Rabu, 12 November 2008

Anak Betawi Pergi Ngaji Sambil Haji

Anak Betawi Pergi Ngaji Sambil Haji


Oleh: Rakhmad Zailani Kiki
Staf Seksi Pengkajian JIC

Dulu, bagi orang Betawi yang memiliki keinginan agar anaknya menjadi ulama besar, Makkah adalah tujuannya. Selain bisa ngaji kepada ulama yang terkemuka di sana, si anak juga dapat melaksanakan haji saban tahun karena Ka`bah di depan mata. Sepulangnya ke tanah air, si anak selain berilmu juga sudah bergelar haji, suatu gelar terhormat di masyarakat Betawi, dan melengkapi pengakuan atas status sosialnya sebagai ulama dengan gelar Kyai Haji. Untuk mewujudkan keinginan ini, apapun dikorbankan dan dilakoni orang tua, semisal menjual tanah, harta benda lainnya atau meminjam uang kepada rentenir.

Karena orang Betawi berpaham Ahlussunnah Wal Jama`ah dan setelah paham Wahabisme menghegemoni ke seluruh institusi pendidikan Islam di Arab Saudi, bisa dikatakan sekarang ini sangat sedikit orang Betawi yang mengirim anaknya untuk mengaji ke sana, khususnya di Makkah. Terlebih setelah ulama Ahlussunnah wal Jama`ah terkemuka di sana, Sayyid Muhammad Bin Alwi Al-Maliki wafat pada tahun 1995 lalu. Orang Betawi lebih memilih Mesir, Yaman, atau Suriah sebagai tempat ngaji anak-anaknya untuk menjadi ulama besar, baik di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non-formalnya. Salah satu alasanya, karena kedekatannya dengan kota Makkah sehingga mudah untuk beribadah haji. Pengalaman anak Betawi yang pergi ngaji “sambil” haji ini direkam dengan baik oleh ulama Betawi dari pengalaman pribadi mereka. Salah satunya adalah KH. Noer Alie, sosok ulama-pejuang dan pahlawan nasional kita.

Waktu itu, tahun 1930-an, anak Betawi yang pergi ke kota Makkah untuk ngaji umumnya disesuaikan dengan musim haji karena kapal laut yang berangkat ke Jeddah, yaitu salah satunya kapal laut Telisce, memang diutamakan mengangkut jamaah haji, selain para pelajar dan barang-barang. Selain itu, mereka yang ke Makkah untuk ngaji atau belajar bisa mendapatkan potongan harga tiket sampai separuhnya. Dengan membayar f 92,5 (harga untuk pelajar yang sudah dipotong lima puluh persen, sedangkan jama`ah haji harus bayar seratus persen atau f 185), anak Betawi dapat berangkat ke tanah suci dengan dilepas sanak keluarga di Pelabuhan Tanjung Priok. Perjalanan laut ke Jeddah membutuhkan waktu selama dua minggu lebih, menyinggahi beberapa pelabuhan di beberapa Negara, seperti Singapura, Kalkuta (India) , sampai Djibouti di Afrika Timur untuk mengisi bahan bakar. Di kapal laut ini jangan berharap mendapatkan kenyamanan seperti naik pesawat terbang karena ukuran kapasitas muatan kapal ditentukan atas timbangan berat, bukan jumlah penumpang. Jadi bisa dibayangkan kesumpekan yang dialami para penumpang, terlebih tidak ada kamar-kamar khusus yang disediakan untuk penumpang dan ventilasi serta sanitasi yang tidak nyaman.

Tidak ada komentar: