Minggu, 26 Oktober 2008

Sejuta Tantangan bagi Aswaja

Sejuta Tantangan bagi Aswaja

Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia dan Centre for Moderate Muslim kembali menggelar seminar tajdid pemikiran Islam. Delapan cendekiawan Muslim dari kedua negara memaparkan pandangannya dalam perhelatan dua hari yang mengambil tema “Pengekalan Alam Melayu sebagai Rantau Ahli Sunah Wal Jamaah” ini. Peserta seminar adalah para akademisi dan perwakilan ormas Islam dari kedua negara. Berikut ini laporannya untuk Anda.

“Bila ada sensus tentang jumlah suni di Melayu, khususnya Indonesia, bisa jadi jumlahnya sudah makin merosot. Sangat jauh berkurang,” kata Ketua Persatuan Tarbiyah Islamiyah Indonesia, Dr H Mohammad Baharun SH MH. Ia mengungkapkannya usai pemakalah Prof Dr Nasarudin Umar menyampaikan pandangannya tentang perlunya pembaharuan pemikiran dalam tubuh ahli sunah wal jamaah (aswaja).

Di Indonesia, kata dia, akidah ahli sunah wal jamaah saat ini mengalami penggerogotan yang sangat destruktif pasca reformasi. Selain munculnya paham-paham yang menyimpang, ada juga upaya-upaya pendangkalan dari dalam intern umat Islam. “Misalnya muncul pemikiran-pemikiran liberal, misalnya perlunya tafsir ulang Alquran dan isu-isu gender yang mendiskreditkan Islam, sehingga umat dibuat ragu dengan ajaran agamanya,” ujarnya.

Salah satu sebabnya, kata dia, tidak ada terobosan-terobosan baru dalam dakwahnya. Dalam ranah ini, ia menyebut pendidikan aswaja boleh dianggap tidak berhasil, untuk tidak menyebut gagal. “Umat tidak paham dengan agamanya. Mereka yang paham, kebanyakan tidak bisa cukup mampu mengidentifikasi mana perbedaan prinsipil dan mana yang insidentil,” ujarnya. Salah satu buktinya, umat Islam di tingkat akar rumput masih kerap terlibat pada gontok-gontokan tak berujung pada hal-hal yang sifatnya furuiyah.

Menurut Baharun, inilah pkerjaan rumah yang besar bagi para cendekiawan Muslim, yaitu agar umat Islam bersikap dinamis dan mampu mengikuti perkembangan zaman. “Jangan bawa umat Islam ke lorong buntu,” ujarnya.

Saatnya umat Islam membuka pikirannya pada ijtihad-ijtihad baru. “Sejauh pandangan-pandangan baru itu masih berlandaskan pada Alquran dan sunah, tidak semestinya kita menolak dan menutup telinga,” ujar Ketua Yayasan Dakwah Islamiyah Malaysia, Datuk Haji Mohd Nakhaie bin Haji Ahmad.

Ia menyitir salah satu pendirian Imam Syafi'i yang masih relevan hingga saat ini terkait hal itu: “Pendapatku adalah benar, tetapi berkemungkinan salah dan pendapat orang lain daripadaku adalah salah tetapi berkemungkinan benar.”

Seorang cendekiawan Muslim, kata dia, mengemban amanah untuk melakukan itjihad atau terobosan yang bisa mencerahkan umat. Namun, kata dia, dalam menyebarkannya, apalagi masih merupakan pandangan pribadi, kepada masyarakat harus berhati-hati dan dalam bingkai melakukan perubahan yang positif dan masih dalam koridor syar'i. “Pandangan individu yang dipaksakan pada masyarakat awam secara terbuka hampir pasti menyebabkan perpecahan,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan Prof Dr Abdul Aziz Dahlan, guru besar Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurut dia, persoalan-persoalan yang mengundang keberanekaragaman paham tak perlu dibawa dan disuarakan di masjid dan tak perlu didengar oleh khalayak ramai yang awam karena lebih banyak mengundang mudharat daripada manfaat. “Diingatkan oleh Imam Ghazali, bahwa perbedaan-perbedaan paham di kalangan ahli sunah tidak membawa mereka pada kekufuran,” ujarnya.

Pendapat ini perlu ditegaskan, kata dia, agar kita jangan gampang terperosok dalam praktik pengkufuran atau menuding pihak lain sebagai kaum yang sesat. “Kita harus mampu memahami secara akurat akidah yang berbeda dengan akidah kita dan dengan tulus menghargai adanya perbedaan,” ujarnya.

Sikap hati-hati dan akurat, menurut Abdul Aziz, juga sangat penting untuk memahami dan menilai akidah kita. “ Salah satunya adalah untuk memantapkan pemahaman kita terutama tentang mana akidah yang pokok dalam Islam dan mana yang tidak pokok,” tambahnya. Sehingga antaraliran dalam aswaja tidak berlarut-larut dalam perdebatan yang tidak pokok atau persoalan khilafiyah semata.

Direktur Center for Moderate Muslim Prof Dr Tarmizi Taher berbagi resep mengenai salah satu cara memperkuat akidah umat adalah dengan meningkatkan pendidikan dan meningkatkan taraf hidup umat. Sekilas, memang terlihat tidak nyambung. “Namun mereka yang tingkat pendidikannya rendah dan miskin sangat mudah untuk dibelokkan akidahnya,” ujarnya.

Dakwah, kata dia, bukan hanya kegiatan “jual omongan” saja. Sudah saatnya dakwah dilakukan melalui karya nyata untuk meningkatkan martabat umat dengan menerobos kebuntuan pemikiran, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan pendidikan.mr-republika

Tidak ada komentar: