Kamis, 13 November 2008

Kepahlawanan dan Mosi Integral Natsir

Kepahlawanan dan Mosi Integral Natsir
Oleh Moh. Mahfud M.D. *

pekan lalu almarhum Muhammad Natsir mendapat anugerah gelar pahlawan nasional dari Pemerintah Republik Indonesia. Tokoh Partai Masyumi yang pernah menjadi menteri penerangan dan perdana menteri (PM) itu diakui sebagai tokoh yang berjasa luar biasa dalam membangun dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada umumnya masyarakat melihat jasa terbesar Natsir adalah kegigihan dan keberhasilannya mengembalikan Indonesia menjadi negara kesatuan (1950) setelah sempat dijadikan negara federal melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Mosi Integral Natsir yang dipidatokannya di parlemen pada 3 April 1950 dianggap sebagai bukti peran besarnya dalam mengembalikan Indonesia menjadi negara kesatuan.

Isi Mosi Integral

Kalau kita baca, naskah Mosi Integral Natsir tersebut sebenarnya sama sekali tidak memuat ajakan untuk kembali ke negara kesatuan. Bahkan, dalam pidatonya Natsir berkali-kali menegaskan bahwa mosinya tidak berhubungan dengan kontroversi tentang negara kesatuan dan negara federal. Natsir menegaskan bahwa pihaknya "menjauhkan diri dari pembicaraan soal unitarisme dan federalisme."

Sebenarnya yang diperjuangkan Natsir melalui mosinya itu adalah "persatuan bangsa," bukan "negara kesatuan." Persatuan (integration) menyangkut sikap (kejiwaan) setiap warga negara untuk merasa terikat dalam satu ikatan sebagai satu bangsa, sedangkan negara kesatuan (unitarisme) adalah konsep struktur ketatanegaraan yang biasanya dibedakan dengan negara serikat (federalisme).

Persatuan bisa ada dan tumbuh kuat baik di dalam negara kesatuan maupun di dalam negara federal. Amerika Serikat, Jerman, dan Malaysia adalah negara federal yang persatuannya sangat kukuh; sebaliknya Inggris dan Filipina adalah negara kesatuan, tetapi persatuannya tidak sekukuh Amerika karena masih sering diganggu oleh perpecahan akibat gerakan separatis.

Minimal ada dua masalah pokok yang terkandung dalam Mosi Integral Natsir. Pertama, kritik keras terhadap pemerintah yang bersikap defensif dan sepertinya membiarkan rakyat mencari penyelesaian sendiri tanpa bimbingan atas masalah-masalah yang dihadapi.

Kedua, perlunya penyelesaian "integral" atas masalah-masalah serius yang sedang menimpa bangsa Indonesia pada saat itu.

Natsir mengkritik pemerintah karena setelah KMB (Konferensi Meja Bundar) yang menyepakati perubahan bentuk negara kesatuan menjadi negara federal sebagai syarat pengakuan kemerdekaan oleh Belanda, ternyata pemerintah kita bersikap pasif atau defensif.

Padahal, akibat KMB itu di daerah-daerah timbul pergolakan yang ditandai dengan banyak demonstrasi dan resolusi untuk merombak segala apa yang dirasakan rakyat sebagai restan-restan dari struktur kolonial.

Sayang, kata Natsir, (saat itu) pemerintah hanya mengatakan "terserah rakyat" karena Indonesia adalah negara demokrasi. Natsir geram dengan sikap pemerintah itu karena dengan pernyataan "terserah rakyat" sama halnya dengan membiarkan terjadinya konflik di antara rakyat sendiri. Kata Natsir, sikap seperti itu justru menunjukkan pemerintah hanya ingin mencari selamat dan tidak bertanggung jawab.

Oleh sebab itu, melalui mosinya yang sangat monumental tersebut Natsir mengusulkan agar ada penyelesaian menyeluruh sebelum negara hancur. Natsir mempersoalkan sikap defensif pemerintah yang selalu berlindung di bawah pernyataan "terserah kepada kehendak rakyat" itu.

Dia bertanya, "apakah menyerahkan kepada rakyat itu berarti mengadu tenaga rakyat di daerah, untuk memperjuangkan kehendak rakyat masing-masing dengan segala akibat dan ekses-eksesnya? Habis itu lantas kita mengonstatasi dan melegalisasi hasil dari pergolakan itu?"

Tanpa harus dikaitkan dengan bentuk negara kesatuan, Mosi Integral Natsir tersebut masih sangat relevan untuk dijadikan landasan membangun persatuan kita sebagai bangsa. Memang, saat ini tantangan utama kita bukanlah adanya gejala kuat tentang federalisme seperti yang pernah digalang van Mook yang kemudian melahirkan Republik Indonesia Serikat. Pilihan kita atas bentuk negara kesatuan sudah selesai ketika kita menerjemahkan Mosi Integral Natsir dengan kembali ke negara kesatuan pada 1950 yang kemudian dimantapkan lagi dalam UUD 1945 hasil amandemen.

Ancaman Masa Kini

Pada saat ini ancaman bagi "integrasi" negara kita bukan lagi masalah federalisme ala van Mook, melainkan tidak tegaknya supremasi hukum dan keadilan yang ditandai oleh maraknya judicial corruption.

Tantangan ini tidak boleh disepelekan. Sebab, kalau kita tidak dapat menanganinya secara baik, ia akan mengancam integrasi kita sebagai bangsa dan negara. Jika ketidakadilan dan judicial corruption terus berlangsung, pikiran untuk bersikap tidak akan tunduk atau memisahkan diri dari pemerintahan dan ikatan satu bangsa bisa saja muncul dari kalangan rakyat.

Bibit-bibit atau indikasi tentang ini sudah tumbuh meskipun kita masih dapat mengendalikannya. Langkah paling penting untuk menghempang disintegrasi adalah penegakan hukum dan keadilan tanpa pandang bulu, terutama pemberantasan judicial corruption yang saat ini sangat menggila. Masalah korupsi, seperti yang terungkap dalam kasus-kasus yang sedang ditangani KPK saat ini, bukan hanya membuat kita marah, tetapi juga malu.

Bahkan, informasi yang terungkap dari penyadapan telepon para tersangka koruptor membuat kita merinding, muak, dan jijik. Kalau negara ini ingin selamat dengan keutuhannya, kita harus secepatnya membangun kepercayaan rakyat dengan menindak tegas tersangka koruptor tanpa kolusi dan sungkan-sungkan lagi. Jadi, ancaman serius bagi kita sekarang ini bukan gejala federalisme, melainkan merajalelanya korupsi.

Yang juga relevan untuk diambil dari Mosi Integral Natsir saat ini adalah seruannya agar pemerintah tidak bersikap ragu dan mendua, tidak defensif dan pasif dengan kedok "terserah rakyat" untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, melainkan harus mengambil inisiatif dan langkah yang tegas.

Tegasnya, pemerintah harus selalu berani mengambil inisiatif dan langkah yang tegas, dan tidak ragu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bangsa dan negara. mr-jawapos.
*. Moh. Mahfud M.D., hakim pada Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar: