS sudah ada di Irak. Sebuah catatan bahwa kondisi keamanan di Irak yang masih tidak stabil tidak akan memengaruhi rencana penarikan pasukan. Ini karena keamanan yang sejati bagi AS ada pada wilayah perusahaan-perusahaan minyak mereka berikut jalur distribusinya.

Adapun wilayah tersebut berada jauh dari pusat konflik di Irak Tengah, seperti Provinsi Al-Anbar. Wilayah tersebut justru berada di selatan dan Utara Irak. Seharusnya, rencana Obama di Irak bukan hanya penarikan pasukan, tapi juga pengembalian aset ekonomi.

Kedua, rencana Obama menggelar pasukan tempur yang lebih intensif di Afghanistan. Obama menganggap invasi AS ke Irak adalah sebuah kekeliruan dalam rangka perang terhadap terorisme. Menurutnya, AS lebih memfokuskan terhadap pengejaran Osama bin Ladin yang berlindung di belakang kekuasaan Taliban di Afghanistan.

Sesungguhnya apa yang dijalankan Obama merupakan ancaman besar bagi dunia Islam ke depan. Obama akan membuka front yang lebih masif di kawasan Asia Tengah yang saat ini sedang rawan.

Memang Afghanistan adalah negara yang sangat strategis untuk menjaga aset ekonomi AS. Penguasaan atas Afghanistan diharapkan akan mengeliminasi kekuatan Iran di sebelah utara berikut Pakistan di timur, dua negara Muslim yang memiliki geliat pergerakan Islam yang sangat progresif.

Perlu diingat, ada dua poros perlawanan jihad di dunia ini, satu Hisbullah sebagai representasi Syiah dan yang kedua mujahid Afghan sebagai representasi Sunni. Keduanya sampai kini belum bisa AS tundukkan. Lebih jauh lagi, pejuang Afghan ini yang selalu intensif dalam melakukan kederisasi mujahid internasional.

Afghanistan adalah episentrum gerakan jihad Sunni. Satu hal yang tidak boleh dilupakan umat Islam adalah bahwa mereka yang bisa mengirimkan tentara jihad ke Pattani, Moro, Kashmir, dan negara lain di mana umat Islam yang minoritas tertindas. Dari sini telah tampak bahwa Obama lebih cerdas dari Bush. Ia selangkah lebih maju dengan mengonsentrasikan perlawanan pada pembumihangusan akar perlawanan jihad internasional, Afghanistan. Benar-benar skenario yang mengerikan.

Kita tidak perlu berharap banyak pada sosok Obama, apalagi euforia menjadi Obama fans club, seperti kebanyakan masyarakat Indonesia. Tak peduli ia pernah sekolah di Menteng, punya ayah tiri Muslim Indonesia dan isu positif lainnya. Semua itu tidak berpengaruh. Siapa pun capres AS, tak akan lepas dari kepentingan Zionis yang telah mencengkeram AS begitu kuat. Selamanya, Yahudi tak akan rida dengan Islam.

Maka, jika ditanya siapa Presiden AS yang paling baik, jawabannya tidak ada, kecuali Kennedy yang tewas sebelum berbuat banyak hal.

Tidak ada komentar: