Senin, 13 Oktober 2008

Jangan Panggil Saya Habib"

Jangan Panggil Saya Habib"

By John Nikita

"Jangan panggil saya habib," begitu kata Pangeran Nata Kesuma alias Abdurrahman. Lelaki usia 62 tahun ini bertutur bahwa ia keturunan langsung Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadry, pendiri dan sekaligus juga raja pertama Kerajaan Kadriah di Kalimantan Barat.

Meski bergelar Pangeran Nata Kesuma, Abdurrahman enggan menonjolkan diri sebagai keturunan kesembilan dari raja yang juga pendiri kota Pontianak tersebut. Ia tak ingin ada jarak dengan masyarakat yang mengenal betul siapa dirinya.

Berdasarkan silsilah, Abdurrahman berasal dari Ratu Tjikra Kesuma dan Ratu Tata Negara, dua dari lima putri Sultan Syarif Muhamad Alkadrie yang juga memiliki delapan putra termasuk Pangeran Agung, Pangeran Adipati, Pangeran Muda, dan dan Sultan Hamid II.

"Dulu putra putri raja kawin di situ-situ saja, mereka masih bersepupu," kata putra Syarif Yakub Alkadrie tersebut, menjelaskan bagaimana sampai ia memiliki dua nenek sekaligus.

Menyelesaikan sekolah hingga SMA di "Kota Jeruk", Abdurrahman hanya sempat kuliah empat tahun di Fakultas Pertanian Universitas Tanjung Pura.

Berhenti kuliah tahun 1996, suami dari Sulasmi (38) dan ayah dari Muhammad Qadriyanto (15) ini bekerja sebagai pengusaha. Bersama keluarganya ia tinggal di Jalan Perdamaian B-35, Kota Baru, Pontianak Kota.

Abdurrahman tidak ingin disebut Habib atau pemimpin bukan tanpa alasan. Pria kelahiran Kampung Dalam Bugis, 12 April 1962 itu mengatakan bahwa setidak-tidaknya ada dua alasan mengapa ia tidak bisa menjadi Sultan.

"Sebenarnya karena kesadaran saya sendiri. Isteri saya kan orang Jawa, dia asal Pacitan. Kedua, karena alasan silsilah. Kalau saya tak salah hukumnya dalam Islam begitu," katanya.

"Karena itu pula saya tak mau disebut orang keraton. Sering orang yang kenal kalau bertemu saya langsung cium tangan. Saya tidak mau, saya juga katakan kepada mereka, `Jangan panggil saya habib`," katanya.

Ditemui sedang mengantarkan tiga orang pengunjung yang baru tiba dari Brunei Darusalam, akhir pekan lalu, Abdurrahman hanya mengenakan setelan celana hitam-kemeja batik sederhana warna biru, dan bersandal kulit.

Dengan sabar ia menjelaskan setiap benda peninggalan yang terdapat di dalam keraton, termasuk foto-foto para leluhurnya.

Di dinding ruangan bagian belakang keraton, tergantung sebuah pigura berkaca yang di dalamnya terdapat kertas besar berisi tulisan tentang silsilah para raja, dimulai dari Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri, kemudian Sultan Oesman, Sultan Kasim yang sebelumnya pernah mengungsi dan menjadi Sultan di kerajaan Mempawah, Sultan Hamid I, Sultan Yusuf, Sultan Syarif Muhammad Alkadri, Sultan Hamid II (meninggal di Jakarta tahun 1975), dan Sultan Syarif Abubakar yang baru dilantik tahun lalu dan merupakan anak dari Pangeran Agung alias Syarif Mahmud Alkadri.

Menurut Abdurrahman, setelah Sultan Hamid II meninggal sempat terjadi kekosongan tampuk pimpinan di Keraton Kadriah, sampai keluarga kerajaan berkumpul pada tahun lalu dan menunjuk Syarif Abubakar sebagai Sultan. "Kalau ditelusuri, sebenarnya saya berhak menjadi Sultan. Tapi ya itu tadi, saya sadar diri," katanya.

Berdarah Arab

Sejarah terbentuknya Kerajaan Kadriah berawal dari Habib Husein Al Qadry (baca Al Kadria), seorang penyebar agama Islam asal Yaman Selatan, tepatnya dari desa Hadral Maudz. "Walaupun tidak berhidung mancung, kita ini sebenarnya orang Arab," kata Abdurrahman.

Ia menuturkan, Habib Husein dalam perantauannya tiba dan menetap di Kerajaan Mempawah. Dari pernikahan dengan putri raja Tanjungpura, ia dikarunia anak yang diberinya nama Syarif Abdurrahman Al Qadry.

Syarif muda banyak melakukan pelayaran dagang bersama para pengikutnya. Ia juga menikah dengan putri Putri Tjindramidi, anak Opu Daeng Manambun, raja Mempawah.

Karena merasa tidak mungkin menjadi raja di Mempawah, ia memutuskan mencari daerah baru hingga tiba di Kampung Bugis, yang dahulu merupakan delta di persimpangan Sungai Landak dan Sungai Kapuas.

Saat ingin memasuki delta itu, ia memerintahkan pengikutnya untuk menembaki peluru-meriam guna mengusir bajak laut yang banyak bermukim di sana. Setelah dirasakan aman, ia bersama pengikutnya masuk dan langsung membangun pusat kegiatan perdagangan.

Pada 1771, ia membangun Mesjid Jami Syarif Abdurrahman Al Qadry, tujuh tahun sebelum membangun kerajaan yang disebut Keraton Kadriah. Untuk menentukan batas wilayah kekuasaan, Sultan juga menembakkan peluru-meriam yang akhirnya jatuh di Batu Layang.

Setelah Syarif Abdurrahman Al Qadry wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama Oesman. Oesman dilantik sebagai sultan setelah terjadi pertikaian dengan saudara kandungnya, Kasim, yang akhirnya mengungsi dan berlindung di Mempawah. Setelah Sultan Oesman wafat, barulah Kasim kembali ke Kerajaan Kadriah untuk menggantikannya.

Pengganti Sultan Kasim adalah Sultan Hamid II, yang dikenal sebagai pembuat gambar Burung Garuda sebagai lambang negara Republik Indonesia. Sultan Hamid II meninggal dunia di Jakarta pada 1975, dan kepemimpinannya diteruskan oleh putranya yang bernama Sultan Yusuf.

Setelah Sultan Yusuf wafat, putranya yang bernama Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dilantik menjadi raja. "Lah, Sultan Muhammad Alkadrie inilah kakek buyut saya. Beliau punya lima anak perempuan, yakni Ratu Tata Negara, Ratu Anum Bendahara, Ratu Perbu Wijaya, Ratu Tjikra Kesuma, dan Ratu Kesuma Yudha. Itu pula sebabnya saya ini mempunyai gelar Pangeran Nata Kesuma. Tapi sudahlah, tidak penting itu," kata Abdurrahman.mr-reepublika

Tidak ada komentar: