Rabu, 15 Oktober 2008

Hari Pangan Sedunia

Kedaulatan Pangan merupakan Solusi Krisis Pangan

Terkait dengan peringatan Hari Pangan Sedunia pada hari ini (Kamis (16/10), Solidaritas Perempuan mendesak pemerintah membuat regulasi pertanian yang berpihak pada petani.

Pemerintah diharapkan berani mengambil sikap untuk mengeluarkan sektor pertanian dan pangan dari kesepakatan WTO. Solidaritas Perempuan, dalam siaran persnya, menilai untuk pemenuhan hak atas pangan dalam negeri tidak semestinya pemerintah menyerahkan distribusi pangan kepada mekanisme pasar bebas.

"Pemerintah seharusnya memberdayakan petani agar pangan yang diproduksi oleh petani mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri," kata Solidaritas Perempuan dalam pernyataannya.

Menurut LSM ini, krisis pangan yang melanda beberapa Negara berkembang merupakan akibat dari kenaikan harga pangan. Kenaikan harga pangan dunia bukan disebabkan oleh menurunnya produksi pangan.

Meskipun perubahan iklim semakin mengancam, namun produksi biji-bijian seperti padi, jagung, gandum dan lainnya di dunia tahun 2007 mencapai rekor tertinggi yaitu 2,1 milyar ton, naik 4,6 persen dari tahun sebelumnya.

Peningkatan produksi pangan yang spektakuler terjadi di Amerika Utara yang naik 20,2%, disusul Oseania sebesar 19,4%, dan Amerika Selatan sebesar 17,8%, Amerika Tengah dan Karibia meningkat 6,4% dan peningkatan terkecil terjadi di Asia – yakni hanya 1,7%.

Sedangkan negara-negara di Afrika mengalami penurunan produksi pangan sebesar 5,9% demikian juga di Eropa turun 4,6% (meskipun Uni Eropa meningkat 4,5%). Sayangnya kenaikan produksi pangan itu tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk miskin yang kekurangan pangan khususnya di negara-negara miskin, tetapi digunakan untuk membuat bahan bakar dan pakan ternak.

Harga minyak yang terus meningkat mendorong penambahan konversi penggunaan hasil pertanian pangan untuk bahan bakar nabati (biofuel). Diperkirakan sekitar 100 juta ton hasil panen biji-bijian digunakan untuk membuat bahan bakar nabati, di mana 95 juta ton di antaranya berupa jagung.

Situasi ini menyebabkan jutaan penduduk miskin di seluruh dunia terancam kelaparan dan gizi buruk yang mengakibatkan kematian. Sebagai contoh: tragedi meninggalnya salah satu perempuan hamil di wilayah Sulawesi Selatan akibat kelaparan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, orang tua harus memotong biaya pembelanjaan untuk makan, yang berdampak pada kekurangan gizi pada keluarga, khususnya perempuan dan anak-anak.

"Ini berarti, anak-anak dan perempuan rentan kesehatannya karena kekurangan gizi. Bahkan, banyak anak-anak terpaksa harus keluar dari sekolah dan bekerja untuk membantu menopang hidup keluarga. Kondisi seperti ini selanjutnya akan berdampak pada kualitas generasi ke depan," jelas Solidaritas Perempuan.

Menurut Solidaritas Perempuan, sistem pangan global yang dikuasai oleh industri pertanian-pangan raksasa telah menghancurkan usaha tani jutaan keluarga petani kecil di seluruh dunia.

Krisis pangan saat ini merupakan buah dari kebijakan Revolusi Hijau dunia yang dimulai sejak tahun 1950-an dan liberalisasi perdagangan dan program penyesuaian struktural yang dipaksakan oleh Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) kepada negara-negara miskin sejak tahun 1970-an. Kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) semakin memperparah situasi.

Perjanjian ini menjadi titik balik sejarah sistem perdagangan multilateral karena memasukkan pertanian - terutama pangan - sebagai komoditas perdagangan yang secara esensial diatur sama seperti barang-barang industri.

Dalam implementasinya, kebijakan itu menekan negara-negara untuk menghapus berbagai perlindungan yang sebelumnya diberikan kepada para petani kecil dan mengurangi proteksi impor melalui penurunan bahkan penghapusan tarif impor. Namun sebaliknya, negara-negara kaya justru memberi subsidi pertanian dalam jumlah yang sangat besar.

"Tentu saja liberalisasi perdagangan ini lebih menguntungan petani kaya dan perusahaan raksasa pertanian-pangan di negara-negara maju dibanding petani negara berkembang."

Liberalisasi perdagangan pertanian ini menyebabkan meningkatkan impor pangan, mengurangi insentif dan pendapatan petani juga kemiskinan dan kerawanan pangan yang mendorong terjadinya urbanisasi di kalangan petani kecil, terutama kaum perempuan petani.

Secara global, hal itu juga menyebabkan perubahan status sebagian besar negara-negara sedang berkembang dari negara swasembada bahkan eksportir pangan menjadi negara importir pangan. Saat ini, sekitar 70 persen negara sedang berkembang merupakan pengimpor pangan. Sementara jumlah penduduk kelaparan lebih dari 850 juta orang, dan ironisnya 80% dari mereka adalah petani kecil.

"Berdasarkan fakta-fakta di atas, kami melihat bahwa pemerintah tidak serius dan mempunyai niat baik untuk melakukan tindakan melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat khususnya petani," tegas Solidaritas Perempuan.

Tidak ada komentar: