Kamis, 16 Oktober 2008

Sepenggal Pendidikan di Tanah Abang

Sepenggal Pendidikan di Tanah Abang

BAGI Agus (10) hidup bersama orangtua di permukiman liar di samping dua perlintasan kereta api, bukan berarti tidak punya kesempatan belajar. Petang itu, dengan lantangnya dia berteriak kepada teman-teman seusia, "Ayo belajar jangan pada main!" Entah seserius apakah dia, yang jelas temen-temannya pun langsung patuh dan memenuhi sebuah gubuk untuk belajar bersama.

Sore sebelumnya, di antara air sungai yang menembus tanggul Banjir Kanal Barat, mendesir hingga menciptakan hamparan busa limbah, ia terlihat berkecipak mandi di sungai sambil menyelam. Asyik saja tidak ada beban atau ketakutan kalau air sungai hitam berbusa tercemar limbah industri dan rumah tangga. "Ayo kak mandi airnya dalam, beneran ini gak cetek," pintanya.

Begitu selesai mandi, dari tubuhnya masih terendus bau limbah dan dia langsung ambil bagian ikut belajar bersama di gubuk Sahabat Anak Tanah Abang, Jakarta Pusat, tempat bimbingan belajar bagi anak-anak urban yang dimotori para pemuda relawan.

Ada sekitar 40 anak usia lima sampai 15 tahun ikut dalam bimbingan belajar, di rumah belajar yang sangat sederhana itu. Mereka rata-rata anak pekerja keras yang putus sekolah, anak jalanan, pemulung, pengemis, tapi ada juga sebagian yang masih bersekolah.

Proses belajar tidak melulu berlangsung tertib seperti layaknya sekolah formal. Ada heterogenitas yang tergambar ketika belasan anak dari dua kelompok usia berbeda belajar dalam satu ruang pengap dan sempit. Hilda (6) misalnya, ia tiduran sambil disela tangis sementara teman-temannya tafakur belajar.

Lalu ada juga anak yang sepanjang jam bimbingan belajar hanya ribut dan bermain. Suasana bertambah gaduh ketika kereta api lalu lalang menderit bising. Namun, di tengah kondisi riuh itu, anak-anak tetap melahap soal-soal pelajaran.

Agung (11) dan kakak perempuannya Hilmi (14), dengan gesitnya menyelesaikan soal-soal perkalian yang disodorkan Sovie, guru relawan yang mengajar Sabtu sore, akhir Agustus silam. Pertanyaan yang dilempar langsung disambut dan dijawab tanpa pikir panjang oleh bersaudara itu. "Agung dan Hilmi anak yang paling menonjol di sini (Sahabat Anak), mereka juga berprestasi di sekolah, kalau anak lainnya yang tidak bersekolah sebenarnya pintar, hanya saja kelakuan mereka yang mesti dipahami," ujar Sovie.

Di luar waktu di rumah belajar, kehidupan anak-anak urban ini berubah. Saat siang mereka bekerja dan ketika malam "mencari" uang, tapi mereka juga ingat punya waktu petang yang khusus untuk bisa belajar.

Vonis masyarakat terhadap anak jalanan yang kriminal, tidak berpendidikan, marjinal apalagi liar, tidak selalu terbukti bahkan stereotipe jika dihadapkan pada fakta mereka juga punya semangat belajar, semangat yang barangkali belum tentu dimiliki oleh anak terpelajar umumnya. Fikria Hidayat

Tidak ada komentar: