Minggu, 12 Oktober 2008

Terampil "Mengawal" Hati

Terampil "Mengawal" Hati

Ketika menurun itu kita tahu kita ini hamba, kita tahu kita ini lemah, jadi masih bergantung kepada Allah. Maka segera berlarilah pada Allah.

Ada filosofi yang sangat mendasar, mengapa umat Islam begitu gandrung dan bersemangat meningkatkan ibadah sebanyak-banyak selama bulan suci Ramadhan. Menurut Dr KH Abdul Kader Muhammad Al-Habsyi, pimpinan Pondok Pesantren Daarussalam, Selawangi, Bogor, Jawa Barat, karena pahala pada bulan Ramadhan dilipatkan sedemikian rupa. Ibadah sunah dinilai oleh Allah SWT sebagai ibadah wajib. Demikian juga ibadah wajib ditingkatkan nilainya oleh Allah SWT sedemikian rupa kelipatan gandanya itu sehingga seorang Muslim terdorong untuk giat beribadah. Apalagi dengan hadirnya Lailatul Qadar.

Namun di luar itu semua, suasana yang terbangun selama bulan Ramadhan juga mendukung seorang Muslim untuk giat beribadah. Masjid ramai dengan jamaah. Televisi bertabur syiar keislaman. ''Itu semuanya yang mendorong seorang Muslim untuk memanfaatkan bulan Ramadhan,” ujar Dr KH Abdul Kader Muhammad Al-Habsyi.

Menurut doktor dari Universitas Al Azhar Mesir ini, Ramadhan itu hanya sebuah catatan dan Allah ingin kita itu melihat kepada-Nya di bulan itu. ''Ramadhan itu dermawan. orang-orang Arab sering menyebut Ramadhan Kariim (Ramadhan dermawan). Bila saling bertemu, mereka mengucapkan selamat sambil berkata Ramadhan Kariim, temannya menjawab Allahu Akram (Allah lebih dermawan).''

Menurut dia, maknanya adalah Ramadhan boleh datang boleh pergi, tapi Allah selalu ada dan hadir. “Jadi, kenapa justru kebaikan itu menurun sesudah Ramadhan. Apakah kamu tidak tahu yang membuat Ramadhan itu sedemikian berkahnya itu Allah dan Allah itu selalu ada di bulan apa saja,” ujarnya.

Ia menyitir sebuah hadis Qudsi. ''Ya Allah kalau Engkau Maha Baik, kenapa tidak Kau jadikan semua bulan, merupakan bulan Ramadhan, karena Ramadhan itu mendapat banyak pahala? Kata Allah, '' Kalau semua tahun Aku jadikan Ramadhan, berat bagi kamu hamba-Ku. Justru kamu tidak akan menikmatinya. Tetapi apa yang kamu mau sebetulnya wahai hamba-Ku. Kamu mau dari Aku anugrah, Ku berikan kepada kamu anugrah. Kapan saja, di Ramadhan diberikan pahala atau di luar Ramadhan juga mendapat pahala.”

Al Habsyi mengingatakan, dunia ini sebenarnya tempat belajar, tempat menanam, sehingga tidak usah terburu-buru untuk cepat-cepat melihat hasilnya. “Kalau mau cepat-cepat berarti kamu sudah mau mati. ''Ini perlu kesadaran dan ilmu.”

Menurut Al Habsyi, yang perlu dilakukan oleh kita adalah melakukan apa saja dengan standar yang terbaik, termasuk beribadah. Ia juga mengingatkan untuk tidak usah kecil hati ketika ibadah agak menurun. ''Boleh jadi ketika ibadah kita menurun itu ingatan kita kepada Allah meningkat. Kapan kita mengingat Allah lebih banyak? Ketika melakukan dosa atau dalam bahaya. Dan Allah SWT juga mengatakan demikian. ''Saya ketika dipanggil hamba Saya, ''Ya Allah.'' Allah menjawab, ''Labaik hamba-Ku.'' (Aku dengar panggilanmu dan Aku memenuhi keinginanmu).”

Ketika iman sedang menapaki jalan menurun, maka segeralah mengingat-Nya. “Ketika menurun itu kita tahu kita ini hamba, kita tahu kita ini lemah, jadi masih bergantung kepada Allah.'' Menurut Al Habsyi, itulah kiat yang terbaik untuk menjaga kelanggengan ibadah setelah berakhirnya bulan suci Ramadhan: ketika iman menurun, segeralah ingat pada-Nya dan kembali mendekat. Mengawal hati, itu kuncinya.

Sementara itu, Ustadz A Saufulloh MA dari Majelis Zikir Az-Zikra menjelaskan pentingnya menjaga keberkahan Ramadhan pertama. Hanya saja ia mengingatkan untuk tidak terjebak pada rutinitas ritual yang bersifat ibadah mahdhah. “Seperti orang yang melaksanakan shalat tapi hanya sekedarnya saja,” ujarnya. Intinya, ibadah shaum selama satu bulan harus mewarnai yang sebelas bulan setelahnya.

''Kita harus memahami hakekat ibadah itu. Seperti shalat, tujuannya membentuk manusia yang anil fahsya-i wal munkar, zakat membentuk kedermawanan, haji menjadi manusia yang mabrur (baik), dan pada intinya dengan ibadah itu membentuk akhlak yang mulia,'' jelasnya.

Kedua, kata Ustadz Saefullah, setelah Ramadhan kita harus lebih terampil menempa diri. “Puasa itu ibadah yang hanya kita dan Allah saja yang tahu. Dari sinilah semangat ikhlas itu timbul,” jelasnya.

Dengan ikhlas, kata dia, kemampuan untuk mendekatkan diri, sabar, syukur dengan sendirinya akan terbentuk. ''Ini modal penting untuk mengawal diri kita sebelas bulan ke depan

Tidak ada komentar: