Senin, 20 Oktober 2008

Ketika Musim Caleg Tiba

Ketika Musim Caleg Tiba
Kiai Romli yang tak pernah belajar ilmu politik di perguruan tinggi membagi macam-macam caleg (calon legislatif) menjadi tiga. Dia menggunakan istilah pondokan ketika menjelentrehkan macam-macam caleg itu kepada saya.

Pertama, caleg nishab. Mereka yang masuk golongan ini adalah orang-orang yang benar-benar mampu dan sangat ideal untuk menjadi anggota legislatif. Mampu artinya mumpuni secara intelektual, pendidikan, pengetahuan, dan wawasan. Biasanya, mereka adalah orang yang sudah sangat mapan secara ekonomi.

Kalaupun tertarik masuk dunia politik dan menjadi caleg, tujuan (awalnya) mereka relatif tak terkotori untuk kepentingan pragmatis (misalnya, hanya untuk dapat gaji dan fasilitas wah). Tapi, mereka ingin menjadi bagian penentu arah kebijakan negara atau daerah tertentu. Pendek kata, caleg nishab ini ingin mengejar kepuasan batin karena kepuasan materi sudah dia dapatkan.

Kedua, caleg nasib. Mereka yang masuk golongan ini bisa menjadi caleg karena bernasib baik. Dari sisi intelektual, pendidikan, pengetahuan, dan wawasan, caleg yang masuk golongan ini biasanya serba pas-pasan. Kalaupun akhirnya bisa menjadi caleg, sering karena faktor kedekatan atau kroni dengan ketua umum, atau tokoh berpengaruh di partai.

Misalnya, si A bisa menjadi caleg (di nomor urut jadi) karena sudah melalui proses ngawula selama bertahun-tahun kepada sang ketua umum partai. Awalnya, si A ikut ngenger di rumah sang ketua umum. Melayani kebutuhannya, kadang juga menjadi sopir. Ke mana pun sang ketua umum pergi, si A selalu ikut, termasuk untuk urusan partai. Ketika sang ketua umum terpilih lagi untuk yang kedua di partainya, si A dimasukkan di jajaran pengurus harian. Dan, ketika musim pencalegan tiba, si A dinominasikan menjadi caleg di nomor urut jadi. Ndilalah, saat pemilu, si A lolos dan akhirnya bisa menjadi anggota dewan. ''Kelebihan anggota dewan seperti itu biasanya hanya satu: sangat setia dengan ketua umum yang dingengeri,'' kata Kiai Romli, lantas terkekeh.

Ketiga, caleg nasab. Mereka yang masuk golongan ini bisa menjadi caleg karena punya hubungan darah dengan ketua umum dan tokoh berpengaruh di partai pengusungnya. Yang sering, si caleg adalah anak kandung ketua umum partai, atau anak kandung tokoh berpengaruh di partai itu.

Lantas, caleg macam mana yang paling banyak muncul sekarang ini? Nishab, nasib atau nasab?

***

Di jalan-jalan protokol saat ini semakin banyak berbagai macam baliho berisi gambar para caleg. Ada yang cukup pede nampang sendiri. Tapi, ada yang kurang pede sehingga fotonya disandingkan dengan tokoh nasional. Jika dari PKB, dia memasang gambar Gus Dur. Jika dari Partai Demokrat, dia memasang gambar Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Semua itu sah-sah saja untuk dilakukan.

Hanya, ketika melihat banyak baliho itu, rasanya ada yang kurang pada para caleg kita. Mereka semua terkesan hanya menjual tampang. Ketika wajahnya terpasang di baliho dan ketika masyarakat melihatnya, seakan masyarakat hanya diberi tahu: ''Inilah aku. Nomor urut bla bla bla dari dapil bla bla bla. Karena itu, pilihlah aku.''

Masyarakat terkesan ''dipaksa'' untuk mengingat-ingat wajah dan nama para caleg, kemudian ''dipaksa'' untuk memilihnya pada pemilu tahun depan. Dalam bahasa lain, masyarakat hanya diajak untuk memilih, tapi tak diberi ruang untuk menilai sehingga punya alasan mengapa harus memilih mereka.

Akhirnya, kalau boleh urun rembuk, untuk para caleg yang terhormat (apakah dari jalur nishab, nasib, maupun nasab), komunikasikanlah kepada masyarakat sejak awal, gagasan atau ide apa yang akan Anda perjuangkan untuk rakyat jika Anda terpilih. Jika itu Anda lakukan, berarti Anda telah memberi rakyat ruang untuk menilai, apakah Anda memang layak untuk dipilih. Setidaknya, ini akan lebih baik ketimbang hanya melihat wajah dan nama saja di baliho.mr-jawapos

Tidak ada komentar: