Senin, 20 Oktober 2008

Si Buruk Rupa Berhati Mutiara

Si Buruk Rupa Berhati Mutiara
OPERASI face off jadi perbincangan hangat masyarakat ketika Siti Nur Jazilah alias Lisa, perempuan asal Malang, mengalami kerusakan wajah akibat disiram air keras oleh suaminya, Mulyono. Akibatnya, wajah cantik Lisa kini tinggal kenangan. Untuk memulihkan kondisi wajahnya yang rusak berat, Lisa harus menjalani operasi rekonstruksi wajah yang berlangsung lama dan melelahkan. Terhitung sejak pertama kali dirawat di RSU dr Soetomo pada Februari 2006, Lisa telah menjalani dua belas kali operasi. Operasi terakhir dilaksanakan pada Agustus 2008, berupa koreksi pada wajahnya.

Senasib dengan Lisa adalah Dini Setia Utami. Ia adalah remaja 15 tahun, anak pasangan Surahmat dan Lilis Siti Maesaroh dari Bandung. Sebagaimana Lisa, Dini juga mengalami kerusakan wajah yang berat. Bahkan, derita yang dialami Dini lebih berat. Di samping usianya masih kanak-kanak saat kejadian, kerusakan kulit yang dialaminya tak hanya di wajah, tapi hampir di seluruh tubuh, mulai kepala sampai perut.

Musibah itu menimpa Dini saat masih berusia tiga tahun. Selama sepuluh tahun Dini tak bisa memejamkan matanya meski sedang tidur. Tangannya tak bisa bergerak bebas. Operasi ke-17 yang harus dijalani Dini terpaksa ditunda karena ketiadaan kulit donor lagi yang bisa diambil untuk menutupi bagian-bagian tubuh yang rusak.

Buku ini memotret perjalanan Dini mulai kecil yang penuh derita. Dengan kondisi fisik tak sempurna (bahkan cenderung mengerikan akibat luka bakar), membuat Dini terasing dari pergaulan lingkungan sekitar rumahnya. Ia tak memiliki teman bermain seperti halnya anak-anak lain. Dini juga tak bisa mengenyam bangku sekolah gara-gara ditolak kepala sekolah dengan alasan yang tidak masuk akal. Kepala sekolah khawatir keberadaan Dini akan menjadi bahan ejekan teman-temannya. Untungnya, di tengah deraan musibah yang begitu hebat itu, Dini masih memiliki orang tua yang sangat menyayangi dirinya. Sang Mamah --demikian Dini memanggil ibunya-- menempa mental Dini sehingga memiliki ketabahan batin luar biasa. Bagi Dini, Mamah adalah ibu sekaligus sahabat. Orang tua juga guru yang mengajarinya menulis, membaca, dan berhitung.

Mamah adalah segalanya bagi Dini. Berkat sang Mamah, semangat hidup Dini tak pernah padam. Dini pun ingin, suatu saat nanti, bisa membahagiakan orang tuanya, minimal menjadi kebanggaan sang Mamah.

Tragedi di Kabaena

Dini terlahir normal sebagaimana layaknya bayi mungil yang imut dan cantik. Bencana itu bermula saat orang tua Dini memutuskan mengikuti program transmigrasi dengan tujuan Pulau Kabaena di selatan Pulau Sulawesi. Tepatnya di Desa Tedubara, Kecamatan Sikeli. Bulan-bulan pertama berada di daerah transmigrasi dilalui tanpa hambatan yang berarti bagi keluarga Surahmat. Bahkan bisa dikata kehidupan mereka jauh lebih baik dibanding saat masih berada di Bandung. Mungkin satu-satunya kekurangan selama berada di daerah transmigrasi adalah belum adanya instalasi listrik. Maka, untuk penerangan sehari-hari, keluarga Surahmat menggunakan lampu minyak. Siapa sangka, lampu minyak itulah awal tragedi yang membuat derita panjang Dini dan orang tunya.

Senja, 9 Mei 1996, ibunda Dini bermaksud menyalakan lampu minyak untuk menerangi teras dan ruang tamu. Dini yang waktu itu masih tiga tahun, dan kakaknya, Jajat Sudrajat, 5, ikut mengerubungi ibunya yang sedang menyalakan lampu. Tak disangka lampu minyak itu tiba-tiba meledak. Kontan saja, tubuh ibu dan dua anaknya yang masih kecil-kecil itu terjilat api yang berkobar. Ibunda Dini mengalami luka bakar di tangan dan kaki. Sementara Jajat terkena di bagian dada dan punggung. Meskipun luka fisiknya tidak terlalu parah, Jajat justru yang dipanggil lebih dulu oleh Yang Mahaesa. Hal itu karena tak adanya pertolongan medis yang memadai dan cepat untuk pertolongan pertama pada korban Jajat.

Yang memprihatinkan kondisi si kecil Dini. Dia mengalami luka bakar yang begitu serius. Selain dada dan punggung, Dini harus kehilangan kecantikan wajahnya. Bibir dan daun telinganya meleleh. Kelopak matanya melepuh. Wajahnya menempel di leher dengan dagu yang tak lagi berbentuk. Tangan kanannya juga terluka cukup parah. Kulit yang dulunya putih bersih jadi tak karuan.

Sejak kejadian itu, kehidupan Dini berubah total. Ia harus menjalani operasi demi operasi untuk membentuknya lagi. Di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dini sudah menjalani operasi sampai empat kali. Namun, operasi yang dilakukan di RSCM hanyalah operasi kecil, bukan operasi rekonstruksi wajah atau face off. Memang, saat itu usia Dini masih belia, kulit donor yang dibutuhkan belum mencukupi. Apalagi, hampir sebagian besar kulit Dini rusak parah karena mengalami luka bakar. Ironisnya, ketika Dini siap melakukan operasi untuk memulihkan kondisi fisiknya, keluarganya sudah tidak mempunyai biaya lagi untuk perawatan Dini di RSCM.

Asa Dini dan keluarga kembali terbit setelah kisah Dini ditayangkan RCTI pada 31 Maret 2006. Simpati dan bantuan material pun berdatangan. Dua rumah sakit, yakni RSU dr Soetomo Surabaya dan RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung menyatakan menampung Dini dan mengoperasi wajah gadis itu. Berdasarkan pertimbangan lokasi, orang tua Dini akhirnya memilih RSHS sebagai tempat perawatan putrinya.

Begitulah, kisah Dini begitu memilukan. Ide buku ini, kata penulisnya, Rahmania Violeta, berawal dari ketidakadilan media massa dalam pemberitaan kasus Dini. Ketika operasi face off pertama kali terhadap Lisa, media massa ramai-ramai mempublikasikannya. Namun, saat giliran Dini yang menjalani operasi, porsi pemberitaan media amat minim. Bahkan, andai saja Dini tak dibesuk Ariel Peterpan, vokalis band idolanya, mungkin kasus Dini tak terungkap. Lewat buku ini, Rahmania ingin mengajak masyarakat melihat perjuangan Dini dan keluarganya bergelut dengan petaka kehidupan sekaligus mengambil ibrah darinya.

Sebagai true story, kehadiran buku ini begitu penting, terutama bagi pembaca yang ingin mencecap nilai dari pengalaman pahit yang dialami Dini kecil dan keluarganya. Berkat dorongan orang tua, Dini mampu bertahan dalam derita, cobaan, dan cemoohan. Ketika sepenggal asa kembali menghampirinya, Dini punya keinginan sederhana. Ia ingin berdiri kuat di atas kakinya sendiri. Meski dengan kondisi fisik yang terbatas, dia tak mau menjadi beban dan bergantung pada orang lain.

Di balik kondisi fisik yang buruk rupa, rupanya Dini menyimpan mutiara di hatinya.

1 komentar:

Sukma Wie mengatakan...

ralat ya... Desa Tedubara bukan Kecamatan Sikeli, tapi Kecamatan Kabaena Barat... turut bersimpati atas nasib Dini, moga2 selalu tegar dan tetap semangat menyongsong masa depan yang lebih cerah