Senin, 20 Oktober 2008

Hukum Penabur

Hukum Penabur
KELUARGA Semar selalu dididik bekerja keras dan berbuat baik pada siapa pun. Terutama Bagong. Meski tubuhnya mblendhuk-lemu linthu, dia suka menolong dan baik hati. Namun, entah kenapa, pagi ini suasana hatinya berubah. Itu terlihat saat tangannya asyik mencuci piring di dekat sumur belakang rumah.

''Busyet, dah. Membosankan. Lagi-lagi khotbah kebaikan mulu. Kagak ada lainnya. Moo! Makan tuh kebaikan!'' seru Bagong mengomentari Semar yang sedang mandi.

''Ngger, kita ini kawula alit. Jangan mimpi cepat panen besar seperti Gatotkaca, Wiyasa, atau Kresna,'' timpal Semar. Bagong tambah mbesengut. Klontang..krompyang..tang! Beberapa peranti makan dari seng sengaja ditendang Bagong sambil ngeloyor pergi tancap gas sepeda onthel (eh, emang sepeda onthel ada gasnya? Gimana sih dalangnya?)

Sambil ngelinting sarung, Semar gedheg-gedgheg menatap kepergian Bagong. Onthel dikayuh Bagong dengan penuh emosi. Sampai di dataran tertinggi, batin Bagong menggumam. Karang Kadempel, dengarkan aku! Aku akan kembali sebagai big bos, Man. Sukses, gitu looh..

Lamunan Bagong dipecahkan suara helikopter full-white bertulisan Kahyangan Airways. Dari perut heli keluar semburan-semburan kertas sayembara. Tulisannya, barangsiapa bisa menghalau hama tikus di kahyangan, statusnya dinaikkan jadi kesatria. Woow! Seperti Gatotkaca, batin Bagong. ''Karang Kadempel, my dreams come true,'' serunya sambil mengepalkan tinju ke langit.

Memang, sudah beberapa waktu, hama tikus merangsek kahyangan. Itu setelah tanaman di bumi habis dirangsek tikus-tikus nakal itu, tak terkecuali di Karang Kadempel. Lalu, dengan sepeda onthel kesayangannya, Bagong bablas ke toko Koh Aliong. Dia beli detonator, dinamit, dan potas. Bahan-bahan itu lalu dia rakit jadi peledak tikus yang mematikan. Untuk ukuran tikus, itu bom nuklir lah.

Bagong pun ngeblas menuju kahyangan. Ribuan cindhil berseliweran sambut kedatangan Bagong. Putra Semar itu sampai harus meliuk-liuk menghindari cindhil yang menyerang apa saja. Diambilnya balok papan. Plak, korban pertama jatuh. Cindhil yang lainnya malah beringas menyerang.

Bagong melompat tinggi. Dengan jurus anjing kencing, senjata potas cair muncrat ke mana-mana. Kelompok cindhil berlarian tak tentu arah. Bagong terus merangsek. Blooom, sebuah lubang diledakkan Bagong. Dia lantas menyerbu masuk areal pertahanan terakhir para cindhil.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan bumi bergetar. Dari depan, muncul pasukan tikus wirog menyerang. Gantian Bagong yang dipermainkan. Lari Bagong kalah cepat, ujung celananya mulai digerogoti, baju juga. Dia lantas terus dan terus berlari ke arah tempat pembuangan akhir sampah Kayangan. Bagong hanya tinggal pakai celdam. ''Hoss,.. hoss. Emang enak jadi Gatotkaca?!'' ejek Bagong pada dirinya sendiri.

Angin yang semilir plus rasa capai yang luar biasa membelai Bagong yang berkain putih dan ujungnya diselempangkan ke pundak. Dalam langkah kewibawaan dan kekhusyukan, Bagong menuju tempat pertapaan di antara tumpukan sampah. ''Gong, bersemedilah sampai tubuhmu tak tampak. Kemurnian ada di sana, seperti Wiyasa,'' suara wangsit yang masuk ke hati Bagong.

Hari demi hari, bulan berganti bulan, tubuh Bagong kian tak terlihat karena puluhan truk menumpahkan berton-ton sampah di atas tubuhnya. Sampai-sampai, sebuah benda keras cepat mendarat di dahi Bagong. Terbangun sambil ucek-ucek mata, dia melihat orang-orang berteriak-teriak di sekitarnya mencari selamat.

Sebuah tendangan kaki bersepatu lars hitam mendarat telak di perutnya. ''Kunyuk, gelandangan! Udah berapa kali kena garuk kau? Udah kubilang, pulang kampung saja sana. Di sini kau bikin kota kumuh!'' teriak prajurit pamong praja.

Bagong tak tinggal diam, tangannya yang masih bebas melayangkan jab lurus. Diteruskan tendangan tanpa bayangan yang mengaparkan musuh. Tapi puluhan, musuhnya sontak menyerang. Bagong tak bisa luput dari hujan pukulan pentungan. Benjut-benjut dan bilur-bilur di beberapa bagian.

''Sudah, sudah, hentikan!'' teriak sang komandan. Wajah Bagong yang sudah bonyok-bonyok dikenali si komandan, Kresna. Dalam perih menyayat, Bagong menceritakan keinginannya untuk mengubah nasib seperti Kresna sekarang.

''Bisa, bisa. Aku politikus. Jadi, ada syaratnya, lho. Harus tega goroh alias berbohong. Berani?'' tantang Kresna yang dirambut anggukan antusias Bagong.

Di rumah, Kresna lantas menunjukkan senjata cakra miliknya. ''Apabila kamu bohong, cakra ini akan menempelengmu. Kalau berkata jujur, cakra akan mengejarmu ke mana pun,'' kata Kresna menerangkan syarat ''ngelmu'' tega goroh.

Untuk mencairkan suasana, Bagong diminta beli rokok. Tak seberapa lama sudah kembali. Uang kembalian dihitung Kresna, dan plaaak, cakra menempeleng Bagong cukup keras. Istri muda Kresna Pertiwi sambut kedatangan mereka dengan sajian teh dan makanan kecil. Tulululuuut, ponsel Kresna berdering. Terpampang nama Setyoboma, istri paling tua. Kresna minta Bagong yang menerima. ''Gong...Kresna di mana sekarang? Jarang pulang, punya bini baru yah,'' selidik Setyobomo.

Di sebelahnya, Kresna kedipkan mata supaya Bagong berbohong. Dasar Bagong, nama Pertiwi meluncur dari bibirnya. Njenggirat, Bagong langsung lari dikejar cakra.

Dengan sisa tenaga, Bagong lari sekencang-kencangnya. Ndubrak, kursi tamu ditabraknya. Dia lalu masuk dapur dan bersembunyi di balik badan Semar. Semar lalu minta cakra balik saja dan tidak memperpanjang perkara.

Sementara Semar merayu Cakra, Bagong menerima tamu yang mengalir untuk membalas pertolongan Bagong. Ada nenek yang dulu diselamatkan Bagong karena nyaris ketabrak truk gandeng. Ada ibu hamil yang melahirkan di trotoar yang ditolong Bagong. Wanita itu minta Bagong kerja di rumahnya. ''Ngger, yo begitu itu. Yen nabur harus tepat waktu menuainya,'' bisik Semar.

Tidak ada komentar: