Senin, 13 Oktober 2008

Bedug Sudah Ada Sejak Prasejarah?

Bedug Sudah Ada Sejak Prasejarah?


Drs. Mudzakkir Dwi Cahyono, M.Hum
(Univ. Negeri Malang)

Waditra jenis membraphone dalam berbagai bentuk, ukuran, cara mena-buh dan fungsinya telah ada di Jawa sejak Masa Hindu-Buddha. Menilik bentuk dan kontek penyajiannya, ada indikasi kuat bahwa waditra-waditra itu merupakan hasil pengaruh dari waditra India.

Namun demikian, mengingat bahwa waditra je-nis membraphone berbentuk tabang-tabang menyerupai bentuk waditra di dalam lingkungan budaya Smidt, maka boleh jadi terdapat pengaruh waditra asal Timur Tengah. Dalam hubungan itu, muncul pertanyaan mengapa pada arca-arca terra cotta yang ditemukan di situs Trowulan para penabuhnya digambarkan dengan raut muka Mongoloid?

Ada kemungkinan kala itu tabang-tabang merupakan wa-ditra yang banyak diminati oleh orang-orang Cina Muslim, yang ketika itu tinggal di wilayah dalam (watak I jro) dari ibu kota Majapahit di Wilatikta. Mereka banyak bermukim di sekitar situs makam Putri Cempa, Makam Panggung, dan Troloyo.

Ada kemungkinan bahwa tabang-tabang (rebana) dikenal oleh masyara-kat Jawa bukan langsung dari orang asing (wargga kilalan) asal Timur Tengah, namun dari para pedagang Cina Muslim yang telah bermukim di Jawa. Bisa juga terjadi, beduk Asia Timur (taiko), yang lazim menjadi waditra petanda ritus pada vihara, juga diperkenalkan ke Jawa oleh mereka. Kini, di kleteng Cirebon, Maha-vihara Mojopahit di Bejijong (Trowulan-Mojokerto), dsb. terdapat waditra beduk taiko, yang dibunyikan bersambutan dengan genta sebagai petanda waktu ritus.

Kendati terdapat indikator bahwa waditra jenis membraphone mendapat banyak pengaruh dari budaya asing, khususnya dari India, Cina dan [mungkin juga dari] budaya Simdt, namun bukan berarti bahwa waditra jenis ini baru ada di Nusantara pada masa Hindu-Buddha.

Waditra jenis membraphone telah ada se-menjak jaman Prasejarah. Salah satu indikatornya adalah tinggalan nekara dan moko perunggu. Kedua artefak ini di Nusantara dipergunakan sebagai perangkat religi terkait dengan ritus minta hujan dan sebagai mas kawin. Adapun di tempat asalnya (Eropa) nekara difungsikan sebagai waditra genderang (Rouffear, 1900).

Indikator lainnya adalah didapatinya beragam bentuk dan ukuran genderang di berbagai lingkugan budaya etnik Nusantara, padahal mereka tidak mendapat pe-ngaruh dari budaya India, Cina dan Smidt. Misalnya di Batak Mandailing terdapat genderang besar yang disebut “tabu”, di Nias ada “fondahi”, di Jembrana Bali pu-nya tradisi “kendang bebarung” yang memakai kendang sebesar atau lebih besar dari beduk. Bahkan, beberapa di antara genderang yang terdapat di lingkungan etnik Nusantara, ada yang bentuknya menyerupai nekara atau moko. Hanya saja tymphanumnya dibuat dari kulit binatang dan resonatornya dari batang pohon.

Cukup alasan untuk menyatakan bahwa waditra jenis membraphone telah meniti perjalanan sejarah yang panjang di Nusantara. Waditra jenis inilah yang kiranya menjadi embrio bagi munculnya teg-teg, beduk, atau waditra-waditra lain yang serupa pada masa kemudian.

Oleh karenanya tidak mengherankan apabila terdapat sejumlah varian bentuk beduk, baik yang menyerupai ataupun yang me-rupakan hasil momodifikasi dari genderang-genderang etnik Nusantara, khusus-nya pada beduk yang berukuran kecil. Beduk karenanya bisa dikatakan sebagai perkembangan lebih lanjut dari genderang etnik Nusantara yang diperkaya oleh pengaruh waditra jenis membraphone asing.

Dalam hubungan itu, tidaklah tepat untuk hanya menyatakan bahwa beduk merupakan waditra pengaruh India, atau pengaruh Cina, ataupun pengaruh Timur Tengah. Lebih tepat jika dikemukakan bahwa beduk merupakan contoh perwujudan akulturasi budaya tentang waditra jenis membraphone, dimana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membraphone etnik Nusantara dengan waditra sejenis dari luar (India, Cina dan Timur Tengah).

Tidak ada komentar: