Rabu, 15 Oktober 2008

Kisah Pejuang Hak Berjilbab di Turki

Kisah Pejuang Hak Berjilbab di Turki

By Republika Contributor
Kisah Pejuang Hak Berjilbab di Turki Ketika Havva Yilmaz mengenakan Jilbab pada usia 16 ia tidak menyadari telah membuat keputusan yang mengubah hidupnya. Keputusan itu kini menyatu degan karakternya dan mengubah perempuan itu menjadi perjuang hak asasi dan kebebasan di Turki yang sekuler.

"Sebelum saya memutuskan berjilbab, saya tidak tahu siapa saya," ujar Yilmaz, kini 21 tahun, seperti yang dilansir oleh Herald Tribune (14/10). Sebagai remaja sekolah menengah, ia dulu mengaku bingung dengan karakter dan jati dirinya.

"Tdak ada yang murni," kenang Yilmaz. "Semua hanya semu," imbuhnya. Jilbablah, yang bagi Yilmas membantu menemukan dirinya. "Setelah saya menutup badan, akhirnya saya tahu siapa diri saya," tegas Yilmas

Namun di negara seperti Turki, dimana agama adalah isu berduri yang sering kali dibatasi di wilayah pribadi dan jilbab dilarang keras di sekolah dan universitas, keputusan Yilmaz bertemu tembok tebal.

Kedua orang tua, seperti yang dituturkan Yilmaz, sangat marah karena ia putus sekolah dan teman-teman sekolah berhenti menelponnya. Jilbab, aturan berpakaian dalam Islam, lama menjadi isu kontroversial yang ditolak keras di negara berpenduduk mayoritas Islam namun sekular itu.

Sudah lama pula jilbab dilarang di dalam bangunan-bangunan publik, universitas, sekolah, pemerintah, tidak lama setelah kudeta militer pada tahun 1980.

Lalu bagaimana kabar Yilmaz? Setelah ia putus sekolah ia mulai mendatangi grup baca filosofi politik dan belajar karya-karya para filosof dan pemikir Barat yang terkenal. Ia juga mengambil kelas sosiologi di pusat studi terbuka.

Dengan rasa percaya diri yang baru dan identitas agama kuat, Yilmaz secara bertahap menemukan jalan menjadi aktivis politik dan hak asasi garis depan di negaranya. Ia mengkampanyekan pembolehan jilbab di lingkungan kampus.

Ketika Partai Keadilan dan Pembangunan (AK) di turki mengajukan proposal undang-undang jilbab. Yilmaz beserta dua kawannya berbaris berjalan kaki menuju hotel di Istanbul pusat.

"Rasa sakit yang kami alami saat pintu universitas menutup keras tepat didepan wajah memberi kami satu pelajaran penting," ujar Yilmaz. "Masalah nyata kita adalah mental pelarangan tersebut, yang mengira mereka memiliki hak untuk mencampuri urusan hidup orang," imbuhnya tegas.

Pidato singkat yang menyentuh di hadapan wartawan itu menarik perhatian nasional. Yilmaz beserta kawannya diundang dalam acara bincang-bincang dalam sebuah TV, ia sempat diwawancara pula dalam radio dan surat kabar nasional.

Yilmaz adalah salah satu dari beberapa aktivis muda Turki yang bermunculan. Mereka tidak memperjuangkan Islam semata-mata. Ia beserta beberapa kawan mendirikan Young Civilian, kelompok yang mengkritik pedas isu-isu pemerintahan, seperti kebijakan negara terhadap Suku Kurdi, etnis minoritas terbesar di Turki

Meskipun kampanye jilbab tidak berakhir sukses, dengan keputusan pengadilan tinggi yang menganulir proposal AK--yang berarti lebih memuluskan pelarangan jilbab di kampus--,Yilmaz tidak akan pernah menyerah. "Kami melakukan sesuatu yang berharga. Orang mendengar suara kami. Jika kami bekerja sama, kami dapat melawan"

Tidak ada komentar: