Kamis, 13 November 2008

audat Sa'id: Juru Bicara Islam Damai

audat Sa'id: Juru Bicara Islam Damai

Seandainya saya telah mengenal tokoh alim dari Suriah ini pada 1960-an, sikap ''fundamentalis'' saya, sekallipun tanpa kekerasan, tentu tidak akan ditunjukkan ketika pertama kali berguru pada Fazlur Rahman, akhir 1970-an (awal 1980-an), di kampus Universitas Chicago. Berbeda dari Rahman dan sederet nama besar penulis muslim lainnya yang umumnya menulis karya dalam bahasa Barat, Jaudat Sa'id (1931-), alumnus Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar, Mesir, menulis dalam bahasa ibunya, bahasa Arab.

Di antara karyanya yang berpengaruh adalah Mazhab Ibn Aadam al-Awwal: Musykilat al-'Unf fii al-'Amal al-Islaamii (Mazhab Anak Adam Pertama: Masalah Kekerasan dalam Kegiatan Islam), terbit pertama kali pada 1966 di Mesir. Karya ini adalah antitesis terhadap karya-karya Sayyid Quthb, khususnya Ma'aalim fii al-Thariiq (Rambu-rambu di Jalan).

Quthb ingin mengubah dunia melalui revolusi karena baginya, bangunan abad ke-20 tidak lain dari abad jahiliah yang harus ditumbangkan. Dalam kitab tafsir Quthb, Fii Zhilaal al-Qur'aan (Di Bawah Naungan Al-Quran), percikan api revolusi itu sangat dirasakan dan telah membakar semangat anak-anak muda umat untuk terlibat dalam proses mengubah dunia itu, menyabung nyawa dengan segala akibatnya yang berdarah-darah sampai hari ini.

Jaudat seorang haafizh (penghafal) Al-Quran. Ia tidak rela jika revolusi tanpa arah itu menghancurkan sendi-sendi peradaban umat manusia yang masih tersisa, digempur oleh gelombang sekularisme kasar dan fundamentalisme agama yang telah ''membajak'' Tuhan untuk kepentingan politik kekuasaan. Sekularisme dan fundamentalisme agama punya muara tunggal: fasaad fii al-ardh (kerusakan di muka bumi).

Jaudat sangat memahami fenomena buruk ini bagi hari depan Islam dan umat manusia secara keseluruhan. Itulah sebabnya, ia terus mengibarkan panji-panji pencerahan di tengah-tengah arus fundamentalisme yang menghambat langkahnya menyampaikan kebenaran Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.

Saya berharap, karyanya itu cepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, jika memang belum dikerjakan, bersamaan dengan karya-karya Faraj Fauda, Jamal al-Banna, Muhammad Syahrur, Khaled Abou El Fadl, dan banyak yang lain. Semua karya ini pasti akan dapat mengubah sikap mental orang yang membacanya sampai batas-batas yang jauh, karena ditulis berdasarkan sumber-sumber yang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan dengan tujuan membebaskan umat dari pasungan ketidakpastian masa depan. Kekerasan, siapa pun yang melakukannya, pasti akan mengundang kekerasan lanjutan, tanpa henti.

Saya sendiri belum membaca karya Jaudat itu, baru sekadar bagian-bagian tertentu melalui internet, tetapi substansi pesannya telah saya tangkap karena nuansanya saling menguatkan dengan karya-karya penulis Arab maju yang lain, yang jumlahnya makin marak. Inilah yang memberi harapan untuk masa depan Islam yang damai, sejuk, inklusif, tetapi punya kepercayaan diri yang tangguh. Bahwa arus peradaban global sedang tidak berpihak kepada Islam, sudah sama-sama kita sadari, tetapi dapatkah orang membanyangkan sebuah dunia tanpa Islam?

Fazlur Rahman suatu ketika berkata: ''Jika bahan bakar lenyap dari muka bumi, akan ada gantinya, tetapi jika Islam yang hilang, gantinya tidak ada!'' Seorang Rahman yang berpendirian kukuh seperti ini toh masih saja darahnya dipandang halal oleh ulama fundamentalis/konservatif Pakistan pada 1960-an. Saya rasa, Jaudat dan kita yang siuman sama-sama berada dalam biduk pernyataan Rahman ini. Kita yakin, Islam adalah agama Allah terakhir untuk kepentingan manusia akhir zaman, tetapi kita juga menangis di saat agama ini dipakai untuk membunuh manusia yang tidak sepaham.

Untuk pembaca Indonesia, artikel Novriantoni: "Profil Jaudat Said: Islam yang Menghidupkan, Bukan Mematikan", yang dimuat majalah Madina, edisi Juli 2008, sedikit membantu kita untuk mengenal siapa sebenarnya tokoh yang sedang kita ulas ini. Juga dalam situs Qantara.de, pemikiran Jaudat itu dapat ditelusuri, di samping dalam situs Jaudat sendiri.

Ringkasnya, Jaudat ingin menawarkan Islam yang bebas dari kekerasan karena, sebagaimana Karen Armstrong, ia berkali-kali menekankan tentang watak damai agama ini (lihat, misalnya, ''Perspektif'' saya pada Gatra, 1 Oktober 2008, halaman 106). Posisi umat Islam yang tersudut karena kesalahan sendiri, sejak beberapa abad belakangan ini, tidak boleh menjadikan kita gelap mata dan gelap hati dalam mengikuti arus sejarah yang terus saja bergulir tanpa henti. Doktrin ingin cepat mati karena kandas dalam hidup jelas berlawanan dengan seluruh roh Al-Quran.

Ahmad Syafii Maarif
Guru Besar Sejarah, Pendiri Maarif Institute
[Perspektif, Gatra Nomor 50

Tidak ada komentar: