Rabu, 22 Oktober 2008

Berpikir Cerdas Bertindak Cepat

Berpikir Cerdas Bertindak Cepat
KRISIS keuangan global sudah dan sedang terjadi. Tidak ada yang membantah bahwa dunia, termasuk Indonesia, sudah dilanda krisis itu.
Belajar dari krisis tahun 1997/1998, pemerintah Indonesia sekarang semakin arif. Tidak percaya diri berlebihan, tetapi tidak juga cemas berkepanjangan. Yang paling penting, berpikir lebih cerdas dan bertindak lebih cepat.
Sejauh menyangkut langkah antisipatif, pemerintah telah, bahkan terlalu banyak, menetapkan daftar keinginan berupa tujuh butir rekomendasi. Ditambah dengan 21 rekomendasi dari para pengusaha, daftar keinginan mengantisipasi krisis menggunung.
Tetapi seperti diketahui, dari setiap kali krisis melanda, daftar keinginan saja tidak cukup. Yang jauh lebih penting adalah tindakan nyata yang cepat dan cerdas.
Keinginan-keinginan yang begitu banyak tidak dengan sendirinya bisa dilaksanakan. Masih dibutuhkan tindakan administratif yang besar, regulasi yang banyak, dan penerapan yang berani.
Salah satu contoh kecepatan dan keberanian dalam mengatasi krisis adalah dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang menaikkan jumlah simpanan yang dijamin pemerintah dari Rp100 juta menjadi Rp2 miliar. Pemerintah juga mengeluarkan Perppu tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Bank Indonesia No 3/2004 mengenai perluasan jenis aset bank yang bisa dijadikan agunan untuk memperoleh fasilitas pendanaan jangka pendek dari BI.
Hal yang amat krusial dari setiap situasi krisis adalah kepercayaan. Kepercayaan tentang kemampuan pemerintah menjamin uang nasabah di lingkungan perbankan akan menimbulkan ketenangan, yang pada gilirannya tidak memaksa orang berbondong-bondong menarik dananya.
Perluasan jenis aset bank yang bisa memperoleh fasilitas pendanaan jangka pendek dari BI menciptakan ketenangan di sektor perbankan juga. Bank-bank yang tidak memiliki SBI dan SUN tapi mempunyai banyak aset likuid bisa tenang menghadapi ancaman krisis.
Karena seperti kita tahu, krisis keuangan selalu terjadi ketika masyarakat panik dan perbankan juga panik. Selama perbankan tenang, masyarakat juga tenang, krisis tidak perlu menghantam sebuah perekonomian terlalu sadis. Krisis-krisis yang berubah menjadi malapetaka biasanya dipicu kepanikan karena kehilangan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga keuangan maupun kemampuan pemerintah mengatasinya.
Selain menuntut--dan telah dibuktikan--aksi yang cepat dan cerdas, krisis juga bisa dihadapi dengan kesamaan sikap terhadap krisis itu sendiri. Di saat krisis, keteladanan negara menjadi penting.
Kalau krisis sekarang memaksa kita untuk berhemat dan mengutamakan produk dalam negeri dan mengurangi nafsu impor sebesar-besarnya, itu harus diperlihatkan dengan sungguh-sungguh terutama oleh kaum elite. Oleh pemerintah, oleh elite politik, dan elite ekonomi. Dan, pada akhirnya oleh kita semua sebagai bangsa.
Dalam hal common interest, kepentingan bersama, kita adalah bangsa yang amat longgar. Sikap terhadap dan selama krisis tidak konsisten di antara semua elemen. Rakyat diberi tahu tentang krisis, tetapi pemerintah dan kalangan elite berfoya-foya dengan anggaran dan kegiatan akal-akalan. Rakyat diberi tahu tentang krisis, oknum-oknum pemerintah dan kalangan pengusaha melarikan modal ke luar negeri.

Tidak ada komentar: