HARI-HARI AKHIR BANG PITUNG
Betawi Oktober 1893. Rakyat Betawi di kampung-kampung tengah berkabung. Dari mulut ke mulut mereka mendengar si Pitung atau Bang Pitung meninggal dunia, setelah tertembak dalam pertarungan tidak seimbang dengan kompeni. Bagi warga Betawi, kematian si Pitung merupakan duka mendalam. Karena ia membela rakyat kecil yang mengalami penindasan pada masa penjajahan Belanda. Sebaliknya, bagi kompeni sebutan untuk pemerintah kolonial Belanda pada masa itu, dia dilukiskan sebagai penjahat, pengacau, perampok, dan entah apa lagi.
Jagoan kelahiran Rawa Belong, Jakarta Barat, ini telah membuat repot pemerintah kolonial di
Bagaimana Belanda tidak gelisah, dalam melakukan aksinya membela rakyat kecil Bang Pitung berdiri di barisan depan. Kala itu Belanda memberlakukan kerja paksa terhadap pribumi termasuk ‘turun tikus’. Dalam gerakan ini rakyat dikerahkan membasmi tikus di sawah-sawah disamping belasan kerja paksa lainnya. Belum lagi blasting (pajak) yang sangat memberatkan petani oleh para tuan tanah.
Si Pitung, yang sudah bertahun-tahun menjadi incaran Belanda, berdasarkan cerita rakyat, mati setelah ditembak dengan peluru emas oleh schout van Hinne dalam suatu penggerebekan karena ada yang mengkhianati dengan memberi tahu tempat persembunyiannya. Ia ditembak dengan peluru emas oleh schout (setara Kapolres) van Hinne karena dikabarkan kebal dengan peluru biasa. Begitu takutnya penjajah terhadap Bang Pitung, sampai tempat ia dimakamkan dirahasiakan. Takut jago silat yang menjadi idola rakyat kecil ini akan menjadi pujaan.
Si Pitung, berdasarkan cerita rakyat (folklore) yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil belajar mengaji di langgar (mushala) di kampung Rawa Belong. Dia, menurut istilah Betawi, ‘orang yang denger kate’. Dia juga ‘terang hati’, cakep menangkap pelajaran agama yang diberikan ustadznya, sampai mampu membaca (tilawat) Alquran. Selain belajar agama, dengan H Naipin, Pitung –seperti warga Betawi lainnya–, juga belajar ilmu silat. H Naipin, juga guru tarekat dan ahli maen pukulan.
Suatu ketika di usia remaja –sekitar 16-17 tahun, oleh ayahnya Pitung disuruh menjual kambing ke Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari kediamannya di Rawa Belong dia membawa lima ekor kambing naik gerobak. Ketika dagangannya habis dan hendak pulang, Pitung dibegal oleh beberapa penjahat pasar. Mulai saat itu, dia tidak berani pulang ke rumah. Dia tidur di langgar dan kadang-kadang di kediaman gurunya H Naipan. Ini sesuai dengan tekadnya tidak akan pulang sebelum berhasil menemukan hasil jualan kambing. Dia merasa bersalah kepada orangtuanya. Dengan tekadnya itu, dia makin memperdalam ilmu maen pukulan dan ilmu tarekat. Ilmu pukulannya bernama aliran syahbandar.
Kemudian Pitung melakukan meditasi alias tapa dengan tahapan berpuasa 40 hari. Kemudian melakukan ngumbara atau perjalanan guna menguji ilmunya. Ngumbara dilakukan ke tempat-tempat yang ‘menyeramkan’ yang pasti akan berhadapan dengan begal.
Salah satu ilmu kesaktian yang dipelajari Bang Pitung disebut Rawa Rontek. Gabungan antara tarekat Islam dan jampe-jampe Betawi. Dengan menguasai ilmu ini Bang Pitung dapat menyerap energi lawan-lawannya. Seolah-olah lawan-lawannya itu tidak melihat keberadaan Bang Pitung. Karena itu dia digambarkan seolah-olah dapat menghilang. Menurut cerita rakyat, dengan ilmu kesaktian rawa rontek-nya itu, Bang Pitung tidak boleh menikah. Karena sampai hayatnya ketika ia tewas dalam menjelang usia 40 tahun Pitung masih tetap bujangan.
Si Pitung yang mendapat sebutan ‘Robinhood’ Betawi, sekalipun tidak sama dengan ‘Robinhood’ si jago panah dari hutan Sherwood, Inggris. Akan tetapi, setidaknya keduanya memiliki sifat yang sama: Selalu ingin membantu rakyat tertindas. Meskipun dari hasil rampokan terhadap kompeni dan para tuan tanah yang menindas rakyat kecil.
Sejauh ini, tokoh legendaris si Pitung dilukiskan sebagai pahlawan yang gagah. Pemuda bertubuh kuat dan keren, sehingga menimbulkan rasa sungkan setiap orang yang berhadapan dengannya. Dalam film Si Pitung yang diperankan oleh Dicky Zulkarnaen, ia juga dilukiskan sebagai pemuda yang gagah dan bertubuh kekar. Tapi, menurut Tanu Trh dalam ‘Intisari’ melukiskan berdasarkan penuturan ibunya dari cerita kakeknya, Pitung tidak sebesar dan segagah itu. ”Perawakannya kecil. Tampang si Pitung sama sekali tidak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya kehitam-hitaman, dengan ciri yang khas sepasang cambang panjang tipis, dengan ujung melingkar ke depan.”
Menurut Tanu Trh, ketika berkunjung ke rumah kakeknya berdasarkan penuturan ibunya, Pitung pernah digerebek oleh schout van Hinne. Setelah seluruh isi rumah diperiksa ternyata petinggi polisi Belanda ini tidak menemukan si Pitung. Setelah van Hinne pergi, barulah si Pitung secara tiba-tiba muncul setelah bersembunyi di dapur. Karena belasan kali berhasil meloloskan diri dari incaran Belanda, tidak heran kalau si Pitung diyakini banyak orang memiliki ilmu menghilang. ”Yang pasti,” kata ibu, seperti dituturkan Tanu Trh, ”dengan tubuhnya yang kecil Pitung sangat pandai menyembunyikan diri dan bisa menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang-orang lain.” Sedang kalau ia dapat membuat dirinya tidak tampak di mata orang, ada yang meyakini karena ia memiliki kesaksian ‘ilmu rontek’
Noordwijk (Jl Juanda) dan Rijswijk (Jl Veteran), diapit Ciliwung, merupakan kawasan elit Eropa. Di sini terdapat istana, toko-toko penjual produk dan busana Eropa. Ada sejumlah hotel, teater, klab malam, dan tempat hiburan lainnya. Semua dengan ciri-ciri Eropa modern. Lebih-lebih saat Raffles (1811-1816), letnan jenderal Inggris, menjadikannya kawasan warga Eropa. Berdekatan dengan Noordwijk terletak Jl Pecenongan, Jakarta Pusat, yang juga banyak dihuni warga Eropa. Diantaranya, keluarga Engels, warga Belanda.
Van Engels beristri gadis Wonosobo, Jawa Tengah, saat dia bekerja di onderneming teh di kaki Gunung Dieng. Mungkin untuk mencari peruntungan yang lebih baik, keluarga van Engels penganut Katolik kemudian hijrah ke Batavia. Ia pun dapat tugas turut membangun jalan kereta api Batavia ke Jawa Timur. Dia punya dua orang gadis, Maria dan Lies van Engels.
Sebagai gadis Indo-Belanda, Maria berkulit putih, cantik dan tinggi semampai. Dia bekerja di toko penjahit di Noordwijk. Di dekat Pecenongan, terletak Gang Abu, yang banyak dihuni keturunan Arab, saat Belanda membolehkan mereka tinggal di luar kampung Arab, Pekojan, Jakarta Kota.
Seorang habib, Abdurahman Alhabsyi, putra sulung Habib Ali pendiri majelis taklim Kwitang, Jakarta Pusat, sering mendatangi kawan-kawannya di Gang Abu, melewati tempat Maria van Engels bekerja. Habib Ali lahir 1867, meninggal 1968 dalam usia 102 tahun.
Maria pun terlebih dulu menyatakan setuju menjadi Muslimah dan mengganti nama jadi Mariam. Bahkan, ibunya yang biasa disebut 'Encang', ikut bersama anak gadisnya. Konon, menjelang pernikahan mereka di kediaman Habib Ali Kwitang (kini jadi majelis taklim), tersiar isu serombongan tentara Belanda siap mendatangi kampung Kwitang untuk menggagalkannya. Namun, rupanya jamaah Kwitang tak kalah gesitnya. Sejumlah jagoan dan jawaranya, seperti Haji Sairin, Haji Saleh, dan banyak lagi, bersiap menyambut kedatangan mereka. Mereka nongkrong di Warung Andil, perempatan Jalan Kramat II (dulu Gang Adjudant) dan Kembang I. Bersenjatakan golok sambil berkerodong kain sarung, mereka siap menyambut kedatangan soldadoe Belanda yang akhirnya urung datang.
Setelah pernikahan secara Islam, Mariam jadi menantu kesayangan Habib Ali dan tinggal disamping rumah mertuanya. Ia cepat dapat bergaul dan berpartisipasi dengan masyarakat sekitar. Orang-orang kampung Kwitang menyebutnya 'Wan Enon' atau 'Ibu Enon'. Sedang cucu-cucunya memanggil 'Jidah Non'. Jidah adalah sebutan nenek dalam bahasa Arab.
Setelah berkeluarga, Jidah Non oleh suaminya diminta kesediannya untuk tidak keluar rumah selama dua tahun. Dengan maksud melatih dan mendidik sang mualaf ajaran Islam. Sejak saat itu dia tidak pernah melepaskan busana Muslim. Memakai kain dan kebaya, serta berkerudung, dan hampir tidak pernah melepaskan tasbih.
Sampai akhir hayatnya diapun berusaha untuk tidak menemui orang yang bukan muhrim. Sedang ibunya yang juga tinggal bersama menantunya, menjadi seorang ibu saleha. Bahkan ia diberangkatkan ke tanah suci.
Tante Lies pun pulang ke Nederland bersama puterinya dan tinggal di Wesp, dekat Amsterdam. Salah seorang cucunya kawin dengan pemain sepakbola Belanda, Ajax Amsterdam. Selang beberapa tahun, satu dari keponakannya beserta suami dan keluarganya, berimigran ke Houston, AS.
Memasuki kawasan Glodok setelah melewati Pancoran terletak Jalan Toko Tiga. Kita tidak tahu dinamakan demikian. Tapi ada yang menyebutkan awalnya merupakan jalan dengan tiga toko. Orang Tionghoa menyebutnya Sha Keng Tho Kho. Dahulu di Jalan Toko Tiga Glodok, terdapat sejumlah toko tembakau, yang sekarang masih dapat kita jumpai dalam jumlah tidak banyak.
Paruh pertama abad ke-19, tepatnya pada 1830'an, di kawasan Toko Tiga terdapat sebuah toko tembakau terbesar di Batavia. Pemiliknya adalah Oey Thay, yang berasal dari Pekalongan. Waktu itu dagang tembakau sangat menguntungkan. Maklum di Batavia sebagian besar warganya memakan sirih. Hingga di rumah-rumah terdapat tempat sirih dan tempolong untuk membuang ludah sirih. Oey Thay sangat dikenal dan disegani masyarakat. Ia memiliki empat anak, satu wanita yang kemudian menikah dengan putra Bupati Pekalongan. Karena kedekatannya dengan Mayor der Chinezen, ia pun diangkat sebagai Lieutnan der Chinezen, untuk kawasan Kali Besar. Kala itu, pemimpin masyarakat Tionghoa diberi pangkat tituler: Mayor, Kapten, dan Letnan.
Oey Thay meninggal dalam usia 50 tahun, meninggalkan harta warisan bejibun bagi keluarganya. Beberapa bidang tanah sangat luas di Pasar Baru, Curug, Tangerang dengan sewa 95 ribu gulden setahun. Waktu itu dengan uang 10 gulden orang sudah bisa hidup sederhana. Selain itu, ia mewariskan sejumlah rumah, uang, perhiasan yang jumlahnya melebihi dua juta gulden. Hanya beberapa gelintir orang yang dapat dihitung dengan jari yang memiliki kekayaan sebesar itu.
Tak sedikit keluarga yang menyembunyikan anak gadisnya dibalik pintu rumah tertutup dapat karena takut terlihat pria hidung belang ini.
Pesta pernikahannya disebut-sebut sebagai pernikahan terbesar yang tak ada tandingannya di Batavia. Begitu meriahnya pesta perkawinan memanggil wayang Cina, tayuban, arak-arakan, dan kembang api. Tidak tanggung-tanggung pesta ini berlangsung selama beberapa hari. Karuan saja membuat Mayor Cina Tan Eng Goang yang tinggal di jalan yang sama jadi geram. Demikian pula Dewan Cina yang merasa dilangkahi karena Oey mengadakan pesta dan menutup jalan tanpa meminta izin kepadanya.
Ternyata pesta besar dan meriah tidak menjamin kelanggengan rumah tangga suami istri ini. Hanya berlangsung beberapa minggu saja setelah perkawinan, istrinya di sia-siakan. Si tampan kembali pada kebiasaannya berfoya-foya. Ia memiliki vila di Ancol bernama Bintang Mas. Tempat ia melampiaskan hawa nafsunya. Bahkan, saat berada di Pekalongan untuk menghadiri acara keluarga, ia jatuh cinta pada seorang pesinden. Perempuan ini dibawa ke Batavia. Ketika kakak Gunjing bernama Sutedjo datang ke Batavia, Oey menjadi cemburu. Karena Guncing minta kakaknya tinggal bersama mereka dan memberikan kain batik buatannya sendiri. Oey pun memerintahkan dua orang kaki tangannya untuk menghilangkan Sutedjo.
Harta dan kekuasaan telah membutakannya. Ia menjadi pembunuh berdarah dingin. Ia juga telah menghilangkan nyawa menantu Mayor Cina yang menjadi pesaingnya dibidang bisnis. Masih banyak lagi kejahatan yang dilakukannya. Hingga akhirnya ia pun dijatuhi mati dengan cara digantung. Ketika ia naik ke tiang gantungan, Oey Tambahsia berjalan tegak dengan tangan terikat. Sang algojo kemudian menendang dingklik (tempat pijakan kaki yang dipakai berdiri). Dan terjeratlah leher Oey, terkapar dan mati dalam usia 31 tahun.
Kisah yang pernah terjadi di Jakarta tempo doeloe, Ahad (17/4), telah digelar kembali di Gedung Museum Sejarah Jakarta di Jalan Falatehan, Jakarta. Gedung ini dulunya merupakan Balaikota Batavia. Di gedung ini ditemukan penjara dan ruang pengadilan. Di gedung inilah Oey digantung dan diadili. Ratusan penonton yang ikut nimbrung acara pegelaran, seolah-olah melihat Oey Tambahsia hidup kembali. Seperti dikatakan Kepala Museum Sejarah Jakarta, kalau kali ini kami ingin menghadirkan kehidupan masayrakat Tionghoa, karena mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Batavia masa lalu. Ini merupakan pagelaran kelima dalam bentuk teater yang diselenggarakan Museum Sejarah Jakarta.
Etnis Cina di Indonesia -- terbesar di Asia Tenggara -- baru saja merayakan Imlek, dan disusul perayaan Capgomeh pada malam ke-15 Imlek. Masih banyak lagi hari raya dan pesta rakyat, yang pada tempo doeloe dirayakan bukan hanya oleh etnis Cina, tapi juga masyarakat Betawi. Seperti, Peh Cun (hari ke-100 Imlek), dan pesta Ceng Beng yang jatuh pada tanggal 5 April 2008.
Pesta Peh Cun juga dikenal dengan pesta perahu naga. Dulu -- ketika sungai-sungai di Jakarta masih lebar dan dalam -- pesta Peh Cun berlangsung sangat meriah di Kali Besar, Kali Pasir/Kwitang, Pasar Ikan, Kali Angke, dan di Sungai Cisadane Tangerang (Benteng).
Kemudian pasukan VOC yang tengah menuju Benteng (Tangerang) diserang orang-orang Cina. Pada 8 Oktober 1740 orang-orang Cina yang berada di luar kota Batavia mulai menyerang kota.
Menurut laporan kontemporer, 10 ribu orang Cina dibunuh, 500 orang luka parah, 700 rumah dirusak dan barang-barang mereka habis dirampok. ''Pendeknya, semua orang Cina, baik bersalah atau tidak, dibantai dalam peristiwa tersebut,'' tulis Hanna.
Setelah peristiwa pembantaian warga Cina, gubernur jenderal Valckenier digantikan oleh mantan panglimanya, Baron van Imhoff. Kediamannya itu kini dikenal sebagai toko merah. Memang diperkirakan di sekitar tempat itulah terjadi pembantaian di luar perikemanusiaan.
JEJAK PANGERAN WIRAGUNA
Ragunan merupakan sebuah kelurahan di Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kelurahan itu mulai dikenal dan banyak didatangi masyarakat sejak gubernur DKI Ali Sadikin, pada awal 1970-an, membangun kebun binatang di sana menggantikan kebun binatang Cikini yang dijadikan pusat kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM).
Tapi, banyak yang tidak tahu asal muasal nama Ragunan. Untuk mengetahuinya, kita harus kembali ke abad 17. Seorang Belanda bernama Hendrik Lucaasz Cardeel, oleh Sultan Banten Abunasar Abdul Qohar yang disebut Sultan Haji putra Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar Pangeran Wiraguna.
Pada tahun 1675 terbetik berita, bahwa sebagian dari Keraton Surasowan Banten, tempat bertahta Sultan Ageng Tirtayasa, terbakar. Dua bulan kemudian, datanglah Hendrik Lucaasz Cardeel, seorang jurubangun, yang mengaku melarikan diri dari Batavia. Kepada Sultan, selain menyatakan kesiapannya untuk membangun kembali keraton yang terbakar itu, ia juga menyatakan keinginannya untuk memeluk Islam.
Pada 1689, Cardeel pamit pada sultan dengan alasan pulang ke Belanda. Tetapi, ia menetap di Batavia dan kembali memeluk Kristen. Tanahnya yang sangat luas kini bernama Ragunan -- dari kata Wiraguna. Menurut penulis sejarah Batavia, de Haan (1911), Cardeel dimakamkan di Ragunan dan makamnya oleh sementara orang dikeramatkan. Namun, sampai kini makam itu tidak diketemukan. Bahkan, penduduk asli Ragunan, termasuk para orang tua, tidak mengenal sejarah kampung mereka.
Pria Eropa memasukkan dirinya ke dalam sejarah Indonesia, ketika mereka menemukan majikan Indonesia yang mau membayar keahliannya sebagai pelatih, peniup trompet, penembak meriam dan para jurutulis. Mereka pun membangun keluarga dengan menikahi perempuan lokal.
Pada tahun itu juga Cardeel melepaskan diri dari pernikahannya dengan Nila Wati yang telah dijalaninya selama enam tahun. Karena menurut versi Belanda -- istrinya itu berselingkuh dengan seorang pria Sunda. Kemudian Cardeel alias Pangeran Wiraguna menikah lagi dan kali ini dengan upacara Kristen. Sedangkan ketika mengawini Nila Wati, gadis Banten, melalui akad nikah secara Islam.
Dalam menghadapi Islam, menurut orientalis Belanda ini, harus dipisahkan Islam sebagai agama dan politik.
Terhadap masalah agama, pemerintah kolonial disarankan untuk bersikap netral. Sedangkan terhadap politik dijaga benar datangnya pengaruh dari luar semacam Pan Islam. Apalagi, sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda menghadapi perlawanan oleh kelompok-kelompok Islam seperti dalam Perang Paderi (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), dan Perang Aceh (1873-1903).
PEMBERONTAKAN AKHIR TAHUN
Batavia, Ahad petang, 28 Desember 1721. Dari pintu kota Nieuwpoort (dekat stasion kereta api Jakarta Kota), keluar seorang pemuda Jawa menyeberang ke jembatan Jassenmburg lewat gereja Portugis (depan stasion), menuju Jacatraweg (kini Jl Pangeran Jayakarta).
Di sebuah rumah indah dengan pekarangan luas, pemuda berusia sekitar 30 tahun dengan keris bergagang emas di pinggangnya itu, diterima tuan rumah yang berusia sekitar 50-an. Meskipun sebagian rambutnya sudah memutih ia masih tampak gagah. ''Ada kabar apa Raden Kartadria?'' tanya tuan rumah yang tidak lain adalah Pieter Elbelveld, seorang Indo (ayah Jerman dan ibu Jawa).
''Saya cuma memberi kabar, semua sudah siap menjalankan tugas. Kekuatan kita cukup. Saya sendiri dan beberapa kawan sudah mengumpulkan 17 ribu prajurit yang siap untuk memasuki kota,'' kata Raden Kartadria, seorang ningrat yang masih keturunan kesultanan Mataram Islam.
''Tuan Gusti tahu bagaimana alpanya itu orang-orang kafir merayakan tahun baru. Ia orang akan plesir sepuas-puasnya dan minum sampai mabuk-mabukan. Dalam keadaan demikian mereka tidak sanggup mencegah kita merebut pintu kota dan memasuki benteng di waktu fajar,'' Raden meyakinkan Gusti -- panggilan Pieter.
Kapten yang tampan ini melaporkan bahwa satu jam lalu budak Pieter Elberveld memberitahukan bahwa pada malam tahun baru akan terjadi hura-hara besar di Batavia dan Pieter memastikan pada 1 Januari 1722 akan jadi raja di Jawa. Gubernur jenderal yang kaget mendengar laporan itu langsung memerintahkan agar segera dilakukan pengusutan dan menangkap semua yang terlibat.
Tiba-tiba pintu rumah yang dikunci rapat digedor, disertai ringkik suara kuda dan teriakan-teriakan buka pintu. Kapten Cruse dan para serdadu Kompeni dengan senjata lengkap menyerbu masuk. Meskipun berusaha melawan, tapi akhirnya mereka dapat dibelenggu.
Konon, kaki dan tangan Pieter diikat ke empat ekor kuda. Kuda-kuda itu kemudian dipacu untuk berlari ke arah berlawanan untuk mencabik-cabik tubuh Pieter. Karena itulah, tempat eksekusi Pieter sampai kini disebut Kampung Pecah Kulit -- berdekatan dengan stasion kereta api Jayakarta. Kawan-kawannya juga mendapat hukuman mati, tapi tidak sekejam hukuman bagi kedua pimpinan mereka.
Monumen yang telah berdiri selama lebih 200 tahun itu telah dibongkar pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dan pada 1970 replikanya di pasang kembali di Gedung Museum Sejarah Jakarta dan tempat dia dimakamkan di Museum Prasasti di Jl Tanah Abang I Jakarta Pusat. Sedangkan kediamannya di Jalan Pangeran Jayakarta kini sudah berubah fungsi menjadi showroom perusahaan mobil PT Astra.
Inilah kantor pusat KPM (Koninkluke Paketvaart Maatchappij), perusahaan pelayaran terbesar di Hindia Belanda, yang setelah diambil alih pemerintah menjadi Pelni (1957). Gedung berlantai tiga kini menjadi kantor Ditjen Perla (Direktorat Jenderal Perhubungan Laut). Gedung KPM ini diabadikan tahun 1930-an. Terlihat dari puluhan mobil parkir di depan gedung di Koningsplein-Oost No 5 (kini Medan Merdeka Timur), Jakarta Pusat. Seperti merek Austin, Morris, dan Fiat, yang seluruhnya mobil buatan Eropa.
Pada 1957 seluruh perusahaan Belanda di Indonesia diambil alih. Di samping KPM, juga BVM (Batavia Verkeer Maatchappij), yang bergerak dibidang angkutan trem dan bus. Sejak itu lahirlah PPD (Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta), yang pada awal pekan lalu para awaknya melakukan mogok kerja, menuntut pembayaran gaji dan masa depan yang lebih baik. PPD sejak mengambil alih BVM terus menerus merugi. Salah satu sebab kehancuran PPD adalah korupsi, termasuk penyalahgunaan dalam pembelian dan penggunaan suku cacang untuk keperluan armada angkutannya.
Walaupun Dasima diperlakukan dengan baik oleh tuannya, tapi ia akhirnya rela dijadikan sebagai istri kedua Samiun, tukang sado dari Kwitang.
HUKUMAN MATI BUAT BANG PUASE
Di Jakarta, pada masa kolonial sampai akhir abad ke-19, di depan gedung Balaikota Batavia yang kini menjadi Museum Sejarah DKI Jakarta, terdapat tiang gantungan.
Salah seorang yang dieksekusi di tiang gantungan itu adalah Bang Puase. Dia adalah seorang jagoan dari Kwitang, Jakarta Pusat. Dia dihukum gantung karena dituduh membunuh Nyai Dasima, seorang nyai rupawan dari Kuripan, Ciseeng, Parung, Bogor. Eksekusi itu terjadi pada tahun 1813 pada awal kekuasaan Inggris (Raffles) di Indonesia.
Di Kampung Kwitang, tiap Ahad kini ada pengajian Habib Ali yang didatangi ribuan warga dari Jabotabek. Konon, Bang Puase dilahirkan di salah satu tempat yang sampai tahun 1960-an bernama Gang Mendung, di Kampung Kwitang. Mungkin dia dilahirkan saat Ramadhan hingga dinamakan demikian.
Kisah itu kemudian menjadi latar belakang novel historis Nyai Dasima karya G Francis yang ditulis dalam bahasa Melayu rendah pada tahun 1893 83 tahun setelah eksekusi itu terjadi. Pengarang-pengarang Belanda kala itu selalu menjelek-jelekkan mereka yang berani melawan pemerintahan kolonial. Tokoh Si Pitung, miaslnya, dalam versi kolonial digambarkan sebagai penjahat kejam, pembunuh berdarah dingin dan tidak berkemanusiaan. Padahal, yang dirampoknya adalah harta milik petinggi kolonial dan para tuan tanah yang memeras rakyat.
Dalam novel Nyai Dasima, G Francis juga memuji setinggi langit kebaikan Tuan Edward Willem, seorang petinggi Inggris yang bersama istri piaraannya (Dasima) dan putrinya (Nancy) tinggal di dekat kantor Dirjen Perhubungan Laut, di Jalan Medan Merdeka Timur sekarang ini.
Francis juga menjelek-jelekkan Islam bahwa Dasima rela meninggalkan suami dan putrinya karena diguna-guna oleh Haji Salihun yang menerima bayaran dari Samiun. Haji Salihun memberikan dua bungkus obat bubuk melalui Mak Buyung, seorang penjual telur. Salah satu obat itu diberikan kepada Nyai Dasima agar hatinya goncang dan membenci Tuan Willem.
Dalam karya yang juga berjudul Nyai Dasima, seniman Betawi SM Ardan telah meluruskannya. Menurut versinya, Nyai Dasima bersedia meninggalkan tuan kumpul kebonya setelah diingatkan bahwa menurut Islam kawin tanpa nikah adalah berzina dan dosa besar.
Menurut versi Francis, setelah menikah dan jadi istri kedua Samiun, suaminya ini dengan dalih agama mengambil seluruh harta Nyai Dasima. Ketika Dasima minta cerai, Samiun menyuruh Bang Puase untuk membunuhnya. Sedang dalam versi Ardan, Bang Puase membunuh Dasima atas pesanan istri pertama Samiun, yakni Hayati.
Versi lain menyebutkan, Bang Puase membunuh Nyai Dasima untuk melampiaskan kebenciannya terhadap perempuan piaraan orang asing, yang menurut Islam adalah zinah. Dia tidak rela Nyai Dasima perempuan piaraan Tuan Willem berada di kampungnya. Diduga, Nyai Dasima dibunuh di tengah jalan (di dekat Hotel Aryaduta atau di depan Toko Buku Gunung Agung kini), ketika naik sado bersama Samiun untuk nonton Hikayat Amir Hamzah.
Setelah melalui proses pengadilan kolonial yang sering direkayasa, akhirnya Bang Puase dieksekusi di halaman depan pengadilan Belanda (kini menjadi Museum Sejarah Jakarta). Dia melangkah ke tiang gantungan tanpa rasa takut sambil bertakbir.
REVOLUSI BULAN APRIL DI CONDET
Memasuki kawasan Condet dari arah Cililitan dikenal sebagai salah satu pusat kemacetan di Jakarta Timur. Padahal Condet, yang terdiri dari tiga kelurahan (Bale Kambang, Batu Ampar dan Kampung Tengah) luasnya 632 hektare kira-kira lebih separuh lapangan Monas pernah hendak dijadikan Cagar Budaya Betawi. Alasan Bang Ali 30 tahun lalu, karena 90 persen masyarakatnya asli Betawi. Kala itu, 60 persen penduduk Condet petani salak dan duku, 20 persen buah-buahan lainnya, dan hanya 15 persen buruh/karyawan.
Kini, kebun dan tanah pertanian berubah jadi perumahan dan gedung bertingkat. Tidak ditemui lagi duku dan salak condet yang manis dan masir. Pohon-pohon melinjo yang dijadikan emping ketika ratusan 'home industri'-nya menjamur di Condet kini sudah hampir tidak membekas. Warga Betawi sudah banyak hengkang. Sejumlah warga Betawi yang tersisa, kini tidak lagi menjual tanahnya seperti dulu. Mereka membangun rumah-rumah petak untuk dikontrakan. Hasil kontrakan cukup untuk hidup sederhana.
Banyak warga keturunan Arab dari Jakarta dan Jawa Timur kini tinggal di Condet. Seperti di Jl Condet Raya -- jalan raya dua jalur yang selalu macet --, kini banyak penjual minyak wangi, kitab bahasa Arab, madu Hadramaut dan Arab sampai rumah makan penjual nasi kebuli. Tentu saja sejumlah gedung dan kantor penampungan TKW.
Di Condet kekejaman terjadi saat Vila Nova yang sering dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk berakhir minggu, dijual pada Lady Robinson, orang kaya berkebangsaan Inggris. Lebih-lebih terhadap petani yang gagal membayar pajak. Dan tuan tanah kelewat getol mengadukan mereka ke landrad (pengadilan) untuk membikin perkara. Akibatnya banyak petani bangkrut, rumahnya dijual, tak jarang dibakar. Termasuk harta miliknya Pak Taba. Dan ketika eksekusi hendak dilaksanakan, rakyat Condet marah dan ramai-ramai mendatangi vila Nova guna menggagalkannya. Itu terjadi Februari 1916.
Rupanya kala itu Entong ingin membuat pemanasan. Ketika ia ditanya aparat kenapa ia berani nyetop pertunjukan topeng, ia menjawab: ''Demi Agama'. Ia hendak mencegah perjudian. Sambil dengan tegas dan memegang keris ia berikrar: 'Siap untuk membela petani yang jadi korban kejahatan tuan tanah.
Kemudian ada info yang memberihu para pejabat di Pasar Rebo dan Meester Cornelis banyak orang berkumpul di rumah Entong Gendut. Ketika wedana diiringi para upas berseru agar Entong keluar rumah, ia dengan suara mantap berkata: ''Saya akan keluar setelah shalat.'' Ketika ia keluar, disertai ratusan para pengikutnya sambil berteriak: Sabi'ullah gua kagak takut mati. Pertempuran yang tidak seimpang terjadi. Tapi pihak Belanda kewalahan. Kemudian bantuan datang, dan Entong Gendut tertembak mati sebagai sahid...
Setelah pemberontakan Entong Gendut dipadamkan, sikap tuan tanah makin kejam. Rakyat yang sudah biasa ditakut-takuti itu akhirnya berani lagi mencoba melawan peraturan tuan tanah yang kejam. Pemberontakan kedua terjadi tidak sampai dengan kekerasan senjata. Ini berupa penjajagan, sampai di mana keberanian antek-antek tuan tanah tadi. Percobaan dilakukan dengan penebangan pohon-pohon besar yang tumbuh di tanah kuburan. Demikianlah pada 1923 terjadi penebangan di tanah pekuburan di Condet, yang mereka namakan Kober. Suatu keberanian melawan tindakan yang diharamkan Belanda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar