Senin, 13 Oktober 2008

Bedug Dalam Tradisi Jawa (1)

Bedug Dalam Tradisi Jawa (1)
(Historis, Fisiografis dan Fungsi Beduk Jawa)

Drs. Mudzakkir Dwi Cahyono, M.Hum

(Univ. Negeri Malang)

A. Latar Sejarah Beduk Jawa
Dalam konteks Budaya Timur kekinian, instrumen musik (waditra) beduk cenderung dikaitkan dengan tradisi budaya Islam. Jika pandangan ini ditarik ke dalam lingkup yang lebih mikro, semisal pada budaya Jawa, keberadaan beduk Jawa dikaitkan dengan islamisasi Jawa, yang mulai intensif dilakukan pada Era Kewalian pada sekitar abad XV-XVI Masehi (Mustopo, 2000). Terkandung arti di dalam pandangan ini bahwa sebelum abad itu, yakni pada Masa Hindu-Buddha (abad V-XVI Masehi), terlebih lagi pada masa Prasejarah, beduk belum bercokol di Jawa.

Kalaupun pada akhir masa Hindu-Buddha (abad XV-XVI Masehi) sudah mulai muncul waditra beduk, namun jumlahnya masih terbatas dan persebaran-nya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Oleh karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa beduk baru ada di Pulau Jawa pada masa Perkembangan Islam perlu dikritisi guna menemukan kesejarahannya. Jauh sebelum para etnomusikolog [termasuk Rizaldi Siagian] dan sebagi-an tokoh agama menyatakan demikian, Goenawan Mohamad (Kompas, 2 Maret 1977) mengutip pernyataan rekannya, yaitu guru besar etnomusikologi Amerika, Charles Capwel. Mungkin beduk baru masuk ke Indonesia ketika Zheng He (se-orang Cina muslim) dan bala pasukannnya datang sebagai utusan dari maharaja Ming.

Dialah yang memperkenalkan waditra beduk ke Jawa, yakni ketika mem-beri tanda berbaris ke tentara yang mengiringinya. Pendapat yang menyatakan bahwa beduk mengacu kepada kebudayaan daratan Cina, atau bahkan direduksi lagi sebagai berasal dari Zheng He, bukan teori yang telah final, dan karenanya musti dikritisi dengan menelusuri sumber data tekstual, artefaktual maupun etno-faktual.

Untuk kepentingan itu, maka beduk perlu dilihat dalam konteks waditra ke-lompok membraphone, yakni waditra yang sumber bunyinya berasal dari getaran selaput yang diregang (Kunst,1968:9-82). Dalam kelompok ini, beduk diidentifi-kasikan sebagai waditra sejenis genderang berukuran besar dan bersisi ganda. Sebagaimana waditra membraphone lainnya, beduk terdiri atas dua bagian uta-ma, yaitu selaput getar dan resonator. Istilah “beduk” adalah onomatophae, yakni nama yang diberikan kepada suatu waditra menurut bunyi yang dihasilkan mana-kala waditra tersebut ditabuh, yang menghasilkan bunyi “duk-duk”.

Pada abad XVI, yang pasti waditra yang disebut dengan “bedug (beduk)” telah terdapat di Jawa. Hal ini terbukti dalam D’eeste Boek karya Cornelis de Houtman (1595-1597), sebuah catatan pelayaran bangsa Belanda yang pertama ke Indonesia. Di dalamnya antara lain disebut tentang beberapa waditra di Jawa, seperti bedug, bonang, gender dan gong. Perihal beduk, Houtman menyatakan bahwa beduk merupakan waditra yang populer dan tersebar luas di Banten. Di setiap perempatan jalan terdapat sebuah genderang yang digantung dan dibu-nyikan dengan menggunakan tongkat pemukul yang tergantung di sebelahnya. Bunyinya menjadi tanda mengenai adanya bahaya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam (Lodewijckz, 1915: 238).

Dalam susastra Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, bunyi waditra yang dimaknai sebagai petanda waktu itu disebut dengan “tabuh (tabeh)” (Zoetmulder, 1982:1892).

Sumber data tekstual lain yang lebih awal memberitakan mengenai beduk adalah Kidung Malat (pupuh XLIX)” (Poerbatjaraka, 1968:325). Dalam penyebut-an itu, waditra beduk difungsikan sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab sastra yang berbentuk kidung, termasuk pula susastra kidung dengan lakon Panji sebagaimana halnya Kidung Malat tersebut, merupakan susastra yang ditulis pada masa pemerintah-an Majapahit. Jika benar demikian, berarti beduk telah ada sejak masa Majapahit (XIV-XVI Masehi).

Boleh jadi, ketika itu nama “beduk” belum lazim dipergunakan. Istilah yang lebih sering dipakai untuk menyebut waditra serupa ini adalah “teg-teg”. Menurut Jaap Kunst (1968:44), teg-teg adalah waditra kelompok membra-phone menyerupai beduk. Fungsinya juga sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal). Waditra ini disebut dalam sejumlah susastra yang relatif seja-man, seperti dalam Kidung Harsyawijaya (II.51b; V.2a), Kidung Ranggalawe (XI. 101), Kidung Malat (II.1b, V.53a, XII.99b, XVI.87a), dan Wasengsari (2.3b) (Cah-yono, 2003:173).

Oleh karena Kidung Malat menyebut dua waditra dengan nama “bedug” dan “teg-teg”, maka keduanya tentu waditra yang berlainan. Istilah “teg-teg” yang juga merupakan istilah onomatopik, membanyangkan tentang waditra jenis gen-derang dengan ukuran lebih besar daripada beduk. Bunyi teg-teg dihasilkan oleh waditra jenis genderang berukuran lebih besar daripada waditra jenis genderang yang menghasilkan bunyi duk-duk. Apabila menilik paparan Houtman di atas, ter-bayang bahwa beduk yang dimaksud adalah beduk ukuran kecil atau sedang, yang ditempatkan dengan cara digantung. Pada masa sekarang, beduk sema-cam ini dinamai pula dengan “jedor” atau “jidor”. Kini istilah “teg-teg” telah jarang atau bahkan nyaris hilang. Namun, beberapa yang waktu lalu masih dijumpai isti-lah yang mengingatkan kita pada waditra teg-teg. Misalnya pada perkataan “wis wanci keteg (sudah waktunya keteg)”, yang menjadi penujuk waktu tengah hari. Jatuh tempo tepat tengah hari oleh masyarakat Jawa ditandai oleh beduk berta-lu.

Dalam perkataan itu, unsur “teg” dalam kata “keteg” boleh jadi menujuk pada waditra petanda waktu, yang berbentuk beduk atau yang dahulu disebut dengan “teg-teg”.Sayang sekali, sumber-sumber data tekstual tersebut sama sekali tidak merinci tentang spesifikasi bentuk, cara menabuh dan bahan pembuatan bedug dan teg-teg. Dalam sumber data artekatual, baik yang berupa relief candi atau-pun arca, juga tidak dijumpai penggambaran tentang teg-teg. Alih-alih, sumber data artefaktual itu banyak memberi gambaran mengenai waditra-waditra bentuk lain dalam kelompok membraphone. Waditra jenis membraphone juga banyak di-beritakan dalam sumber data tekstual, baik prasasti maupun susastra.

Tidak ada komentar: