Kamis, 23 Oktober 2008

Padukan Budidaya Bersawah dan Beternak

Padukan Budidaya Bersawah dan Beternak

Petak-petak sawah di Bali yang diairi dengan sistem pengairan subak

Oleh:
FRANS SARONG

Subak adalah sebuah lembaga adat khas Bali dengan fungsi khusus mengelola air untuk persawahan di Bali (Transformasi Sistem Irigasi Subak Bali Berlandaskan Tri Hita Karana, disertasi doktor Wayan Windia di UGM, 2002). Keberadaan subak merata di Bali hingga seluruh kegiatan pertanian yang didominasi persawahan pasti bersentuhan dengan subak.

Gambaran kegiatan di subak pun mirip-mirip. Sebagaimana normalnya, bentuk kegiatan adalah pengaturan air untuk menggenangi petak sawah, persemaian benih, pengolahan lahan, dan penanaman anakan padi. Lainnya, pembersihan rumput liar, pemupukan, penyemprotan obatan, teriakan khas menghalau hama burung, hingga panen dan sesekali ditandai dengan upacara adat.

Namun, ketika mengunjungi Subak Guama di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali, Senin (15/9), ada pemandangan agak berbeda. Subak Guama yang merupakan bagian wilayah tiga desa—Selanbawak, Peken, dan Batannyuh—didukung lahan sawah seluas 179 hektar (ha).

Saat memasuki mulut subak masih dengan pemandangan lazim. Sebut saja, misalnya, kesibukan petani bergotong royong memanen padi. Di petak seberang, sekelompok petani lain sibuk mengarungkan gabah yang telah dipisah dari biji hampa dan kotoran lainnya.

Di petak lain, Nyoman Kamur (50) bersama istrinya, Ni Ketut Sarpu, tekun menanami benih kedelai di sawahnya yang belum seminggu lepas panen padi. Pergantian tanaman kali ini sekadar mengantisipasi terjadinya kekurangan air terkait rencana perbaikan bendungan dan saluran air hingga hamparan Subak Guama.

”Kami sudah diberi tahu akan terjadi kekurangan air karena bendungan dan saluran diperbaiki. Karena itu, sawah kami untuk sementara ditanami kedelai,” kata Kamur, pemilik lahan 20 are (2.000 meter persegi) dalam Subak Guama.

Tidak jauh di bagian hilir ada bagian lahan yang diolah secara tumpangsari. Di atas lahan lebih kurang 20.000 m>sup<2>res<>res< (20 are) ditanami berbagai jenis sayuran, seperti kacang-kacangan dan terung dan lainnya. Di atas lahan yang sama juga ditanami pepaya dan jeruk.

”Lahan saya ini kalau terus dipaksakan menanam padi, hasilnya kian merosot karena tingkat kesuburan sudah berkurang jauh untuk tanaman padi. Karena itu, diganti dengan tanaman palawija pola tumpangsari. Pola ini memang terobosan baru di kawasan ini, tetapi harus dirintis dan ternyata hasilnya lumayan menggembirakan,” kata Made Mertiyasa, petani pemilik usaha itu.

Ia memberi contoh dari usaha sayuran kacang. Jika kondusif, tanaman kacang bisa 20 kali panen dalam semusim (45 hari). ”Kalau lagi rezeki, panenan dari 20 are dalam semusim bisa menghasilkan Rp 10 juta,” kata ayah empat anak dan enam cucu itu.

Pemandangan lain

Selain berbagai aktivitas standar sebagaimana di subak umumnya di Bali, di Subak Guama juga dijumpai sejumlah pemandangan berbeda, di antaranya di tengah hamparan sawah terdapat sebuah bangunan yang ternyata adalah kantor Koperasi KUAT Subak Guama. ”Kata ’KUAT’ itu singkatan dari Koperasi Usaha Agribisnis Terpadu,” ujar Agung Kumandalu, manajer koperasi itu, di Subak Guama, Senin petang.

Koperasi KUAT Subak Guama berdiri sejak tahun 2003. Bersama subak, koperasi ini, selain mengatur pengairan sawah sebagai fokus utama, juga menggeluti bidang usaha lain, di antaranya pembenihan padi, peternakan sapi dan babi, simpan pinjam, penyediaan sarana produksi pertanian (saprodi), pengolahan pupuk organik, dan sejumlah kegiatan lainnya. Termasuk di dalamnya memberikan pinjaman yang melibatkan 544 petani subak itu.

Berbagai kegiatan itu tidak hanya berupa agenda. Di halaman depan sebelah kiri kantor sejak lama terbentang lantai semen yang biasa digunakan untuk menjemur gabah. Namun, gabah yang dijemur di sana sebagaimana disaksikan pada Senin (15/9) siang khusus untuk pembenihan.

Seperti diakui Agung Kamandalu, benih padi yang dihasilkan dari Guama sekitar 200 ton per tahun. Jumlah itu selain untuk kebutuhan benih 179 ha sawah Subak Guama juga sudah menyebar luas setidaknya di Bali.

Di samping kiri kantor koperasi, sekelompok wanita sibuk mengayak material olahan menjadi pupuk organik. Bahan baku utama pupuk organik itu berasal dari kotoran ratusan sapi peliharaan petani Subak Guama. ”Ciritnya diolah menjadi pupuk padat dan urinenya menjadi pupuk cair. Semuanya bermanfaat,” kata seorang petugas rekan Agung Kamandalu.

Seperti benih padi, pupuk organik dari Guama belakangan tidak hanya untuk kebutuhan lahan sawah subak itu. ”Pasarannya sudah meluas di seluruh Bali, bahkan sudah dipajang di sejumlah pusat perbelanjaan di Denpasar,” ujarnya.

Terutama di Subak Guama, penggunaan pupuk organik yang mereka hasilkan terus didorong. Agung Kamandalu bersama Kepala Dinas Pertanian Pangan Kabupaten Tabanan I Gede Made Sukawijaya menunjuk penggunaan pupuk kimia di Guama dan Tabanan, umumnya, sudah berkurang. ”Penggunaan urea biasanya 225 kg per ha, tetapi terutama di Subak Guama sudah menurun menjadi sekitar 150 kg per ha,” kata Sukawijaya.

Pemandangan berbeda lainnya adalah keberadaan puluhan pondok di Guama. Pondok sederhana itu ternyata kandang khusus untuk pemeliharaan sekaligus penggemukan sapi dan juga babi, yang kotorannya menjadi bahan baku pupuk organik tersebut.

Seperti diakui Agung Kamandula, sedikitnya terdapat 700 sapi milik 544 keluarga petani di Guama, termasuk delapan sapi di antaranya milik koperasi. Hewan peliharaan itu semuanya diternakkan di bawah pondok khusus itu. ”Kalau peternakan babi di Subak Guama jumlahnya lebih banyak lagi, tiap keluarga petani setidaknya memelihara dua ekor,” katanya.

Petani Nyoman Kamur bersama istrinya, Ni Ketut Sarpu, di tempat terpisah mengakui, berbagai bentuk dukungan dan pendampingan melalui Koperasi KUAT Subak Guama terasa manfaatnya. Sebagai contoh ia menyebutkan, sejak kehadiran koperasi lima tahun lalu, para petani setidaknya terbebas dari kesulitan membeli saprodi untuk mengolah sawah. Itu terjadi berkat bantuan koperasi yang memberikan pinjaman saprodi kepada petani dan dibayar setelah panen.

Contoh lainnya, produktivitas areal sawah mereka pun meningkat. ”Sejak pendampingan bersama koperasi, hasil sawah kami rata rata 80-90 kg (gabah kering panen) per are (100 m2). Sebelumnya, hasilnya hanya 50-60 kg per are,” kata Nyoman Kamur.

Menyinggung keberadaan Subak Guama di Marga, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tabanan I Gede Made Sukawijaya mengakui, pemda setempat menaruh harapan besar pada subak tersebut. Katanya, Pemkab Tabanan sejak awal mendorong model usaha pertanian sebagaimana dikembangkan di Subak Guama guna mengembangkan sistem bertani secara terpadu.

”Tabanan adalah sentra produksi beras utama di Bali. Karena itu, Pemerintah Kabupaten Tabanan sangat berkepentingan membangun model usaha bertani berbentuk agrobisnis terpadu sebagaimana dikembangkan di Subak Guama,” kata Sukawijaya saat berkunjung ke subak itu, pekan kedua September.

Kabupaten Tabanan saat ini memiliki lahan sawah 22.479 ha. Keseluruhan lahan dalam pengelolaan 223 subak di kabupaten tersebut. Menurut catatan Sukawijaya, produktivitas lahan sawah di Tabanan rata rata 6,25 ton gabah kering giling per ha atau produksi beras selalu surplus, lebih kurang 50.000 ton per tahun.

Rangkuman pemandangan standar dan khas di Subak Guama adalah gambaran sebuah subak multiperan. Bersama koperasi yang kini beraset sekitar Rp 2,5 miliar, Subak Guama sekaligus menggelorakan pengembangan agrobisnis terpadu. Polanya adalah memadukan budidaya bersawah dengan beternak sapi dan aktivitas lainnya.

Atau seperti kata dosen Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Udayana Bali, Prof Dr Ir Wayan Windia, Subak Guama sebenarnya sedang mendorong pengembangan usaha bersawah yang tidak hanya menekankan aspek sosio-kultural, tetapi sekaligus aspek sosio-ekonomi. ”Model usaha yang hanya menekankan sosio-kultural terbukti sangat rentan terhadap intervensi luar. Posisi tawar petani harus diperkuat dengan bidang usaha terkait sosio-ekonominya,”

Tidak ada komentar: