Minggu, 26 Oktober 2008

Politik Luar Negeri Indonesia dan Pengaruh Amerika

Politik Luar Negeri Indonesia dan Pengaruh Amerika

Shofwan Al-Banna Choiruzzad
Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Kyoto-Shiga, Kandidat Master Hubungan Internasional Ritsumeikan University, Kyoto

Ada dua pemilihan presiden yang saat ini menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Selain berita tentang persiapan-persiapan partai politik (parpol) dan serba-serbi para kandidat yang berlaga untuk menjadi RI-1 pada pemilu 2009, publik juga cukup memberikan perhatian pada hiruk-pikuk pemilihan presiden di negara adidaya Amerika Serikat.

Sebagai kekuatan adidaya dengan pengaruh global, tentu saja siapa yang kelak terpilih sebagai presiden AS dan arah kebijakannya akan berpengaruh pada Indonesia. Hal ini tidak dapat dihindari karena lingkungan strategis di kawasan Asia (atau secara khusus Asia Tenggara) merupakan kawasan yang cukup penting bagi AS, baik secara ekonomi maupun geopolitik. Dengan demikian, para kandidat presiden Indonesia haruslah orang yang memiliki visi politik luar negeri yang cerdas dalam memahami dinamika global, termasuk dampak suksesi kepemimpinan di Washington.

Antusiasme Obama
Di Indonesia jelas Barack 'Si Anak Menteng' Obama jauh lebih populer daripada McCain. Selain karena menjanjikan perubahan kebijakan luar negeri, Obama juga tampil menjadi simbol perlawanan. Jika terpilih, maka ia akan menjadi presiden berkulit hitam pertama yang menghuni Gedung Putih. Beberapa buku bahkan terbit dan memberikan pandangan yang sangat positif terhadap kemungkinan Obama menjadi presiden AS.

Antusiasme di Indonesia bukanlah sebuah anomali. Obama juga populer di berbagai belahan dunia, terutama Eropa dan Jepang. Di Jepang, saya bahkan sempat berkunjung ke kota Obama yang kemudian menjadikan Obama sebagai maskot kota tersebut. Namun, apakah antusiasme ini akan terjawab jika Obama terpilih pada 4 November kelak? Sepertinya kita masih harus berhati-hati.

Tentu saja tidak akan banyak perubahan jika McCain, yang disebut Obama sebagai perpanjangan rezim Bush, menang. Namun, ternyata Obama juga tidak menjamin lahirnya AS yang lebih manusiawi. Meskipun Obama menjanjikan perubahan, sampai hari ini perubahan yang dijanjikan belum jelas. Memang Obama menjanjikan menarik tentara dari Irak, tetapi ia juga menegaskan dukungan penuh terhadap Israel dan menolak bernegosiasi dengan Hamas yang disebutnya teroris.

Sikap ini akan menghambat proses perdamaian di Timur Tengah dan meneruskan kebencian masyarakat Arab terhadap keberpihakan AS yang menjadikan Israel sebagai anak emas. Apalagi, persatuan antara kepentingan militer dan industri yang mendominasi elite AS membuat kebijakan agresifnya masih sulit untuk diubah. Jika kita melihat sejarah, sebenarnya peralihan kepemimpinan dari Republik ke Demokrat tidak berpengaruh terlalu besar pada kebijakan luar negerinya. Maka, agak berlebihan jika kita berharap bahwa setelah digantikannya Bush, kecenderungan unilateral dan agresifnya akan bisa dihilangkan.

Jauh sebelum kepemimpinan Bush, AS telah lama menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak di dunia. Pada 1997 sebuah konferensi di Universitas Harvard yang mempelajari persepsi kelompok elite di Cina, Rusia, India, dan dunia Islam melihat AS sebagai ancaman eksternal terbesar bagi masyarakat mereka. Tentu saja ini menunjukkan bahwa kebijakan presiden AS dari Demokrat maupun Republik masih cenderung agresif (meskipun Republik lebih terbuka) sehingga membuat negara-negara lain merasa terancam.

Gravitasi yang berubah
Hal lain yang harus diperhatikan adalah perubahan arah gravitasi dalam politik global. Pada akhir 1990-an, Bank Dunia dan OECD telah memprediksikan bahwa pada dekade kedua milenium ketiga, Cina akan menjelma sebagai ekonomi terbesar dunia. AS pun tidak memungkiri pergeseran ini. Tren global 2015 yang dipublikasikan oleh badan intelijen AS, CIA, meramalkan bahwa Asia akan menjadi wilayah yang paling cepat tumbuh di dunia. Prediksi Bank Dunia dan OECD itu kini terdengar terlalu bombastis jika kita melihat kemunculan berbagai masalah di Cina yang memperlambat laju kemajuan ekonominya, setidaknya pergeseran itu masih tetap terbukti adanya.

Di tengah resesi global terbesar sejak 'Depresi Besar' menjelang Perang Dunia II yang menghancurkan ekonomi AS dan Eropa, Cina disebut-sebut memiliki kunci menenangkan badai (International Herald Tribune, 9/10). Perdana Menteri Wen Jiabao bahkan menawarkan bantuan pada AS untuk menjaga dolar. Tentu saja, ini memperlihatkan bahwa negara adidaya itu sekarang membutuhkan bantuan negara lain.

Tidak hanya Cina, tentu saja kita harus melihat India, Iran, dan Rusia. Bersama Cina, India adalah ekonomi yang tumbuh sangat pesat dan dilihat sebagai motor pertumbuhan Asia. Iran di tengah embargo dari negara-negara maju, ternyata mampu membuktikan diri sebagai bangsa yang berdaulat dan berdiri sendiri dengan menunjukkan diri berada di jajaran negara-negara yang meluncurkan satelit ke luar angkasa. Rusia dalam komando Putin kini mulai berani melakukan perang urat syaraf pada AS. Negara-negara Timur Tengah dengan aset berupa minyak bumi yang akan semakin penting di masa depan juga harus diperhatikan.

Bebas, aktif, dan cerdas
Untuk menentukan pilihan pada pemilihan presiden 2009, perhatikan kebijakan luar negerinya. Kebijakan luar negeri yang salah akan menjerumuskan Indonesia pada kondisi ekonomi yang buruk. Ketergantungan pada investasi dan uang panas dari AS akan membuat Indonesia rentan terkena dampak negatifnya, sebagaimana terlihat pada beberapa hari belakangan ini. Apalagi, Pemerintahan AS yang baru juga belum tentu lebih kooperatif dan bijaksana dalam politik luar negerinya.

Agaknya, pergeseran peta politik global juga harus diperhatikan. Calon presiden yang bijak adalah mereka yang memiliki visi lebih cerdas daripada sekadar menggantungkan diri pada AS atau Eropa. Orientasi kebijakan luar negeri yang tidak menaruh telur di satu keranjang adalah pilihan wajib. Prinsip bebas-aktif yang menjadi landasan politik luar negeri kita harus diterapkan dengan cerdas. Barangkali, kita harus mengikuti apa yang pernah diucapkan oleh Mahathir Muhammad: ''Lihatlah ke Timur''.

Pemahaman dalam isu-isu nasional tidak cukup. Mari kita pasang mata dan telinga untuk melihat seberapa baik para kandidat memahami perubahan global ini. Ini karena nasib Indonesia juga sangat terpengaruh oleh dinamika tersebut.

Tidak ada komentar: