Selasa, 28 Oktober 2008

Dua Indonesia, Satu Sumpah Pemuda

Dua Indonesia, Satu Sumpah Pemuda

Oleh M Fadjroel Rachman

Apa gunanya merayakan 80 tahun Sumpah Pemuda bagi 52,1 juta buruh dan satu juta keluarga nelayan yang masih menerima upah kurang dari dua dollar AS per hari, bagi 13,7 juta kepala keluarga petani dengan lahan kurang dari 0,5 hektar, bagi 9.427.600 orang penganggur terbuka?

Jadi, apa gunanya Sumpah Pemuda bagi 52,1 juta buruh plus 68,5 juta petani (13,7 juta KK x 5 orang) plus lima juta nelayan (satu juta KK x 5 orang) = 125,6 juta orang ditambah 9.427.600 penganggur terbuka, di mana sebanyak 4.516.100 adalah lulusan SMA, SMK, program diploma, dan universitas. Mereka berpendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari?

Secara sosial-ekonomi, mereka adalah warga negara Indonesia kelas dua. Partisipasi politik mereka disepelekan, hanya diperlukan untuk memilih calon presiden/wakil presiden dari partai politik dan independen (seyogianya dikabulkan Mahkamah Konstitusi agar 171 juta warganegara pemilih memiliki hak untuk dipilih sebagai calon presiden 2009 nanti dan seterusnya) serta anggota DPR/DPD/DPRD I/ DPRD II pada tahun 2009.

Diskriminasi sosial-ekonomi

Bila ada 125,6 juta orang ditambah 9.427.600 penganggur sebagai warga negara kelas II, lalu siapa warga negara kelas I secara sosial-ekonomi dan politik? Sepanjang empat tahun terakhir (2002-2006) 40 persen warga negara kelas II hanya menguasai pendapatan nasional sekitar 20,92 persen (2002), 20,57 persen (2003), 20,80 persen (2004), 18,81 persen (2005) dan 19,75 persen (2006), sedangkan 20 persen warga negara kelas satu menguasai pendapatan nasional sekitar 42,19 persen (2002), 42,33 persen (2003), 42,07 persen (2004), 44,78 persen (2005) dan 42,15 (2006) dari Income Distribution by Classification World Bank, BPS, 2002-2006.

Tentu ada segelintir puncaknya, misalnya untuk 40 konglomerat nilai kekayaan mereka 40,1 miliar dollar AS atau rata-rata 1 miliar dollar AS (Forbes Asia 2007, dan Tempo 18 Mei 2008), termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla di urutan ke-30 dengan kekayaan 230 juta dollar AS; Wakil Ketua MPR Aksa Mahmud 340 juta dollar AS. Dan, yang ada di puncak adalah keluarga Aburizal Bakrie (Menko Kesejahteraan Rakyat) sebesar 5,4 miliar dollar AS. Bahkan, Globe Asia (Mei 2008) menobatkannya terkaya nomor satu di Asia Tenggara dengan nilai 9,2 miliar dollar AS, jauh di atas Robert Kuok (Malaysia), 7,6 miliar dollar AS dan Ng Teng Pong (Singapura), 6,7 miliar dollar AS.

Kemiskinan akut dan ketimpangan sosial-ekonomi (antarpenduduk, daerah, Jawa versus Luar Jawa, serta sektoral) atau diskriminasi sosial-ekonomi. Inilah yang membelah dua wajah Indonesia, wajah 220.963.634 penduduk (BPS, 2004) di wilayah seluas 1.860.359,67 kilometer persegi. Kita memiliki manusia terkaya di Asia Tenggara tetapi juga dihantui kematian tragis empat anak berusia di bawah lima tahun atau balita penderita gizi buruk di Kabupaten Lebak, Banten (Kompas, 5/2).

Kata Muhammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian 2006 sebagai perintis Bank Grameen di Banglades, ”Separuh penduduk dunia (tiga miliar jiwa) hidup dengan 2 dollar AS per hari. Lebih dari satu miliar dari mereka hidup dari pendapatan kurang dari 1 dollar AS per hari. Ini bukan formula perdamaian.” Berarti diskriminasi sosial-ekonomi di Indonesia sekarang juga bukan formula perdamaian.

Sumpah Pemuda

Diskriminasi sosial-ekonomi itu terjadi karena Sumpah Pemuda hanya dimaknai sekadar bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia. Sekadar merasa bersatu secara kolektif dari sekelompok manusia sebagai sebuah keluarga besar (Gustavo de las Casas, Foreign Policy, 2008). Bila Sumpah Pemuda dimaknai ala kadarnya, nama Indonesia dapat saja lenyap seperti sebelum sebutan antropologis tahun 1850, ketika JR Logan memerlukan sebuah nama untuk menyebut penduduk serta kepulauan yang membentang antara benua Australia dan Asia.

Indonesia bukan sekadar kata, tetapi kumpulan makna dan cita-cita yang dipilih dengan kesadaran historis. Dari Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Proklamasi dengan Pembukaan UUD 1945, setidaknya ada tiga makna tak terpisahkan yang merupakan upaya abadi manusia yang dikukuhkan founding mothers and fathers kita, yaitu emansipasi sosial dan emansipasi individual.

Makna praktis-visioner Indonesia itu berupa: Pertama, pembebasan nasional; Kedua, pembebasan sosial; Ketiga, pembebasan individual.

Makna pembebasan nasional dipertanyakan hari ini bila aset strategis sumber daya alam kita tak bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat, sebagian besar hanya memperkaya korporasi global yang beroperasi di Indonesia, Untuk apa pembebasan nasional bila tidak diikuti pembebasan sosial dan individual, bila tidak menjamin setidaknya lima hak dasar warga negara (hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya), bukankah lebih baik bangsa-bangsa pembentuk Indonesia berpisah, menciptakan demokrasi dan kesejahteraannya sendiri-sendiri?

Pilihan strategis untuk melakukan nasionalisasi selektif dan pajak progresif merupakan upaya menciptakan Indonesia tanpa kemiskinan, meminimalkan diskriminasi sosial-ekonomi yang membelah wajah Indonesia. Diskriminasi sosial-ekonomi itu pula yang menyumbang hancurnya solidaritas nasional di Indonesia: 69,5 persen (lemah), 27,0 persen (kuat), 3,5 persen (tidak tahu) karena tak ada toleransi antargolongan (kaya-miskin): 73,1 persen (lemah), 23,7 persen (kuat), 3,2 persen (tidak tahu) dari Jajak Pendapat Kompas 21-23 Mei 2008.

Regenerasi kepemimpinan nasional 2009 dan 2014, terutama kepada kaum muda-progresif, nanti hendaknya memberi makna Sumpah Pemuda sebagai pembebasan nasional, pembebasan sosial, dan pembebasan individual. Bila tidak, benarlah ucapan Bung Hatta, ”Revolusi kita menang dalam menegakkan negara baru, dalam menghidupkan kepribadian bangsa. Tetapi, revolusi kita kalah dalam melaksanakan cita-cita sosialnya.”

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

Tidak ada komentar: