Rabu, 15 Oktober 2008

Di Tikungan Waktu

Di Tikungan Waktu

Oleh: Weni Suryandari

Senja ini ada sesuatu yang membuat langit menjadi merah. Mendung seakan tak mau berteman dengan gerimis. Sekeping hati sedang resah dan merasa tercabik-cabik. Semua meluruh dalam batinnya yang begitu gamang. Rike nama sang pemilik hati itu. Wanita berusia 40 tahun-an yang bersuamikan Romi, seorang dokter kandungan yang sangat sibuk, mempunyai dua anak, putra dan putri.

Rike wanita matang bermata indah, dengan rambut ikal sebahu dan tinggi semampai, cantik dan menarik meski usianya sudah tak muda lagi. Ia tertegun memandangi sebuah kisah yang terbaca dari layar monitor yang membuat kelebat Deni Pramana, sang pengarang, bersemayam di otaknya dengan begitu kokoh. Lelaki yang bernama Deni Pramana itu, telah menghunjamkan luka yang begitu dalam.

Bagi Rike yang rapuh, perjalanan hidupnya ia rasakan seperti sebuah mesin saja. Dengan segala rutintas pekerjaannya, kesibukan Romi suaminya yang luar biasa, kerap menjadikannya sebagai sosok istri yang begitu sulit untuk memunguti serpihan waktu agar membuatnya merasa bahagia. Maklum, perjodohan dengan Romi dulu memang belum menghadirkan cinta sepenuhnya di hati Rike. Meski pernikahan mereka memiliki dua orang anak, namun bagi Rike, semua mengalir seperti mesin. Berputar, mekanis.

Kehadiran Deni membawa perubahan yang begitu dahsyat dalam kehidupannya. Dingatnya kembali seluruh adegan kebersamaannya dengan Deni. Tak percaya Rike dengan seluruh kenangan yang mengusiknya. Rasa sakit menjalari seluruh hatinya. Ia merasa betapa lacur telah membiarkan dirinya terhanyut dalam kisah kasih terlarang itu. Di lengkung senja sunyi, Rike menangis sambil menatapi layar kaca monitor yang membisu di depannya.

Selama beberapa tahun terakhir ini, Rike memang hanya melakukan aktivitasnya sebagai penulis novel dan cerpen, selain bekerja sebagai intsruktur di sebuah perusahaan rekrutmen tenaga kerja. Namun kegemarannya pada sastra yang sudah bertahun-tahun ditinggalkannya menariknya kembali untuk mulai menulis. Beberapa tahun belakangan ini ia kembali bergelut dengan kata-kata, kisah-kisah dan coretan puisi. Semua berawal dari kejenuhan hatinya, sehingga begitu banyak karangan yang telah tercipta dari buah pikirannya.

Dari situ ia mulai merambah dunia maya. Atas saran dari beberapa temannya, ia membuat sebuah situs untuk tempatnya
mencurahkan hasil karyanya. Beberapa nama sastrawan dan penyair yang lebih senior mulai mengenalnya. Bagi Rike yang selama ini hidupnya lurus-lurus saja dan begitu rutin, semua peristiwa yang menghampiri dirinya dirasakannya sebagai sebuah oase ditengah kekeringan batinnya.

Pria penyair senior yang bernama Deni Pramana menyapanya lewat layar monitor ketika Rike baru saja menjejakkan pantatnya di depan computer sepulang kerja siang itu.
“Selamat siang penyair…”
“Selamat siang, ini siapa ya?” jawab Rike. Sesungguhnya Rike tidak tahu siapa pria yang berinisial maya itu. Setahunya, biasanya nama pribadi tidak nampak jika seseorang membuat alamat email. Rike selalu berprasangka baik, bahwa semua yang menyapanya pastilah para penggiat sastra atau penulis. Pernah beberapa waktu yang lalu seorang pengarang yang tak ia kenal bahkan meminta pendapatnya atas novel keempatnya. Rike memang senang berdiskusi dan belajar dengan penulis yang lebih mapan.
“Nama saya Deni Pramana. Biasa dipanggil Deni”
“Oh, ma’af. Mas Deni kenal saya dari mana ya? Rasanya kita belum pernah bertemu, di dunia maya atau nyata?”
“Saya tahu anda akan tampil besok ya? Good Luck. Semoga sukses. ” balas Deni tanpa menjawab pertanyaan Rike. Dari mana ia tahu bahwa Rike akan tampil membacakan puisi di acara sastra besok?
“Oh, terima kasih.“ jawab Rike masih dengan keheranan. Percakapan selanjutnya mengalir dengan lancar. Deni menjelaskan, bahwa dia adalah seorang Ketua sebuah komunitas Sastra.

Dengan kepolosannya Rike menerima persahabatan baru itu. Berbunga-bunga hatinya menerima sapaan dari seorang sastrawan yang lebih senior. Hari-harinya mulai dipenuhi oleh percakapan demi percakapan lewat layar kaca komputer.

Waktu bergulir dalam titian bahagia, bait-bait puisi mulai menjadi menu harian percakapan mereka. Sajak rindu, sajak perih dan syair-syair indah mulai saling terkirim. Rike tersanjung dengan semua yang dialaminya. Deni menceritakan segala kegundahannya pada Rike, tanpa diminta. Tergeragap Rike dibuatnya. Ia tak pernah menyangka seorang pria akan dengan mudah mencurahkan seluruh isi hatinya.

“Rike, aku boleh minta fotomu?” Deni berucap pada suatu hari.
“Haah…? Buat apa? Seperti anak kecil saja.”
“Buat kutatap saat ku rindu.”
“Ah, aku tak begitu suka menyimpan foto. Hanya ada foto yang sedikit yang Mas lihat itu.”
“Aku kirimkan fotoku ya…supaya kamu bisa mengenangku.”

Dilihatnya foto itu. Ah, ini yang namanya Deni. Wajahnya bersih, berkumis teratur, bertopi. Namun begitu, Rike tetap ridak mau mengirimkan fotonya. Ia tidak hendak melanjutkannya menjadi sebuah hubungan yang serius. Ia cukup tahu diri dengan status Deni dan statusnya sendiri yang sudah berkeluarga. Meski masing-masing menyimpan persoalan yang berbeda-beda. Deni kerap menceritakan persoalan rumah tangganya secara terbuka. Semua diceritakannya pada Rike dengan polos. Termasuk isi sms dari istrinya dan anaknya. Sungguhpun demikian, Deni tetap sopan, dewasa dan teguh pendirian.

Bagi seorang Rike, mustahil menceritakan persoalannya sendiri pada orang lain. Baginya, persoalan keluarga adalah persoalannya sendiri yang belum tentu orang lain mau menanggung bersama atas perih yang dirasakannya. Rike selalu beranggapan, sesungguhnya orang lain juga punya persoalan sendiri yang belum tentu bisa diatasinya.

Kabut rindu mulai merayapi hati Deni. Selain percakapan yang terjalin melalui monitor, kerap Deni tak sabar menyimpan rindunya lalu segera menelepon Rike meski layar masih terbuka untuk saling bercakap. Deni selalu bilang, agar rindu sedikit terobati bila mendengar suaranya.

Rasa sayang perlahan tumbuh di hati gamang Rike. Seperti tetesan embun yang semakin lama semakin menggenangi perasaannya yang kerontang. Meskipun dengan anak-anaknya Rike begitu mesra dan dekat, namun dengan suaminya Romi? Lama sudah getar cinta itu hilang di hati Rike seiring perubahan yang terjadi dalam kehidupan mereka. Semua terasa hambar. Romi lebih mementingkan pekerjaannya ketimbang memperhatikan Rike sebagai istrinya.
“Mas, ada dimana? Aku rindu.” Hatipun bertaut.
“Aku ada rapat. Nanti aku telpon. “ Begitu balasan smsnya.

Dan memang benar, Deni selalu menghubunginya kembali. Ia tak hendak membuat Rike menjadi terabaikan. Deni ingin membuat hidup Rike menjadi berarti. Meski Rike selalu menganggap Deni adalah lelaki misterius. Namun pertemuan demi pertemuan membuat Rike semakin yakin bahwa Deni adalah seorang teman yang baik dan membuat Rike merasa nyaman.

***
Senja berkabut jingga di suatu hari ketika Rike membaca sebuah pesan singkat di ponselnya. Dari Deni yang menghendaki Rike untuk segera online. Rike bangkit dari tempat tidurnya. Ia tersenyum.
“Mas…”
“Iya…lagi apa?”
“Habis tidur siang. Kepalaku agak pusing pulang kerja. Anak-anak sedang tidur di kamar atas. “
“Rike….maukah kamu bertemu denganku?” Deni bertanya hati-hati. Ia tak ingin membuat Rike tersinggung. Padahal Rike mengharapkan ajakan seperti ini.
“Hmmm….kapan ya? Dimana?”
“Bagaimana kalau besok, untuk acara makan malam? Di TIM?” Jawab Deni.
“Oke. besok?”
“Ya, kuusahakan besok jam tujuh aku sampai di sana.”
“Baiklah. Tapi Mas…aku jadi takut.” Rike mulai ragu..
“Sampai kapan hubungan aneh ini akan berlangsung?” lanjutnya
“Tergantung kamu. Sampai kamu bosan” Deni menjawab.
“Aku takut kamu cepat bosan.” Rike merajuk.
“Bagaimana jika aku tidak cepat bosan?” Sahut Deni.

Rike tertegun. Ia tak mampu lagi berargumentasi. Yang Rike takutkan adalah rasa ketergantungan yang berlebihan dan akan merusak seluruh jiwanya. Betapa Rike pernah merasakan ketergantungan terhadap seseorang dengan sangat, hingga dia merasa kapok dan tak ingin terulang lagi. Rasa sakit itu masih terasa membekas.

Sore itu, Rike begitu tak sabar menunggu detik berlalunya waktu. Deni pun tak kalah gairah. Secepat kilat ia bereskan segala tugas kantor. Semua berkas di mejanya ia rapikan. Sebentar-sebentar matanya melihat jam tangan. Ia tak ingin terjebak macetnya Jakarta di waktu sore yang akan membuat Rike menunggu terlalu lama. Deni tak ingin Rike kecewa. Ia tiba lebih dahulu di café itu. Sebentar-sebentar ia menelpon Rike. Rasa khawatir membuatnya bolak balik melihat jam. Deni benar-benar tak sabar. Rasa ingin bertemu membuatnya semakin gugup.

“Mas Deni…..!” Rike menegur dengan ramah. Senyumnya mengembang demi dilihatnya Deni sedang menunggunya sambil mengepulkan asap rokoknya. Deni memandang Rike dengan tertegun. Serba salah Rike dibuatnya. Apakah aku terlalu tua? Atau terlalu sederhana? Atau kampungan? Ah, ia melihat Deni begitu berwibawa. Kematangannya terlihat jelas. Perlahan Rike duduk di sofa kecil. Deni mengajak Rike memasuki café dengan mengembangkan tangannya berusaha menggandeng Rike. Jengah oleh sikap Deni, ia menghindari rengkuhan tangan Deni. Entah kenapa, Rike tak terbiasa melakukan pertemuan rahasia dengan lelaki lain. Ia merasa tak pantas. Ada rasa berdosa membayangi hati kecilnya.

Deni memilih duduk di sudut dan segera memanggil pelayan. Dipesannya sop buntut, makanan kegemaran Rike. Tapi hanya satu porsi. Semua makanan dipesannya hanya untuk Rike. Serba salah Rike dibuatnya. Pertemuan yang membawa canggung itu dibuat oleh Deni menjadi sesantai mungkin. Tak segan Deni memandangi wajah Rike dari dekat. Ya, seorang Ibu yang meski berusia 40 tahun tapi nampak masih memiliki pesona. Matanya bersinar indah. Mata yang selalu dilihatnya di layar computer. Struktur tulang wajahnya memancarkan kecantikan. Meskipun ada titian sepi yang kadang tersirat dari tatapannya. Wanita berambut ikal sebahu itu tampak menarik di mata Deni. Entah apa yang dirasakan Deni. Ia memandangi wajah Rike yang merasa sedang diawasi oleh beberapa pasang mata. Rike benar-benar rikuh, karena ini adalah pengalaman pertamanya.

“Rieke, aku ingin menciummu…….” Deni berbisik. Rike salah tingkah. Wajahnya memerah dadu. Ia menunduk sambil mencungkil daging yang sudah terhidang, tak menjawab. Kenyang oleh sikap Deni yang begitu mesra, Rike menghentikan makannya. Anehnya, Deni hendak menghabiskan makanan Rike dengan menggunakan sendok yang sama dan piring yang sama. Meski hanya satu suapan. Deni benar-benar romantis. Disuapinya Rike dengan sepotong daging. Rike enggan dan ia mengambil sendok dari tangan Deni. Malu ia dibuatnya. Rike mulai merasa jatuh cinta. Betapa romantisnya lelaki ini.
“Rike, tadi sebenarnya aku mau tiduran sebentar. Kepalaku agak pusing sebab perutku terganggu”
“Kenapa Mas? Apa karena terlalu lama menunggu ku?”
“Mungkin. AKu mikirin kamu tadi. Aku nggak sabar menunggu.”
Rike menghela nafas.
“Ma’afkan aku. Lalu….sekarang kita mau kemana lagi? Ngobrol di sini saja?”
“Kamu mau pulang jam berapa?”
“Aku harus sampai di rumah jam 10. Aku sudah berjanji pada anak-anakku. Kita Cuma punya waktu dua jam.”
“ Bagaimana kalau kamu pulang jam setengah sepuluh, nanti kuantar. “
"Baik. Yang penting Mas Deni antar aku pulang."

Percakapan mengalir tak terasa. Tak diberikannya Rike kesempatan untuk berkomentar atau bertanya. Kasihan sekali lelaki ini. Ia menyimpan berjuta perih, dan itu terbaca dari novelnya yang seakan adalah personifikasi dirinya. Malam berlalu begitu cepat bagi mereka berdua. Deni segera mengantar Rike keluar dari café dan menuju pelataran parkir.

Suasana begitu gelap di TIM saat itu. Mereka berdua memasuki mobil Deni. Deni menggenggam jemari Rike.
“Rike, boleh aku menciummu?” Tanya Deni untuk kedua kalinya. Rike menatap Deni tajam. Mata Rike yang syahdu memandang Deni dengan sepenuh kagum dan kepasrahan. Deni merengkuh dagu Rike, bibir mereka saling melumat begitu lama dan dalam. Rike terhanyut dengan suasana. Nafas keduanya memburu begitu cepat, seakan tak ada lagi batas yang harus mereka ingat. Kegetiran dan kegamangan bertemu dalam pagutan rembulan yang terasa begitu indah.

“Mas, sudah. Ayo kita pulang. Sudah malam.” Rike melepas pelukannya. Deni tersadar, dan segera menstarter mobilnya. Keduanya pun terdiam. Rasa terkejut atas apa yang baru saja terjadi membuat meraka terpasung dalam bisu. Keduanya sama-sama memikirkan apa yang baru saja mereka alami.

Tiba di rumah, didapatinya anaknya sudah tertidur pulas, dan Romi, seperti biasanya sedang asyik di kliniknya. Pemandangan yang biasa buat Rike, yang membuatnya makin merasa berjarak dengan Romi. Namun pertemuan dengan Deni malam itu, memberi rasa nyaman yang menyejukkan. Hari demi hari berlalu dengan percakapan terjalin lewat telepon dan layar computer. Waktu yang mereka miliki memang terbatas, karena Deni adalah seorang pegawai negeri dan Rike juga seorang wanita karier.

***
Gerimis senja menjingga sore itu, layar computer tetap terbuka dan dibacanya kisah tersebut sekali lagi. Rike membasah air mata tak henti. Hatinya begitu hancur membaca kisah cerpen itu. Selama ini Rike merasa tersanjung, meski Deni tak pernah sekalipun mengatakan cinta. Ya, Deni tak mungkin menyatakan cinta, karena batas itu begitu jelas. Deni mencintai anak-anaknya, hingga tak mungkin memutuskan berpisah dengan istrinya. Kehidupan pahit memang harus dijalaninya sendirian. Rike juga tak mungkin meninggalkan keluarganya, karena tanggung jawabnya yang begitu besar terhadap anak-anaknya, dan rasa takut melawan arus jika terjadi perceraian dengan suaminya, Romi.

Rike menyusut air matanya perlahan. Semua adegan yang pernah dialaminya membayang begitu jelas. Ketika Deni memeluknya di sebuah kamar hotel, ketika keduanya berpagut dan menyatu dalam hubungan terlarang. Setiap adegan membayang kembali bagaikan menonton sebuah film dengan dirinya dan Deni sebagai tokoh utama. Perih hatinya mengingat itu semua. Bagi seorang Rike, tak mudah bercinta jika bukan karena cinta. Tapi samakah halnya bagi seorang Deni?

Pernah Rike bertanya pada Deni setelah semua yang pernah terjadi dan kelanjutan hubungan yang tidak jelas itu.
“Mas, jika aku hanya pelampiasan nafsumu, betapa kotornya aku.” ujarnya ketika itu.
“Jangan bicara begitu. AKu tidak suka. Kamu tahu kamu buka pelampiasan nafsuku. Kamu percaya ‘kan?”
“Nggak tahu Mas, aku merasa puisi-puisi Mas belakangan ini bukan tentang aku. Tapi tentang orang lain.” Rike menahan gemuruh. Akhir-akhir ini Rike sering menangis, meski ia tak begitu yakin apa yang membuatnya gundah.
“Aku nggak bisa cerita, Rike. Puisi itu tentang seseorang. Ceritanya panjang.”
“Hm, ceritanya panjang dan masih tersimpan? Lalu selama ini Mas anggap aku apa? Wajar kan kalau aku berprasangka begitu?”
“Rike…bagiku kamu tetap lain. Aku menyukaimu.”
“Suka? Cuma itu?”
“Rike, buatku, tak semudah itu untuk bicara cinta. Kita bukan remaja lagi Rike. Dan please, jangan mudah berprasangka padaku.”
Rike menahan airmatanya. Ia menahan perih dan sesal yang begitu dalam ketika Deni mengucapkan itu.
“Kalau kita bertemu minggu depan, akan aku ceritakan semuanya. Tapi kumohon hilangkan prasangkamu itu. Kamu harus tahu dariku dengan sejelas-jelasnya. Jangan menganggapku begitu.”
“Aku cemburu Mas. “ Rike tak kuasa menangis. Baginya semua alasan terdengar sangat absurd.

Deni tak kuasa menahan gejolaknya. Ia menarik nafas panjang. Banyak yang ingin ia ceritakan, namun pria yang melankolis itu tampak tak mampu bercerita dengan singkat. Sekali saja ia bercerita, maka air matanya pasti akan mengembang. Itu yang sangat sulit untuk dilakukannya saat ini. Ada luka dan obsesi yang begitu kental menyiksa batinnya dari waktu ke waktu. Itu yang belum diceritakannya pada Rike.

Namun ditengah keraguan Rike, ia percaya bahwa Deni sesungguhnya masih sangat membutuhkan dirinya. Setiap saat Deni begitu setia mengajaknya bercakap, atau menceritakan kegiatan hariannya yang begitu padat. Bahkan ketika ia sedang ada waktu kosong, ia pasti akan meminta Rike untuk segera membuka computer untuk bercakap dan saling berkirim puisi.

Tapi senja itu, sebuah cerpen yang dibacanya dari situs Deni membuat Rike makin merasa yakin bahwa peristiwa yang menorehkan pahit itu adalah tentang kisah masa lalu Deni. Yang membuat Rike tak tahan adalah, bahwa beberapa percakapan yang tertuang sama persis dengan percakapan yang pernah terjalin antara Deni dan dirinya pada suatu senja di sebuah kamar hotel. Sedangkan Cerpen itu ditulis beberapa bulan yang lalu ketika Rike belum mengenal Deni sama sekali.

Linangan air mata membanjiri pipinya bersama kilasan bayangan kamar hotel. Segenap alam seakan ikut mengutuki nasibnya. Ia merasa terkutuk. Segera ia menuju kamar mandi dan mengguyuri seluruh tubuhnya. Rasa sesal yang begitu dalam membuatnya betah berendam berjam-jam di bath-tub. Ia menangis terus dan menggosok-gosok seluruh tubuhnya dengan air berbusa. Tak ada yang terlewat.

Epilog

Kutatap istriku yang sedang berendam sambil menangis tak henti. Matanya sembab, rambutnya kusut oleh guyuran air kran. Ini adalah kali ke tiga ia berendam berjam-jam di situ dengan sikap anehnya. Jika kuanggap sudah cukup, kubentangkan handuk untuknya, dan ia akan berdiri menggigil tanpa menatapku. Pakaian yang kusiapkan dipakainya sendiri, tapi mustahil ia akan mengambilnya sendiri dari dalam lemari. Anak-anakku terbengkalai akan perhatiannya yang hangat seperti dulu. Mereka menangis.
AKu takut terjadi sesuatu pada Rike. Rike seolah tak mendengar apa-apa. Hanya jemarinya saja yang terus menerus menggosoki seluruh kulit tubuhnya. Matanya menatap kosong dengan bibirnya yang gemetar hebat karena kedinginan. Wanitaku, istriku, pujaanku kini berubah. Di mulutnya hanya terdengar gumam tak jelas, seperti: najis….najis….najis….!

Tidak ada komentar: