Kamis, 30 Oktober 2008

ORANG BETAWI DAN TRADISI ISLAMI

Blog EntryORANG BETAWI DAN TRADISI ISLAMI

KISAH PARA ULAMA BETAWI

Melaksanakan ibadah haji saat ini -- dengan pesawat udara -- hanya perlu waktu 10 jam. Tidak demikian ketika perjalanan masih menggunakan kapal layar. Perlu waktu berbulan-bulan, mungkin lebih setahun, dengan berbagai resiko selama pelayaran.

Dalam suasana demikian, sejak abad ke-18 orang Betawi banyak yang pergi ke kota suci Mekah. Mereka menjalankan ibadah haji. Karena perjalanan yang begitu sulit, setelah menunaikan rukun Islam ke-5, banyak yang tidak kembali ke tanah air dan bermukim di Mekah.

Mereka yang bermukim di sana menggunakan Al Batawi sebagai nama keluarga. Menjadi kebiasaan para pemukim ketika itu menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Misalnya, Syech Abdul Somad al Falimbani dari Palembang, Syech Arsyad Albanjari dari Banjarmasin, Syech Basuni Imran al Sambasi dari Sambas, dan Syech Nawawi al Bantani dari Banten.

Masih dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syech Junaid, seorang ulama Betawi, mulai bermukim di Mekah. Ia pun memakai nama al-Betawi. Ia amat termashur karena menjadi imam di Masjidil Haram. Syech Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama mashab Syafi'ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syech kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, ini.

Syech Junaid mempunyai dua orang putera dan dua orang puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syech Junaid As'ad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam usia 100 tahun.

Di antara murid Syeh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di dunia Islam adalah Syech Nawawi al Bantani, keturunan pendiri kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul Syech Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syech Junaid.

Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syech Junaid. Pasangan ini menurunkan guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujitaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syech Nawawi al Bantani dan Syech Ahmad Khatib al Minangkabawi.

Sedangkan putera almarhum guru Marzuki, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya.

Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia, seperti KH Abdullah Syafi'ie dari perguruan Assyafiiyah dan KH Tohir Rohili dari perguruan Tohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua perguruan Islam (Assyafiiyah dan Tahiriah) itu kini berkembamng pesat sekali. Keduanya memiliki sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi.

KH Abdullah Sjafi'ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinuya menangani 63 lembaga pendidikan Islam. Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, kini merupakan masjid yang megah.

Mushola bekas kandang sapi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Ak-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafi'ie -- perguruannya menghasilkan ribuan orang -- diantara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia.

KH Abdullah Syafi'ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Dalam diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an. Toh beliau mampu menjadikan diri sebagai model kombinasi yang menarik itu.

Kalau KH Abdullah Sjafii pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai Masyumi. Maka, rekan seangkatannya, KH Tohir Rohili selama dua periode pernah menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Seperti juga KH Abdullah Syafiie, ia mulai berdakwah keliling Jakarta dengan bersepeda. Tiap Ahad pagi, di majelisnya yang juga merupakan kediamannya, diadakan pengajian, yang jamaahnya cukup banyak.

Ulama Betawi, angkatan KH Abdullah Syafii dan KH Tohir Rohili, yakni Mualim Rojiun, KH Nur Ali, Bekasi, sangat ditakuti oleh Belanda karena keberaniannya di front depan Bekas -- Karawang -- Purwakarta. KH Zayadi dari Klender, Mualim Tabrani, Paseban, dan sejumlah kyai lainnya.

Ulama Betawi sesudah angkatan ini adalah KH Syafii Al Hazami, mantan ketua MUI Jakarta Raya, yang memiliki belasan perguruan Islam di Ibukota. Kemudian KH Abdurahman Nawi, yang kini memiliki tiga buah pesantren yang kesemuanya bernama Al-Awwabin, di Tebet, Depok I, dan Tugu (Sawawangan Depok). Tiga pesantrennya itu memiliki ribuan santri sejak tingkat TK sampai SLTA.

Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga pesantren -- sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok -- KH Abdul Rasyid AS, putera almarhum KH Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di Pulau Air, Sukabumi. Di sini dia telah menghasilkan santri-santri yang memperdalam Alquran. Termasuk belasan orang yang telah menjadi penghafal (hafidz).

Sementara, kakaknya, Hj Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan Perguruan dan Universitas Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH Abdurahman Nawi sendiri merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii. KH Abdul Rasyid kini juga tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam KH Abdullah Sjafii dan rumah sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28 hektar.

Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Alhabsyi, putera Habib Muhammad Alhabsji dan cucu Habib Ali Kwitang. Pada awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid wanita ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para ulama Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya.

Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti Betawi. Hampir bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas. Dia bersama Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar kepadanya. Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Alhazami. Yang belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat. Wakil Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama kepadanya.

Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan penulis produktif adalah KH Ali Alhamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab dan buku, seperti Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH Ali Alhamidy setiap minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan para khotib di masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi di Sumatera. Termasuk masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental kearah Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena kedekatannya dengan Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa mengijinkan ia menulis naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara.

Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu dianggap tabu. Perjuanjgannya kemudiann diteruskan oleh puteranya, Habib Idrus Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo alim ulama Betawi ke DPR menolak SDSB.

Keluarga Jamalullain termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang ini juga dari keluiarga Jamalulail.

Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC. Terlepas ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari segi kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak menjadi jurudakwah yang handal. Mereka telah memelopori berdirinya surau-surau di Jakarta -- yang kini menjadi masjid -- seperti Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717.

Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir tahun 1875. Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al Betawi. Pada masa remaja dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia berguru pada sejumlah ulama Mekah, seperti Syech Mujitaba bin Ahmad Al Betawi. Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir dalam majelis taklim Habib Usman, pengarang kitab Sifat Duapuluh. Guru Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori penggbunaan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri serta Idul Adha di Jakarta. Dia juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang dari 19 kitab karangannya.

Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri.

Kanak-kanak yang mendengar beduk bergembira, lalu belarian ke jalan raya sambil bernyanyi. Tetapi banyak juga orang yang tidak mendengar pemberitahuan melalui beduk. Akibatnya, seringkali lebaran dirayakan dalam waktu berbeda. Guru Mansyur memahami hal ini. Karena itu, ia memperdalam ilmu falak. Setiap menjelang lebaran Guru Mansyur mengumumkan berdasarkan perhitungan ilmu hisab.

Dalam adat Betawi, guru dipandang orang yang sangat alim dan tinggi ilmunya. Ia menguasai kitab-kitab agama dan menguasai secara khusus keilmuan tertentu. Di atas guru ada dato'. Dia menguasai ilmu kejiwaan yang dalam. Di bawah guru ada mualim. Di bawah mualim adalah ustadz, pengajar pemula agama. Di bawah ustadz ada guru ngaji, yang mengajar anak-anak untuk mengenalk huruf Arab.


MUFTI BETAWI DARI PEKOJAN

Mufti, menurut Ensiklopedi Islam (Departemen Agama RI) adalah orang yang mengeluarkan fatwa sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan umat sehubungan dengan hukum Islam. Sejak MUI berdiri (1975), fatwa-fatwa yang dihasilkan dan disebarluaskan kepada umat Islam di Indonesia adalah ijtihad para ulama di lembaga tersebut. Untuk itu MUI memiliki Komisi Fatwa.

Pada pertengahan abad ke-19, Jakarta memiliki seorang mufti. Mufti yang banyak dikenal masyarakat kala itu bernama Habib Usman Bin Abdullah Bin Yahya. Habib kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, ini jadi mufti menggantikan Syekh Abdul Ghani. Ia diangkat jadi mufti setelah berkelana selama 22 tahun menimba ilmu di sekitar 13-14 negara dengan ulama-ulama ternama. Ia kembali ke Betawi pada 1279 H bulan Rabiul Awal.

Ulama kelahiran kampung Arab (Pekojan) Jakarta Barat ini kemudian menetap di Petamburan, Jakarta Pusat. Di sana Habib Usman telah mengarang dan menyusun kitab, terutama mengenai 'amalil yaum (amal amal harian) dan kitab-kitab yang berisi hal-hal yang mungkar, musyrik, syirik dan hal-hal yang bertentangan dengan akidah /ahlus sunnah wal jamaah.

Sebagai seorang mufti, Habib Usman sangat produktif menulis kitab-kitab yang menyangkut berbagai masalah agama. Menurut salah seorang cicitnya, MA Alaydrus (73), ia menulis tidak kurang dari 116 kitab, baik tebal maupun tipis. Kitabnya dalam huruf 'Arab gundul' masih dapat kita saksikan di Gedung Arsip Nasional, Salemba, Jakarta Pusat. Sifat Doe Poeloeh dan Irsyadul Anam adalah dua diantara sekian banyak kitab karangannya yang masih menjadi bacaan di majelis-majelis taklim tradisional.

Ayah Habib Usman adalah Habib Abdullah bin Agil bin Yahya, menantu seorang ulama Mesir yang bermukim di Pekojan, Syekh Abdurahman bin Ahmad Al-Misri. Ulama asal Mesir ini memiliki dua puteri, Aminah yang menikah dengan ayah Habib Usman, dan Fatmah yang menikah dengan Habib Muhammad Bahahsan. Ketika Habib Usman berusia 3 tahun, ayahnya kembali ke Mekah. Ia diasuh dan belajar agama pada kakeknya, ulama Mesir.

Pada usia 18 tahun ia menyusul ayahnya ke Mekah dan belajar ilmu agama dari sejumlah ulama di tanah suci. Di antara gurunya adalah Sayid Ahmad Zaini Dahlan yang buku-bukunya hingga kini banyak diajarkan di berbagai pesantren. Tujuh tahun di Mekah, Habib Usman kemudian belajar ke Hadramaut.
Di sini selama beberapa tahun ia belajar pada para ulama setempat. Kemudian ia kembali ke Mekah dan terus ke Medinah. Antara lain, ia menuntut ilmu pada Syekh Muhammad Al-Azab -- pengarang kitab Maulid Azab yang banyak di bacakan pada acara-acara maulid di Indonesia.

Sebagai pemuda yang selalu haus akan ilmu, ia kemudian belajar ke Mesir dan sempat menikah dengan wanita negara piramida itu.
Kemudian ke Tunisia. Di sini ia sering bertukar pikiran dengan Mufti Tunis. Dari Tunis ia menuntut ilmu pada ulama terkemuka Aljazair, yang kala itu jadi jajahan Prancis. Terus ke Maroko dan berbagai negara Magribi.

Di negara-negara Afrika Utara itu ia memperdalam ilmu syariah. Kemudian meneruskan perantauannya ke Siria menemui para ulama di negara tersebut, sebelum meneruskan perjalanannya ke Turki, yang masih berbentuk kesultanan. Terus ke Baitul Maqdis di Yerusalem, dan kembali ke Mekah. Pada 1279 H ia kembali ke Batavia setelah menimba ilmu selama 22 tahun. Ia diangkat sebagai mufti Betawi 1289 H.

Sebagai pengarang yang menerbitkan lebih dari 100 kitab, Habib Usman mendirikan sendiri percetakan, yang dikenal dengan percetakan batu, karena klise/negatifnya masih dibuat dengan batu. Hasil dari usaha percetakannya itu untuk hidupnya sehari-hari bersama keluarga. Di majelis taklimnya berdatangan masyarakat dari segala penjuru Jakarta dan sekitarnya, termasuk para ulama. Diantara muridnya adalah Habib Ali Alhabsyi, pendiri majelis taklim Kwitang yang hingga kini masih beraktivitas, diteruskan cucunya, Habib Abdurahman.

Mufti Betawi ini meninggal pada 21 Shafar (1913 M) dalam usia lebih dari 93 tahun. Sebelum meninggal ia berwasiat: jangan dimakamkan di pemakaman khusus (tersendiri). Ia meminta dimakamkan di pemakaman umum Karet, Tanah Abang. Pada masa gubernur Ali Sadikin, tahun 1970-an, TPU Karet dibongkar dan dijadikan ruko serta perguruan Islam. Habib Usman juga berpesan agar jangan diadakan haul khusus untuk dirinya, kecuali membacakan doa dan fatihah. Habib Usman sangat mencela kepercayaan tahayul, pemakaian jimat, dan segala sesuatu yang berbau mistik.

Sebagai mufti, banyak pihak yang mengkritik kedekatan Habib Usman dengan orientalis Belanda, Snouck Hurgronye. Mr Hamid Algadri dalam bukunya, Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunanm Arab, menulis bahwa kedekatannya dengan Snouck karena keyakinannya bahwa Snouck adalah seorang Muslim secara lahiriyah maupun batiniah. Ia tidak tahu bahwa Snouck hanya berpura-pura masuk Islam.

Snouk sendiri sempat mengawini wanita Muslimah sesuai dengan hukum-hukum Islam. Salah satu perkawinan itu, tulis Algadri, dengan Siti Saadiyah, putri wakil kepala penghulu. Tidak mungkin ia mengawinkan putrinya bila tidak yakin benar bahwa Snouk seorang Islam secara lahiriyah dan rohaniah. Dalam tipu dayanya dengan mengaku seorang Muslim, Snouck telah tinggal beberapa lama di Mekah, yang tidak boleh dimasuki oleh non-Muslim.


JALAN PANJANG MAJELIS TAKLIM KWITANG

Membludaknya kaum Muslimin yang mendatangi Majelis Taklim Kwitang ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh pendirinya, Habib Ali bin Abdurahman Alhabsyi. Habib kelahiran Kwitang ini meninggal 20 April 1968 pada usia 98 tahun. Dia dimakamkan di samping Masjid Al Riyad, Kwitang, masjid yang dibangunnya sekitar 80 tahun lalu. Sebelumnya, masjid tersebut hanya sebuah mushala, yang dibangun pada 1.869 atau 138 tahun lalu.

Ayah Habib Ali adalah Habib Abdurahman Alhabsji, kelahiran Semarang, yang menikah dengan seorang wanita pribumi -- putri seorang kiai dari Jatinegara, Jaktim. Habib Abdurahman adalah saudara misan pelukis terkenal Raden Saleh Syarif Bustaman. Ia dimakamkan di Cikini, Jakpus, dekat TIM yang kala itu merupakan bagian dari kediaman Raden Saleh.

Ketika ayahnya meninggal, Habib Ali masih berusia belasan tahun. Dia kemudian dibesarkan oleh ibunya, Nyai Salmah, seorang Muslimat yang taat. Sesuai pesan almarhum suaminya, Muslimat yang memiliki cita-cita besar ini, menyekolahkan putranya ke Hadramaut (Republik Yaman).
Selama lima tahun (1881-1886) Habib Ali berguru pada sejumlah tokoh alim ulama setempat. Sebagai pemuda yang haus akan ilmu, Habib Ali yang masih remaja juga menempuh pendidikan di Kota Suci Makkah. Sekembalinya ke Betawi, sekitar 121 tahun lalu, dia belajar pada Habib Usman bin Yahya, seorang ulama dam penulis lebih dari 20 kitab kuning. Sejumlah kitab karangannya sampai kini masih digunakan di pengajian-pengajian tradisional di Jakarta dan Jabar.

Di Masjid Pekojan -- tempat Habib Usman mengajar -- dia berpidato mengutuk kebiadaban Pemerintah Italia yang membantai para pejuang Muslim pimpinan Omar Mukhtar. Peristiwa ini telah difilmkan oleh Hollywood dengan judul 'Lion of the Desert' (Singa Padang Pasir) yang diperankan oleh Anthony Quinn sebagai Omar Mokhtar.

Peristiwa yang meminta banyak korban para pejuang Libya saat melawan Italia itu dikutuk keras kaum Muslimin di Jakarta. Habib Ali yang masih berusia 30 tahunan ikut mengutuk peristiwa yang terjadi 85 tahun lalu. Sejumlah tokoh Syarikat Islam seperti HOS Tjokroaminoto dan KH Agus Salim kemudian memelopori pemboikotan produk-produk Italia.

Setelah menjadi mubaligh, sambil berdakwah di berbagai tempat Habib Ali juga menjual kain di Pasar Tanah Abang. Ketika itu, banyak orang Betawi yang lebih senang jika anaknya mengaji, karena sekolah-sekolah umum Belanda menanamkan pelajaran Kristen. Menyusul berdirinya perguruan Islam modern pertama Jamiatul Kheir di Pekojan (1905), ia lalu mendirikan perguruan Islam Unwanul Falah di Kwitang (sampimng Masjid Kwitang). Unwanul Falah sekolah Islam dengan sistem kelas. Di samping pendidikan agama juga diajarkan pengetahuan umum. Didekatnya, dia juga membangun sekolah khusus untuk wanita, juga dengan sistem kelas seperti di sekolah-sekolah umum.

Di sinilah para murid belajar, yang kemudian menjadi mubaligh andal. Di antara mereka adalah KH Abdullah Syafi'ie, pemimpin Perguruan Islam Assyafiyah dan KH Tohir Rohili, pemimpin perguruan Attahiriyah. Selain itu, juga ada KH Syafei Al-Hazami, yang memimpin belasan majelis taklim di Jakarta.

Setelah Habib Ali berusia lanjut, antara murid dan guru tetap terjalin hubungan baik. Bahkan, Habib Ali mempersaudarakan putranya, Habib Muhammad, dengan KH Abdullah Syafi'ie dan KH Tohir Rohili di hadapan ribuan umat di majelis taklimnya. Setelah Habib Ali meninggal dunia, ketiga mubaligh yang telah dipersaudarakan ini masing-masing membangun majelis taklim, yang terus berlangsung hingga saat ini.

Ketika KH Abdullah Syafi'ie ingin membangun perguruan Islam, dia meminta Habib Ali ke kediamannya di Kampung Bali, Matraman, Jaksel. ''Insya Allah dari tempat ini timbul kebun surga,'' tutur Habib Ali waktu itu, mengutip hadis Nabi SAW yang menyatakan majelis taklim merupakan kebun surga.

Yang menarik, saat Pemilu 1955, Habib Ali cenderung ke partai NU dan KH Abdullah Syafi'ie menjadi juru kampanye Masyumi.
Perbedaan pendapat antara murid dan guru tidak menyebabkan hubungan mereka retak. Setelah putranya, Habib Muhammad, meninggal dunia, kini majelis taklim Kwitang ditangani generasi ketiga, Habib Abdurahman Alhabsyi.

Apa yang membuat majelis taklim tersebut bisa berumur sangat panjang? Seorang ulama yang mengarang lebih dari 20 judul buku, alm M Asad Shahab (91 tahun) menyatakan Majelis Taklim Habib Ali dapat bertahan selama lebih dari satu abad, karena inti ajaran Islam yang disuguhkannya berdasarkan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, serta akhlaqul karimah.


* Salam hormat Saya kepada Babe Alwi Shahab.

Tidak ada komentar: