Kamis, 16 Oktober 2008

Gemulai Pemetik Kopi

Gemulai Pemetik Kopi

Pada zaman sekarang, tradisi minum kopi telah menjadi salah satu simbol gaya hidup modern. Bagaimana tidak, sejumlah gerai kopi berlisensi internasional maupun lokal telah membanjiri setiap sudut kota besar. Di balik biji yang pada awalnya ditemukan bangsa Etiopia itu dipetik dari hasil perjuangan para buruh, seperti di perkebunan PT Perkebunan Nusantara IX (PTPN), Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Sejak pagi buta puluhan buruh yang mayoritas perempuan tersebut telah bersiap masuk ke kebun untuk memetik biji kopi masak. Kepala rombongan berjalan membawa tongkat yang ujungnya diikat bendera kecil diikuti anak buahnya. Dengan menyusup di antara pohon, tangan mereka meraih buah yang siap panen.

Mereka bekerja untuk PTPN IX yang mengelola kebun kopi seluas 424 hektar, meliputi Ambarawa dan Bawen. Kopi berjenis robusta itu sebagian diproduksi sendiri dan diekspor ke Jepang serta Italia.
Sementara itu, obrolan ringan, seperti keluarga, gosip artis terkini, dan masalah yang dihadapi, kerap terdengar memecah kesunyian kebun. Kepanikan atau keluhan gara-gara dikerubuti semut dan digerayangi ular juga sering terdengar.

Tangan-tangan dengan cepat meraih biji kopi, lalu memasukkan ke dalam karung yang telah diberi tanda nomor. Seharian para pemetik bisa memperoleh lebih kurang 50 kilogram biji kopi. Tentu saja upah mereka dihitung dari berat kopi yang dipetik dengan standar Rp 250 hingga Rp 350 per kilogram.

Dapat dibayangkan seberapa berat mereka untuk dapat meraih Rp 20.000 per hari, apalagi usia mereka banyak yang sudah menginjak sekitar 50 tahun. Setelah sore hari, suara riuh penuh canda kembali terdengar saat para buruh petik berebut ruang di dalam bak truk. Mereka menjejali bak truk yang menjadi alat transportasi antar jemput ke desa masing-masing.
Ibarat kopi, walaupun rasanya pahit, tetap disukai. Begitulah gambaran para buruh petik yang siap memenuhi gelas-gelas kosong di kafe.

Tidak ada komentar: