Minggu, 12 Oktober 2008

Oleh-oleh Lebaran

Oleh-oleh Lebaran

Oleh: Zaim Uchrowi

Lebaran ini saya, sebagaimana banyak orang lain, sempat mampir ke Yogya, Namun ini bukan untuk liburan. Ini buat sarasehan budaya yang mempertemukan politisi, pendidik, hingga seniman. Sebuah sarasehan yang lahir dari kerisauan: Apa yang 'salah' dari budaya kita hingga bangsa ini belum kunjung maju? Budaya macam apa yang harus dikembangkan agar kita menjadi bangsa tangguh?

Di acara itu, saya bertemu Firman. Sosok yang makin sering dijadikan model: beginilah semestinya generasi baru Indonesia. Ia mengemas singkong menjadi bisnis menggiurkan. Outlet yang dinamainya 'Tela Kress' tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Singkat kata Firman mewakili karakter yang diharapkan dapat menjadi wajah Indonesia masa depan. Karakter yang tidak sibuk melamar pekerjaan, melainkan justru berbuat nyata hingga melahirkan kesempatan kerja.

Tentu bukan hal mudah melakukan itu. Perlu keteguhan luar biasa bagi siapa pun untuk mampu membangun usaha dari bawah. Perlu daya tahan yang benar-benar kuat untuk mampu memikul kegagalan demi kegagalan, sebelum akhirnya meraih keberhasilan. Pijakan usaha secara nyata, dan bukan spekulasi terhadap hal-hal semu, itukah dasar kemakmuran yang sebenarnya.

Sahabat dekat saya yang juga punya nama 'Zaim', Zaim Saidi, sudah jauh-jauh hari mengingatkan. Segala hal yang tidak memiliki pijakan nyata, atau komoditas semu yang dispekulasikan, adalah riba. Riba itu pangkal kehancuran masyarakat. Menurutnya, riba bukan sekadar rente atau bunga atas pinjaman uang. Sejatinya, uang kertas adalah riba karena nilainya adalah nilai semua. Maka, selembar kertas yang sama tiba-tiba punya nilai berbeda ketika yang menuliskan angkanya berbeda. Rp 100 tak dapat dipakai membeli apa-apa karena yang menuliskannya orang Indonesia. Sedangkan 100 dolar menjadi berharga karena angka seratus itu milik Amerika.

Namun, seperti kata Zaim, yang semu pasti akan kolaps. Bank yang dianggap sebagai salah satu yang paling kuat di dunia, Lehman Brothers, pun tiba-tiba ambruk. Pasalnya mereka terjerat bisnis semu uang yang tumpuk-menumpuk di atas bisnis perumahan. Bisnis nyata perumahan di Amerika telah tenggelam oleh tumpukan bisnis pembiayaannya yang berlapis-lapis hingga pilarnya roboh. Dunia cemas karena akibat berantai dari kejatuhan Si Lehman itu. Konon, salah satu orang terkaya di Indonesia harus kehilangan kekayaannya sampai sekitar Rp 120 triliun dalam sebulan.

Mencari keuntungan pada hal-hal semu memang menggiurkan. Dengan cepat itu dapat melambungkan kita ke atas. Itu menjawab naluri manusia yang gemar segera dapat untung banyak tanpa harus bekerja keras. Karakter itu yang menjadi kecenderungan kita. Memang tidak banyak yang berspekulasi di pasar modal hingga harus menanggung akibat keambrukan Lehman. Tapi, sangat banyak yang mau untung cepat seperti spekulasi Anthurium, hingga investasi-investasi tidak jelas. Kebanyakan pribumi pebisnis besar pun lebih banyak yang cuma sebagai makelar.

Firman mengingatkan kembali betapa pentingnya bekerja keras di atas pijakan usaha yang nyata. Itu yang dilakukan orang-orang Jepang. Umat yang pekerja keras, hidup sederhana, serta gemar menabung. Tabungan rumah tangga warga Jepang yang mencapai nilai sekitar Rp 130.000 triliun telah menjadi penyelamat Jepang dalam krisis ekonomi sekarang. Apakah kita yang mengaku beragama ini memilih menjadi manusia yang gemar 'leha-leha' dan foya-foya lalu berharap masuk surga? Itu oleh-oleh Lebaran yang saya dapatkan.

Tidak ada komentar: