Jumat, 10 Oktober 2008

Pertentangan Pengadilan Syariah di Skotlandia

Pertentangan Pengadilan Syariah di Skotlandia

By Republika Contributor
Pertentangan Pengadilan Syariah di Skotlandia Setelah Inggris memberi hak penuh kepada pengadilan syariah, rencana serupa muncul di negara tetangga utara, Skotlandia. Hanya saja kemungkinan pengadilan syariah resmi pertama di Skotlandia menimbulkan debat panas antar pendukung yang terbuka menerima dan pengkritik yang mewaspadai sistem hukum paralel.

"Mereka yang menggunakan undang-undang Syariah, sepenuhnya memiliki hak kebebasan beragama selama tidak berkonflik dengan undang-undang pidana," ujar Aamer Anwar, pengacara hak-hak sipil berbasis di Glasgow, seperti yang dilansir oleh harian The Scotcsman (9/10).

"Tergantung pada komunitas untuk memutuskan bagi diri mereka," imbuh Aamer. Menurut surat kabar tersebut, pembicaraan diam-diam untuk memberi pengadilan syariah --yang telah bertahun-tahun menyelesaikan pertikaian antar Muslim--hak mengatur kasus sipil tengah dilakukan.

Qamar Bhatti, direktur Pengadilan Arbitrase Muslim (MAT) yang menjalankan pengadilan mengatakan diskusi pemberdayaan pengadilan Syariah diadakan antara seluruh pengacara dan komunitas Muslim di penjuru Skotlandia.

Jika rencana berjalan lancar, pengadilan Syariah akan ditetapkan di Edinburgh dan Glasgow. Itu berarti aturan pengadilan akan mengikat secara hukum dan memastikan jika kedua pihak bertikai setuju untuk berproses dan tidak lagi tergantung pada denda sukarela.

Namun, muncul juga pendapat kontra dari pihak Muslim. Noman Tahir, dari Yayasan Islam Skotlandia misal, melihat pengadilan syariah resmi tidaklah dibutuhkan. "Saat ini Muslim Skotlan, memisahkan persoalan sipil melalui pengadilan atau arbitrase pihak ketiga seperti ulama dan imam," kata Noman.

"Cara itu berjalan sangat baik selama bertahun-tahun dan kami tidak pernah merasa kecewa dengan pengaturan yang telah berlaku," imbuhnya.

Sementara John Scott, pengacara khusus hak asasi manusia meyakini, "jika ada tempat" untuk pengadilan Syariah di Skotlandia. "Namun tidak ada pengadilan yang boleh diijinkan tanpa pengawasan dan pemantauan," ujarnya.

Beberapa tokoh hukum dan perundangan Inggris lain seperti Hakim Agung Lord Nicholas Philips, hakim paling senior di Inggris dan bahkan uskup besar Cantebury, Rowan Williams juga mendukung rencanan pemberian kekuatan penuh pengadilan Syariah. Alasan mereka pengadilan itu sangat membantu memecahkan persoalan di kalangan komunitas Muslim, seperti kekerasan dalam rumah tangga.

Namun Bill Aitken, jurubicara peradilan dari partai konservatif menolak rencana tersebut. "Pengaturan masalah pribadi di kalangan komunitas Muslim adalah satu hal, namun dalam persoalan pidana, pengadilan Scotlan harus memiliki yurisdiksi total," ujar Bill. Ia menekankan pada kasus kekerasan rumah tangga. "Perkara perceraian dan kekerasan rumah tangga harus diputuskan dalam pengadilan konvensional,"tegasnya.

Sementara Mufti Abdul Barkatulla, anggota Dewan Syariah Islam, lembaga ulama Muslim tertinggi di Inggris meyakini ketakutan macam Bill sama sekali tak berdasar. "Pengadilan Syari'ah sangat berhati-hati untuk tidak memasuki wilayah pengadilan sipil. Sehingga hanya persoalan seputar keagamaan yang berkait dengan pengadilan ini," ujarnya.

Ulama besar ini menjelaskan jika di Inggris, pengadilan Syariah telah beroperasi berpuluh tahun dan orang bebas membawa kasus mereka pada sistem pengadilan Inggris manapun. "Itu perkara pilihan dan keyakinan, bukan paksaan dan keharusan," tegas Barkatulla.

Barkatulla sendiri menjadi anggota hakim pengadilan syariah selama 25 tahun dengan reputasi menyelesaikan berbagai pertikaian keluarga dan isu kekerasan rumah tangga. "Yang selalu saya jumpai, keputusan pengadilan lebih kepada memisahkan individu dari keluarga atau kondisi berbahaya, tidak dari komunitas," papar Barkatulla.

Menurut Pusat Islam Glasgow, ada sekitar 5.000 Muslim di Skotlandia saat ini, memposisikan Islam sebagai agama terbesar kedua di negara tersebut

Tidak ada komentar: